Dari ular tangga sampai seminar tentang pemilu untuk kampanye Internet lebih aman.
Puluhan anak-anak, remaja, dan orang tua bergantian memainkan ular tangga di arena car free day Lapangan Renon, Denpasar pada Minggu (3/3). Warga juga memberikan opininya mengenai dampak internet lewat ekspresi emoticon.
Literasi digital diterjemahkan melalui permainan dan curah pendapat di kampanye Safer Internet Day 2019 yang dilaksanakan secara kolaboratif antara komunitas gerakan literasi digital di Indonesia di beberapa kota, salah satunya Denpasar, Bali.
Safer Internet Day (SID) atau Hari Internet Aman adalah kampanye peningkatan kesadaran yang dimulai di Eropa lebih dari satu dekade lalu dan sekarang dirayakan lebih dari 140 negara. SID bertujuan untuk menciptakan internet yang lebih aman dan lebih baik, di mana setiap orang diberdayakan untuk menggunakan teknologi secara bertanggung jawab, penuh hormat, kritis, dan kreatif.
Kampanye ini bertujuan untuk menjangkau semua kalangan. Anak-anak dan remaja, orang tua dan wali, guru, pendidik, industri, pemerintah, dan politisi untuk mendorong semua orang memainkan peran mereka dalam menciptakan internet yang lebih baik.
Dalam ular tangga edukasi ini ada sejumlah pengetahuan yang harus dibaca atau dijawab oleh yang memainkan. Misalnya sebutkan 3 hal positif dan negatif internet, peringatan hoaks, dan tips jika main game tidak menggunakan nama atau identitas asli.
Sementara saat curah pendapat, dua relawan mengenakan papan karton mengajak puluhan warga menuliskan pendapatnya tentang empat hal.
“Ayo silakan ekspresikan pendapatmu, kalau berbagi foto pribadi dan lokasi itu aman atau tidak?” tanya Agus, salah seorang relawan kampanye.
Sementara pada sore hari, kampanye dilanjutkan dengan diskusi santai milenial bersama dengan topik “Pemilu Tetap Asik di Tengah Medsos yang Berisik.”
Sebagai narasumber ada Adya Nisita (Siberkreasi), Luh De Suriyani (BaleBengong), Wulan Ayu (duta Youth IGF Indonesia), dan I Gede Putu Khrisna Juliharta (koordinator Relawan TIK Bali). Mereka mengajak anak muda aktif mencari informasi tentang Pemilu dan peserta Pemilu agar bisa menggunakan hak pilih secara bertanggungjawab.
“Tidak perlu menunggu perang untuk menyemai damai di internet kan,” ajak Adya Nisita, Manajer Riset Siberkreasi ini.
Sementara Wulan Ayu, siswa SMA di Semarapura ini menyebut diri sebagai pemilih pemula dan berharap tidak ada kalah menang antar pendukung tapi memenangkan masa depan Indonesia yang lebih baik.
Puluhan peserta diskusi adalah anak muda dan sebagian mahasiswa IT. Mereka merefleksikan bagaimana caranya membuat politik jadi menarik dan penting untuk dikritisi.
“Kita bisa cek latar belakang mereka, apa yang mereka lakukan, dan lainnya, kita kan tahu internet,” sebut Aris, salah satu mahasiswa.
Maraknya Hoaks
Pada Senin (4/3) agenda literasi digital Siberkreasi berlanjut di Sekolah Tinggi Informatika dan Komputer (STMIK) Primakara. Topiknya tentang bagaimana jika hoaks masuk ke dalam dunia politik?
Seminar yang dihadiri sekitar 200 anak muda tingkat SMA dan mahasiswa ini dibuka oleh Ketua STMIK Primakara.
Dalam sambutannya Donny BU, staf ahli Kemenkominfo mengatakan saat ini di Indonesia ada 155 juta pengguna internet dan 60-70 persen adalah generasi milenial berusia 18-35 tahun. Mereka pemilih pemula tahun ini.
“Ini besar sekali, bayangkan memilih tanpa informasi benar. Ada hoaks, dan akan merugikan Indonesia tak hanya 5 tahun ke depan,” paparnya.
Kegiatan daring terus meningkat. Dia menyebut tiap pengguna internet menghabiskan 3,5 jam di medsos per hari. Sedang literasi membaca buku, durasi 3,5 jam per minggu. Karena itu perlu konten-konten literasi digital. Ia mengajak menjaga kredibilitas dan integritas dengan memanfaatkan internet dengan aman.
Pandu Digital adalah gerakan anak muda menggunakan internet secara bertanggungjawab. Mereka akan mendapat badge merah, biru, dan hitam. Bambang Tri dari Kemkominfo mengajak anak muda memanfaatkan program ini untuk mengembangkan diri dan menambah pengetahuan di bidang literasi digital.
Anggota KPU Bali, I Gede John Darmawan menyebut hoaks tahun ini jauh lebih banyak dibanding Pemilu 2014. “Pemilu sebelumnya menyerang peserta tapi tahun ini ada upaya merusak kandang. Yang diserang penyelenggara Pemilu,” sebutnya. Ia menyontohkan pada 2 Januari ada kabar tersiar bahwa 7 kontainer surat suara masuk dari Cina dan sudah tercoblos.
KPU dan Bawaslu langsung cek ke pelabuhan Tanjung Priuk. “Ternyata tidak ada kontainer itu. KPU langsung verifikasi. Tak hanya konter media resmi juga medsos pribadi komisioner,” jelasnya.
Faktanya pada 2 Januari surat suara belum divalidasi oleh dua pasang calon, 16 parpol, dan 4 parpol lokal di Aceh. Pada 16 Januari surat suara baru dicetak. “Sebelum dilipat, dicek, ada tercoblos atau tidak,” lanjut John.
Hoaks lain adalah disebut 14 juta orang gila masuk DPT. Saat Pemilu sebelumnya di Bali ada 60 pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli yang direkomendasikan dokter untuk bisa mencoblos.
Dilihat dari umurnya, di DPT Provinsi, John menyebut ada 67 persen pemilih melek informasi dan teknologi, dan harusnya tahu perkembangan situasi politik. Ia bertanya ke peserta seminar kapan Pemilu untuk memastikan anak muda peduli atau tidak dengan peristiwa ini.
Tri Werthi, dosen STMIK Primakara dan Relawan TIK di Bali memaparkan hoaks terbanyak adalah soal sosial politik sekitar 90 persen, kemudian SARA sekitar 80 persen, informasi kesehatan, dan lainnya.
Cara mengenali hoaks dengan memastikan sumbernya, website apa, penulis, dan penanggung jawab webnya. Selain itu bandingkan dengan informasi di media lain, atau cek sendiri dengan sejumlah aplikasi yang sudah bisa diunduh.
Sementara Andi Budimansyah dari Pandi memaparkan tata kelola internet dalam Internet Governance Forum (IGF). Ada 7 sektor termasuk keamanan siber. Semuanya terkoneksi. Indonesia sendiri memiliki forum Indonesia IGF. Saat ini sedang digodok RUU Perlindungan Data Pribadi, salah satu isunya adalah hak untuk dilupakan, data bisa dihapus tapi berdasar perintah pengadilan. Misal korban anak difoto telanjang bisa minta ke pengadilan untuk dihapus.
“Tapi tak bisa menjamin kalau tak di-save oleh pihak lain,” ingatnya tentang risiko membagi konten pribadi ke medsos.
Selain seminar, juga ada sesi lokakarya membuat konten medis sosial yang berdampak. Pematerinya adalah Putu Dian yang terkenal dengan kartun Beluluk yang merespon isu sosial dan lingkungan dengan kritis tapi lucu. Ada juga Geranuma Taswin dari Siberkreasi, Edi Prayitno (Torch Media), dan Iin Valentine (Balebengong).
Seminar dan lokakarya ini menutup rangkain kampanye publik dari Siberkreasi dengan dukungan ICT Watch. Bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Dalam Negeri, Pemkab Banyuwangi, Relawan TIK Indonesia, BaleBengong, Sobat Literasi Jalanan Palembang, Torch Media, Ford Foundation, dan Indonesia Child Online Protection (ID-COP). [b]