Teks Wira Utama, Foto Ilustrasi Luh De Suriyani
Hari ini seperti biasa setiba di kantor saya langsung mengecek email, termasuk email dari milis BBC (Bali Blogger Community). Setelah membaca email satu persatu, saya tertarik dengan satu thread yaitu tentang meninggalnya Gede Yudana, salah satu seniman drama gong di Bali. Sebagai salah satu penggemar drama gong sejak kecil, saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Bapak Gede Yudana.
Gede Yudana adalah salah satu pemain drama gong yang sangat tenar di zamannya, ketika drama gong masih menjadi kesenian paling favorit bagi masyarakat Bali. Bersama dengan pemain-pemain drama gong terkenal lainnya seperti Petruk, Dolar, Gangsar, Gingsir, Lodra (raja bagus), Luh Mongkeg dan banyak lagi, Gede Yudana selalu berperan sebagai Raja Buduh alias raja yang seperti orang gila, mudah dihasut oleh patih yang jahat.
Saya sendiri memang sejak kecil menyukai kesenian drama gong, apalagi ketika itu drama gong sedang berada pada masa kejayaannya. Lihat saja setiap pementasan drama gong di Art Center terutama pada ajang PKB (Pesta Kesenian Bali), khususnya grup Sancaya Dwipa yang terdiri dari pemain-pemain tenar seperti Petruk, Dolar, Yudana dan lainnya. Panggung terbuka Arda Candra selalu penuh dengan penonton, bahkan sampai memanjat tembok dan berada di atas atap toilet dan di atas pohon, penonton rela melakukan itu demi menonton aksi Petruk – Dolar.
Yang terasa paling ditunggu memang aksi Petruk – Dolar, bahkan waktu itu Petruk baru keluar dan belum berkata apapun, penonton sudah tertawa dan riuh sekali. Jika tidak percaya, silahkan cari saja VCD-VCD rekaman drama gong Sancaya Dwipa tahun 90-an.
Yang hebatnya, emosi dan perasaan penonton di jaman itu benar-benar terbawa dengan drama yang dibawakan oleh pemainnya. Penonton akan tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi Petruk – Dolar, tak jarang penonton meneteskan air mata ketika putri raja disakiti, bahkan pernah patih jahat dilempari penonton karena perannya jahatnya. Seolah penonton tak bisa membedakan bahwa itu hanya drama, mungkin ada yang itu karena penonton yang masih kolot, tapi menurut saya itu karena penghayatan dan akting pemain drama gong yang begitu hebatnya.
Tapi kini drama gong bukan favorit lagi di Bali, masyarakat khususnya ibu-ibu lebih suka sinetron dan anak muda lebih suka pergi ke bioskop. Untunglah masih ada kesenian wayang kulit yang dulu dianggap tidak begitu menarik, tetapi wayang Cenk Blonk berhasil mengangkat kesenian wayang kulit menjadi hiburan sekaligus kesenian yang digemari masyarakat Bali. Tetapi sayang, masyarakat yang cepat bosan dan ditambah lagi dengan banyaknya peredaran VCD bajakan membuat kesenian bali kembali meredup.
Semoga saja ke depan akan banyak lagi lahir seniman seperti Gede Yudana yang berhasil membuat kesenian Bali makin disukai dan bukan hanya menjadi kesenian yang ekslusif tetapi juga kesenian yang menghibur serta merakyat. Selamat jalan Bapak Gede Yudana..[b]
Tulisan lainnya, silahkan baca berita nusabali dan tulisan bli Putu Adi.
Wah baru tau saya neh. .. .Krg nönton n bc berita bali alne. . .Skrg yg mash eksis tinggal petruk doang. .Salam knal aja,bila sempat mampir yo
ada yg tahu info dimana bs dptin VCD drama gong yg lawas. .
klo ada yg tahu tlg di infokan ke email saya.
marineer_bali@yahoo.com
suksma
artikel ini sgt bagus.