Ni Luh Merti, nama samaran, menjadikan jalanan tempat bermain sekaligus mencari uang.
Selama lebih dari lima tahun perempuan sekitar 7 tahun dengan satu kaki ini menjual gelang setiap hari di kawasan Kuta pada petang hingga tengah malam. “Setiap hari bisa ngasi ibu Rp 50-100 ribu,” kata Merti. Dibantu sebuah kruk kecil, Merti terpaksa bekerja karena penjualan gelang oleh anak-anak lebih menguntungkan dibanding orang dewasa.
Ibunya bertugas membuat rangkaian gelang-gelang yang akan dijual di kontrakannya sekitar Denpasar Barat. “Bapak bekerja metajen,” katanya menyebut judi tajen adalah pekerjaan utama bapaknya.
Merti tak sendiri, puluhan anak-anak pedagang gelang dan pengemis lain ada di jalanan Kuta, pusat pariwisata Bali. Mereka berkawan dengan music disko, bau alkohol, dan berisiko mengadapi masalah kriminalitas.
Sementara pada siang hari, anak jalanan ini terlihat di Simpang Siur, perempatan Sunset Road, Imam Bonjol-Teuku Umar, dan perempatan besar lainnya. Kadang, anak-anak ini membawa bayi untuk menarik perhatian pemberi uang.
Selain itu, puluhan anak lainnya, terutama laki-laki, mengemis di Pasar Badung, Denpasar. Anak perempuan memilih menjadi buruh tukang suun bersama perempuan dewasa lainnya. Malah, beberapa bulan terakhir, buruh anak-anak terlihat lebih banyak dibanding orang dewasa di Pasar Badung.
“Anak-anak lebih gampang cari pelanggan, karena mereka kasihan,” kata Ketut Putri, salah seorang pedagang pasar. Anak-anak ini terlihat dari pagi sampai dini hari lalu lalang dengan keranjang bambunya.
Sebagian besar anak-anak putus sekolah atau buta huruf bekerja menjadi pedagang buah keliling. Kelompok ini memiliki majikan yang menyediakan bahan dagangannya. Kelompok pedagang buah ini tinggal di komplek-komplek kontrakan di Denpasar sampai Badung. Mereka bekerja dari pagi sampai petang hari tiap hari.
Menurut Lembaga Anak Bangsa (LAB), sedikitnya terdapat 200 tukang suun dan gepeng anak yang beroperasi di Pasar Badung. Dari hasil survei dengan wawancara mendalam, anak-anak ini bekerja dalam tiga shift selama 24 jam. “Sebanyak 95 persen dari 31 orang yang berhasil diwawancara tidak pernah sekolah, sisanya pernah sekolah kelas 1-2 SD saja,” ujar dr Sri Wahyuni, Ketua LAB Bali yang selama dua tahun ini intens melakukan pemetaan tentang anak-anak jalanan.
Mengenaskan
Semua anak tinggal bersama saudara atau teman di kos-kosan di Denpasar, namun kondisinya mengenaskan. “Mereka menyewa satu kamar kecil berisi 3-5 orang, dan beracampur antara anak dan dewasa,” kata Sri. Di sisi lain, seluruh pekerja anak dan orang tuanya ini tak bisa mengakses program kesehatan gratis, Jaringan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) karena tak punya KTP dan kartu keluarga.
Anak-anak ini harus menyetorkan sebagian penghasilan pada orang tua atau wali yang menampung di Denpasar. Kekerasan dialami nyaris tiap hari dari teman seprofesi dan orang dewasa karena rebutan lahan pekerjaan.
Solusi penanganan yang ditawarkan Sri Wahyuni, mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah Bali ini adalah melakukan pendampingan, dukungan pendidikan di luar jam kerja anak-anak, dan memberikan alternatif keterampilan. “Selama program penanganan di daerah asal seperti Karangasem yang tidak serius dan berkelanjutan, kita tetap akan melihat mereka di jalanan,” kata Sri.
Dinas Sosial Denpasar menyebutkan rata-rata ada 40-50 anak gelandangan pengemis (gepeng) yang ditangkap Satpol PP tiap bulan. Tahun lalu sebanyak 348 orang gepeng, sebagian besar anak-anak yang ditangkap dan dipulangkan ke daerah asalnya. Karena sebagian ditangkap berulang-ulang, jumlah gepeng yang ditangkap jumlahnya sekitar 150 orang per tahun.
“Pasti mereka balik lagi, jadi beberapa orang bisa ditangkap lebih dari sekali dalam sebulan,” kata I Nyoman Suryawan, Kepala Seksi Rehabilitasi dan Tuna Sosial Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kota Denpasar.
Selama puluhan tahun, program penangkapan dan pemulangan kembali ke daerah asal oleh pemerintah dinilai gagal menanggulangi gepeng dan eksploitasi anak di jalanan. Pemkot Denpasar mulai tengah tahun ini mulai mengaktifkan rumah singgah anak di Jl Bypass Mantra sebagai lokasi pembinaan dan perlindungan. Selain itu, ada wacana membawa anak-anak jalanan yang dibiarkan orang tuanya di sejumlah panti asuhan untuk diberikan pendidikan agar tak kembali ke jalanan.
Selain itu pemerintah memasang sejumlah baliho besar imbauan agar warga tak memberi uang pada pengemis di jalanan. Papan-papan ini dipasang di beberapa perempatan, terutama kawasan yang menjadi tempat pengemis bekerja.
Peringatan dari Dinas Sosial Denpasar ini menyatakan pengemis dan anak jalanan mengganggu ketertiban umum, akan membuat mereka malas jika terus diberikan uang, dan menjadi beban pemerintah terus menerus. [b]
Versi Bahasa Inggris tulisan ini dimuat The Jakarta Post.
Rumah singgah di By Pass Ida Bagus Mantra, tepatnya di sebelah mana ya? saya tinggal di sekitar sana, koq belum pernah lihat/dengar ya? Mohon info alamatnya..
Terima kasih