Pesona Rara Sekar tak hanya pada suara, lagu, atau petikan gitarnya. Perempuan yang pernah tinggal di Ubud, kini meneruskan kuliah di New Zealand ini mengusik dengan pernyataan dan gugatannya saat di atas panggung. Tidak berapi-api, namun mempengaruhi penonton.
“Tini Yanti versi Made Mawut, kita inteprestasi ulang. Pernah dibubarkan (diskusi soal 65) waktu kuliah banyak ditabukan, dialog antar agama diserang FPI. Trauma masih membekas dan api amarah. Saya nangis di polisi kenapa justru kami yang mengalah, knowledge dikalahkan. Sejarah untuk siapa, peran kita di mana. Sejarah dibekukan, ingatan dirawat. Kita yang jadi prisma agar echo-echo bertambah,” demikian penggalan dari beberapa menit orasinya di panggung sebelum tampil.
Sebelum konser, saya yang tidak banyak tahu kiprah Rara dan Banda Neira (sudah bubar), menemuinya sekitar 15 menit sebelum acara dimulai. Sebuah konser, pemutaran film, dan dialog bertajuk Sekeping Kenangan di Taman Baca Kesiman, Denpasar. Wawancara singkat tapi merasakan hasratnya yang tinggi pada isu-isu marjinal.
Berikut rangkumannya.
Bagaimana keterlibatan Rara di album Prison Songs?
Tak ikut dokumentasi tapi menginteprestasikan ulang lagu Tini dan Yanti, kemudian kita merekam, dan dirilis bareng. Untuk Prison Songs mendukung proyek sebagai kontributor bukan kapasitas sebagai researcher.
Mau gak mau ikut di arus gerakan tak hanya setor karya, apakah menarik isunya untuk kamu?
Sangat menarik. Dalam diskografi Banda Neira sebagian lagunya politis, dalam satu album pasti ada 1-2 yang berkaitan dengan isu politik. Kenapa mengiyakan terlibat karena Ananda jurnalis dan aku aktif di komunitas aktivis HAM. Dulu pekerja sosial kerja di Kontras sejak kuliah aktif, jebolan sekolah HAM pertama mereka sekitar tahun 2009, masuk komunitas mereka. Saya sudah diperkenalkan dengan tantangan HAM, dan ini sesuatu yang dekat di hati dan menjadi bagian dari gerakan itu.
Tini dan Yanti disebut lagu yang paling sering dinyanyikan di penjara oleh penyintas, bagaimana membayangkan ketika mengaransemen ulang?
Selalu memikirkan tiap membawakan bahwa ini tanggung jawab besar, dikasi kehormatan untuk menciptaan ulang sejarah yang sangat intim. Sejarah keluarga yang jadi alternatif dari buku sejarah di sekolah, dan sering jadi alat politik. Punya beban jadi orang yang menginteprestasikan dan membawakannya secara populer. Energinya kuat walau hanya membayangkan dan dengar cerita behind the scene. Mengumpulkan energi saat memamainkan karena kuat sekali, tak mungkin tak tersentuh, ada perasaan membuncah. Kami (Banda Neira) jarang membawakan karena terlalu besar energinya. Punya makna sejarah yang tinggi yang tak bisa dimainkan semena-mena.
Pernah ketemu keluarga pemilik lagu?
Ketemu tapi tak ngobrol banyak, kan ketemu keluarga penyinats lainnya. Paling ada respon, “Oh yang menyanyikan Tini dan Yanti kamu ya?” Mungkin karena perempuan sendiri di album ini. Lagu kamu menyentuh sekali. Membayangkan yang menyanyi mengalami penderitaan, membuka empati yang dalam. Aku berharap yang dengar di generasi berbeda bisa merasakan sedikit dari waktu itu.
Menurutmu bagaimana Komunitas Taman 65 merangkum jadi 6 lagu dari banyak karya lainnya?
(Wawancara jelang konser ini tiba-tiba disela seorang laki-laki muda yang ingin foto dengan Rara, saya mempersilakan namun Rara meminta fans-nya menunggu sebentar agar selesai dulu)
Apa tadi pertanyaannya? Oh ya, tak tahu persisnya kemarin ngorol dengan anak-anak Taman 65 mereka bilang sulit sekali menemukan karena tergantung memori penyintas yang makin menua seperti kepingan puzzle yang dirangkai ulang. Aku salut sih, terutama Made Maut yang kerja keras kalau false dicari nadanya. Mungkin itu yang membuat kenapa 6 lagu tapi ini inteprestasi aku saja atas cita-cita mereka.
Harapan dari acara ini agar pesannya lebih cepat dirasakan anak muda. Selain lagu apa yang perlu diluaskan untuk mendiskusikan pesannya?
Pertanyaan bagus dan sulit dijawab, tantangan bagi komunitas apa pun. Kelebihan acara seperti ini pop culture, musik paling tepat mengkomunikasikan ke generasi milenial, karena mereka konsumsi tiap hari. Kekuatan audio visual yang perlu diutak atik tapi tak melupakan konten. Tantangan lebih besar tak cuma melakukan event dan penyebaran ide tapi menumbuhkan nalar kritis dari diri kita karena itu yang dimatikan di beberapa dekade. Sesuatu yang membutuhkan proses lama, ini tugas utama kita selain membuat acara juga dialog dan diskusi lebih mendalam dan konsisten.
Judul acara Sekeping Kenangan, tanpa embel 65. Apakah menurutmu ketika menyebut 65, komunisme, atau PKI masih menimbulkan ketakutan?
Bukan takut tapi ketidaktahuan. Acara ini tak berusaha mengeksekusi hanya membicarakan peristiwa 65 yang masih sulit dibicarakan, tapi membawa misi lebih besar. Merawat ingatan sejarah alternatif yang tak tunduk pada kekuasaan. Sejarah ditulis siapa, narasi ini lebih penting. Ketika menggunakan bahasa tentang hubungan kemanusiaan kita perlu merangkul sebagai perjuangan bersama. Tak hanya 65, juga isu lain seperti LGBT karena masih yang banyak menutup dirinya. Ini sebuah kesempatan dan ruang untuk memperkenalkan dan berkenalan. Menurut aku ruang seperti ini sangat penting dan salut untuk komunitas 65 bisa membuat ruang yang aman dan membuka cakrawala.
====
Rara menyanyikan Tini dan Yanti dengan gitar seorang diri saat konser di Taman Baca Kesiman, Denpasar. Banda Neira, duo Rara dan Ananda Badudu sudah dibubarkan dan keduanya melanjutkan hasratnya masing-masing.
“Tini dan Yanti, kepergianku buat kehadiran di hari esok yang gemilang. Jangan kecewa, meski derita menantang, itu adalah mulia. Tiada bingkisan, hanya kecintaan akan kebebasan mendatang. La historia me absolvera, La historia me absolvera.”
Gde Putra menyebut dalam buku Prison Songs jika syair “La Historia Me Absolvera” dikutip dari kalimat Fidel Castro saat dia memberikan pidato pembelaan di pengadilan pada 1953. Pemimpin revolusioner Kuba ini diadili karena menyerang Moncada Barack, markas tentara pemerintah. Penyerangan ini menjadi tonggak revolusi di Kuba.
Buku Prison Songs mengisahkan Tini (sang istri) melahirkan anak perempuan mereka. Santosa berimajinasi buah hatinya yang baru lahir itu bernama Yanti. Sebelum pria ini dijemput maut dan hilang tak berjejak, dia menuliskan syair “Tini dan Yanti” di dinding tembok penjara. Si pencipta syair tidak pernah bertemu lagi dengan istri dan buah hati yang dia rindukan setengah mati. Menurut para eks Tapol, Santosa tak tampak lagi di penjara sekitar akhir Desember 1965 atau awal Januari 1966.
Syair puisi Santosa ini lalu digubah menjadi lagu oleh Amirudin (Mister Amir atau Pak Atjit panggilan namanya oleh para tahanan politik). Lelaki asal Madura yang pernah bertugas sebagai Kepala RRI Kupang dan cakap membuat nada lagu.
La Historia Me Absolvera dalam bahasa Indonesia berarti sejarah akan membebaskan kita semua. Salah satunya potongan sejarah yang dihadirkan oleh para penyintas, musisi, seniman, dan komunitas anak muda Taman 65 di TBK.
Sebuah lagu sederhana bisa berakhir, tapi kisah lagu itu tak pernah berlalu.. Bercahayalah bulan purnama, sampai lagu ini kuakhiri- kata Kus Plus.