Bagaimana akulturasi terwujud dalam seni di Bali?
Sejalan transformasi Pulau Dewata berikut aneka fenomena yang melingkupinya, program Bali Tempo Doeloe (BTD) #18 kali ini secara khusus mengetengahkan tajuk “Ragam Seni Akulturasi”.
Agenda ini akan berlangsung Sabtu (10/6) pukul 19.00 di Bentara Budaya Bali (BBB), Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No. 88A, Bypass IB Mantra Ketewel, Gianyar. Dialog akan mengulas perihal ragam seni akulturasi di Bali berikut proses panjangnya.
Masyarakat Bali telah mengalami transformasi panjang dari budaya agraris komunal menuju masyarakat modern yang berbasis industri pariwisata. Dari masyarakat yang guyub dan hangat menuju budaya yang dengan kecenderungan individual.
Banyak seniman Bali melakukan respon kreatif atas fenomena itu dari era klasik hingga modern dan kontemporer belakangan ini. Dengan kata lain, pergulatan mereka merefleksikan proses lintas budaya (trans-culture) serta silang budaya (cross-culture) yang mempertautkan nilai-nilai warisan leluhurnya (tradisi) dengan nilai-nilai budaya lain.
Berbagai capaian yang bersifat asimilasi tersebut terlihat pada beberapa karya-karya seniman kini, di mana mereka mengandalkan adanya pertemuan berbagai kultural. Selain itu, karya tersebut pula menghasilkan sesuatu yang baru dengan unsur dasar yang dianggap telah luluh.
Di sisi lain, sebagian karyanya membuahkan nilai-nilai baru yang akulturatif, dengan unsur-unsur yang dapat dilacak ke asal muasalnya.
Layak pula dicatat pengaruh seniman-seniman asing yang datang belakangan di era Hindia Belanda yang mendorong olah cipta bersifat akulturatif pula, semisal: Walter Spies (Jerman), Rudolf Bonnet (Belanda), Antonio Blanco (Spanyol), Andrien Jean Le Mayeur (Belgia), Adrianus Wilhelmus Smit (Belanda), dan lainnya.
Sebagaimana mengemuka pada dialog BTD sebelumnya tentang Peradaban Pesisir Bali Utara dengan tinggalan-tinggalan historisnya yang bersifat akulturatif, timbang pandang kali ini mendialogkan mengenai pengaruh unsur-unsur budaya Cina dan budaya lain yang mewarnai proses transformasi budaya dan ragam seni yang berkembang di Bali.
Misalnya keberadaan Baris Cina di Sanur dengan kostum dan ornamentiknya yang unik, seni barong di Singapadu, termasuk berbagai ragam arsitektur dan seni ukir Bali yang mendapat pengaruh asing seperti Meru yang diperkirakan mendapat pengaruh arsitektur Cina.
Seni ukir dengan pola sulur atau tumbuhan dengan batang yang merambat disebut patra Cina juga dianggap sebagai pengaruh budaya Cina.
Selain dialog, acara ini dimaknai pula pemutaran dokumenter Bali 1928 yang didukung STMIK STIKOM Bali dan Arbiter Cultural Traditions. Bertindak sebagai narasumber adalah Dr. I Gede Mudana, M.Si, Kepala Unit Publikasi Ilmiah Politeknik Negeri Bali yang juga Dosen Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali dan Pascasarjana Universitas Udayana serta Pascasarjana ISI Denpasar. [b]
Seandainya bisa nonton kesana, tapi koq waktunya sama dnegan pembukaan pesta seni ya. 🙂