Teks Nyoman Winata, Foto Luh De Suriyani
Penyakit Anjing gila atau rabies yang menggila di Bali adalah akibat dari ulah manusia-manusia Bali sendiri. Kepentingan gengsi yang rada-rada tidak masuk diakal faktanya berakhir pada kesulitan yang dialami manusia Bali sendiri. Saya katakan menggilanya penyakit Anjing gila di Bali karena kepentingan gengsi manusia Bali mengingat fakta di mana anjing-anjing ras dari luar daerah dibiarkan masuk ke tanah Bali atas permintaan orang Bali sendiri.
Saya tidak begitu ingat di tahun berapa, ketika itu ada trend yang berkembang cukup kuat di mana keluarga yang baru sedikit saja berpunya secara materi, merasa diri tak lengkap jika belum memelihara anjing ras. Banyak keluarga, terutama atas tuntutan anak-anaknya kemudian memelihara anjing ras yang memang dari segi fisik lebih dibanding anjing-anjing lokal.
Sebuah rumah akan merasa “naik kasta” bila memelihara anjing ras yang lucu, imut atau bahkan menyeramkan. Anjing pudel, cihua-hua, herder, buldog atau anjing ras lainnya mengalami permintaan yang meningkat sehingga menjadi sebuah lahan bisnis menjanjikan. Berlaku kemudian hukum ekonomi, penyediaan Anjing Ras dipenuhi meski itu harus melanggar hukum yang melarang masuknya Anjing Ras dari luar ke Bali. Kondisi semakin parah karena instansi terkait tidak melakukan tugas pengawasan sebagaimana mestinya.
Saya sempat berpikir bahwa perubahan prilaku hidup manusia bali yang mulai mencintai anjing ras ini suatu saat akan berdampak kurang baik bagi manusia bali sendiri. Saya berpikiran begini karena keinginan untuk memiliki anjing ras belumlah sepenuhnya didukung oleh sikap dan prilaku bahkan budaya yang semestinya. Ketika ukuran kepemilikan anjing ras bagi sebuah keluarga hanyalah sekedar gengsi, maka persyaratan mendasar untuk memelihara anjing ras tidak dianggap penting.
Pemeriksaan rutin, pemberian vaksin, menjaga kebersihan anjing ras peliharaan tidak dilakukan. Keluarga pemelihara anjing Ras di Bali bersikap sama dengan memilihara anjing local yang dibiarkan begitu saja. Kalaupun ada perawatan dari sang pemilik, yang paling diingat hanyalah memberi makan.
Atas nama Gengsi, manusia Bali banyak yang “Gila”, tak sadar betul apa yang pas dan mana yang cocok untuk ukuran dirinya. Karena belum terjadi perubahan kesadaran bagaimana seharusnya anjing ras dipelihara, maka seharusnya memelihara anjing ras belum layak untuk dilakukan. Namun demi gengsi, menaikan “kasta” keluarga yang didukung peningkatan kesejahteraan secara materi, memelihara angjing ras jadi trend.
Korban berjatuhan akibat virus rabies. Ironisnya belum ada skema yang jelas bagaimana rabies ini harus ditanggulangi. Masyarakat dan pemerintah belum memiliki kepastian kemana mereka harus melangkah secara bersama-sama mencegah meluasnya rabies. Bahkan ada kecendrungan satu dan lainnya saling bertolak belakang. Semuanya menunjukkan kita kepada alamat bahwa Rabies masih akan menghantui masyarakat Bali sampai waktu yang tidak jelas.
Berubah “Gila”
Prilaku “gila” manusia Bali ini juga terjadi di banyak sisi kehidupannya. Kepemilikan atas sesuatu tidak didasarkan atas kebutuhan (need) tetapi semata-mata keinginan (want). Ketika booming pariwisata melanda, banyak manusia Bali yang jual tanah sehingga menjadi OKB (orang kaya baru). Lalu mobilpun dianggap menjadi sebuah keharusan untuk dimiliki. Padahal mereka tidak sadar bahwa untuk “memelihara” mobil tidaklah murah.
Selain bayar pajak, perawatan mobil juga perlu dana yang harusnya bersumber dari sesuatu yang bisa mengalir tetap sepanjang waktu dan bukannya temporer seperti jual tanah. Akibatnya kepemilkan mobil itupun lambat laun menjadi beban berat dan akhirnya dijual. Diganti mobil yang lebih murah, dijual lagi untuk dibelikan yang lebih murah lagi. Demikian seterusnya sampai uangnya tidak lagi mampu untuk membeli mobil.
Kalau mau ditelisik, sesungguhnya ada banyak keluarga di Bali yang “mati” diatas nafsunya memenuhi keinginan (want) dan gengsi (prestise) semata. Belum termasuk banyak lainnya yang kepongor (dikutuk leluhur), akibat menjual tanah duwe Pura tetapi uangnya dipakai hidup foya-foya bukannya untuk menjaga kelangsung hidup Pura itu sendiri.
Budaya instan memupus logika produksi manusia Bali. Logika produksi sesungguhnya melekat kuat di manusia-manusia Bali yang hidupnya dari agraris (pertanian). Bahwa untuk mendapatkan sesuatu, tidak ada cara lain, kecuali manusia Bali harus bekerja keras, itulah logika produksi yang menjadi acuan dari kehidupan agraris. Sesuatu yang didapat tanpa kerja keras adalah materi yang tidak layak untuk dikonsumsi. Lantas ketika uang melimpah dari hasil jual tanah dirasa pantas untuk dikonsumsi, maka saat itupula logika produksi sudah lenyap. [b]
Apakah artikel diatas menunjukkan bahwa anjing lokal (baca : anjing “kacang”) memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadapa penyakit jika dibandingkan dengan anjing ras?
Saya rasa memelihara anjing ras juga bukan karena gengsi saja. Memelihara anjing penjaga rumah, sebaiknya menggunakan anjing ras jenis herder dan dan anjing penjaga semcamnya. Karena pengalaman saya yang penggemar anjing lokal, menggunakan anjing lokal (kacang) bakal gampang banget dikibulin. Anjing lokal itu gampang dijinakkan. Dengan sedikit sogokan, maka anjing lokal penjaga anda dapat dijinakkan, dan volia, seisi rumah digasak habis.
Tentang jual rumah but beli mobil, no comment deh. Easy come, easy go, gengsi is number one. Kalau perlu, masing-masing anggota keluarga dibelikan mobil masing-masing.
Anjing lokal tak kebal rabies karena sama-sama anjing. Tapi ingat dulu Bali sudah pernah bebas dari Rabies. Nah… gara-gara banyak datang anjing ras yang bawa virus rabies, anjing kacangpun tertular lagi. Tetapi yang jadi korban dibunuhi ironisnya, anjing lokal.
Kalau untuk jaga rumah, anjing Ras memang lebih menakutkan. Tapi yang takut datang bukan hanya maling, tapi juga nyama braya terutama kesinoman banjar yang mepengarah. Nah kalau sudah begini, melindungi harta menjadi segala-galanya dan menyama braya dikorbankan.
beli mobil seratus unitpun tidak masalah. cuma jangan dari jual tanah dong, apalagi tanah pelaba pura. Harusnya dari keringat sendiri dengan kerja keras penuh kejujuran.eling, eling, eling…
Saya ndak sependapat dengan pendapat penulis. Saya sendiri adalah pemilik anjing ras rottweiler.
Saya malah berpendapat, pemilik anjing ini sebenarnya lebih peduli pada penyakit rabies. Karena mereka yang lebih rutin memeriksakan anjingnya ke dokter.
Sementara coba anda perhatikan pemilik anjing lokal. Anjingnya dibiarkan berkeliaran. Selain mengotori kota, juga membahayakan keselamatan orang lain. Pemilik anjing ras akan sangat memperhatikan keselamatan dan kesehatan anjingnya.
Pertama, tentu anjing-anjing itu berpotensi menjadi anjing gila. Kedua, ndak jarang anjing-anjing lokal yang menggelandang itu malah jadi penyebab kecelakaan lalu lintas.
Jadi, saya ndak sepakat bahwa rabies disebabkan oleh keberadaan anjing ras. Justru para pemilik anjing-anjing ini adalah orang-orang yang peduli dengan penyakit ini.
Ada banyak orang yang pelihara anjing ras dan saya sepakat mereka lebih peduli. Tetapi apakah Saudara berani memastikan bahwa semuanya benar-benar peduli akan kesehatan Anjing Ras peliharaannya seperti Pushandaka lakukan? Tulisan saya lebih mengarah pada ketidaksadaran dan ketidaksiapan orang Bali atas resiko pemeliharaan Anjing Ras. Tidak sedikit yang hanya karena Gengsi, ikut-ikutan dan tidak mau kalah dengan tetangga yang sama-sama pelihara anjing ras. Ini soal prilaku massa, bukan individu. Satu saja yang tiba-tiba bosan dengan anjing ras nya yang ternyata mengidap rabies, kemudian tidak peduli lantas membiarkannya berkeliaran, maka anjing ras ini bisa menginfeksi banyak anjing lokal. Betapa fatal akibatnya bukan?.
Kalau Anjing lokal mengotori dan bikin kecelakaan lalu lintas saya pikir itu masalah yang tidak bisa disetarakan dengan soal penyakit rabies. Soal kotori lingkungan manusilah jagonya. Dan korban tewas dijalan gara-gara faktor diluar masalah Anjing berkeliaran tidak terhitung jumlahnya. Tapi ini kita bicara rabies, penyakit mematikan yang harusnya tidak perlu terjadi kalau potensi sumber penyakitnya tidak dibawa masuk ke Bali. Ingat Bali sudah pernah dinyatakan bebas rabies dan itu terjadi ketika anjing-anjing lokal di Bali berkeliaran dengan bebasnya. Ketika itu pula kepemilikan Anjing Ras diatur dengan begitu ketatnya dan Masyarakat Bali masih belum menjadikan peliharaan Anjing ras sebagai sebuah gengsi.
Tapi sejujurnya, saya sama sekali blum pernah melihat anjing ras berkeliaran di jalan tanpa pengawasan pemiliknya. Logika saya bilang, ndak mungkin mereka membeli anjing seharga jutaan rupiah cuma untuk ditelantarkan. Beda dengan anjing lokal yang bisa dibeli seharga puluhan ribu rupiah saja. Kemungkinan untuk ditelantarkan besar banget.
Terbukti dengan banyaknya anjing lokal yang dibunuh untuk pencegahan rabies oleh petugas belakangan ini. Anjing-anjing lokal itu dibunuh karena berkeliaran tanpa diketahui pemiliknya, bukan karena statusnya yang lokal.
Iya deh, saya sepakat, mungkin ada beberapa pemilik anjing ras cuma dilatarbelakangi gengsi. Tapi saya ndak setuju juga kalau itu ditempatkan sebagai penyebab berkembangnya rabies di Bali. Pemilik anjing ras toh ndak cuma di Bali.
Demikian, kurang lebihnya pendapat saya. Terima kasih. *pamit pulang untuk bermain bersama anjing rottweiler saya. 😛
andaka, ibarat memercikkan api ke kubangan bensin, begitulah saya ingin menggambarkan kasus rabies di Bali. Bali dengan anjing-anjing lokal nya yang dibiarkan berkeliaran adalah kubangan bensin. Tentu dia tidak akan berkobar menjadi api kalau tidak ada percikan api. Nah… masuknya anjing ras yang membawa potensi rabies, meski hanya 1 ekor saja bisa menjadi percikan api. Kubangan bensin, kena api kecil saja bisa berkobar sangat hebat bukan? Ketika api sudah membara, maka anjing lokalpun menjadi korban karena harus dimusnahkan.
Jika diluar bali banyak ada anjing ras dipelihara, dan tidak ada rabies itu karena anjingnya memang tidak berkeliaran, betul-betul dirawat. Disemarang misalnya tak ada anjing berkeliaran bebas, ini terkait dengan keyakinan/agama mayoritas warga Semarang dan Jawa pada umumnya yang menganggap anjing najis.
Kalau di Bali saya pernah melihat anjing ras terlantar… bahkan dibiarkan gudigan. tidak semua anjing ras harganya tinggi. Ada yang harganya sedang dan ini bisa jadi semacam anjing ras selundupan dari luar Bali yang diminta masyarakat “miskin” tetapi merasa “kaya” karena demi gengsi merasa perlu memelihara anjing. Atau sang orang tua tidak tahan mendengar rengek an anaknya yang minta anjing pudel, chiua-hua, esky atau apalah namanya. Anjing ras pun dibeli. Saat si anak bosan…terlantarlah si Anjing Ras.
Selamat bermain-main dengan Anjing Rottweiler nya….Dan tidak perlu merasa ikut bersalah katika Rabies mewabah di Bali. Bukankah Andaka sudah memeriksakan anjingnya secara rutin?
Oke Mas Ata. Terima kasih untuk artikel ini. 🙂
Jadi intinya sekarang, ndak penting apa “merk” anjingnya, yang penting perawatannya.
Dan akan lebih baik lagi, kalau anjing lokal juga ndak dibiarkan berkeliaran dan diperlakukan layaknya anjing ras (check-up rutin dan ada surat kepemilikan). Sementara yang anjing “pendatang” diperketat lagi pengawasannya.
Rabies toh musuh kita bersama. Ngono tho, Mas Ata? 🙂