Oleh Wayan Sunarta
Bagi Putu Wirantawan, berkesenian harus terus bergerak, mencari dan menelusuri berbagai macam kemungkinan. Dan pada akhirnya harus bisa menentukan karakter atau ciri khas yang hendak dijadikan pijakan dalam berkarya. Tentu itulah tantangan yang terberat menjadi seorang pelukis.
Wirantawan pernah mengalami konflik batin berkepanjangan dalam mengambil sebuah keputusan untuk menentukan bahan, medium, karakter dan corak yang tepat dalam berkarya. “Kegelisahan dan konflik batin itu membuat saya hampir gila,” ujarnya.
Akhirnya dia memutuskan memilih drawing sebagai sarana untuk menyampaikan kegelisahan kreatifnya sebagai pelukis. Jauh sebelum itu, dia pernah mencoba dan menekuni berbagai medium dan corak. Dia pernah suntuk memakai cat minyak, akrilik dan cat air di atas kanvas atau kertas. Dengan bahan-bahan itu dia menuangkan ide-idenya melalui corak ekspresionisme, figuratif, semi realis, impresionis dan abstrak. Bahkan dia pernah dijuluki “Affandi Kecil” karena kegemarannya melukis di alam bebas, langsung berhadapan dengan objek, dan memakai corak ekspresionisme.
“Namun semua itu tidak memuaskan jiwa saya. Kegelisahan saya justru lebih terwakili dengan goresan dan arsiran pencil di atas kertas atau kanvas. Saya memutuskan memilih drawing sebagai bahasa saya dalam berkesenian,” tuturnya.
Wirantawan mengatakan menggarap drawing mendatangkan kenikmatan tersendiri. Metode dan teknik melukis yang tidak didapatnya dalam cat minyak, akrilik atau cat air, bisa ditemuinya melalui goresan dan arsiran pencil di kertas. Layaknya Musashi yang mengganti pedang besinya yang tajam dengan pedang kayu.
Pencil yang sederhana dan sering dilecehkan pelukis lain, di tangan Wirantawan menjelma alat melukis atau menggambar yang sangat ampuh. Jari tangannya sangat lihai memainkan pencil sehingga melahirkan goresan dan arsiran yang spontan dan memukau. Wujud-wujud yang tercipta pun sangat unik dan imajiner, dibuat melalui kesungguhan hati dan perenungan yang dalam.
Menurut Wirantawan, karya-karyanya tercipta dari ide-ide yang sederhana yang bertebaran di sekitar kehidupan manusia, namun seringkali dilupakan atau diremehkan orang. Misalnya, benda-benda berbentuk lingkaran, segi tiga, berkas cahaya, lelehan lilin, sinar pelita, dan objek-objek sederhana lainnya. Melalui kekuatan observasi, penghayatan dan imajinasi, benda-benda tersebut mengalami sublimasi dalam karya-karya drawingnya.
“Yang terpenting dalam melukis bukanlah ide, melainkan kesungguhan, kejujuran dan kepuasan batin. Buat apa melukis kalau tidak jujur pada diri sendiri dan batin tidak puas?” ujar Wirantawan.
Berpijak dari prinsip itu, Wirantawan tidak terlalu peduli apakah karyanya disukai orang atau tidak. Baginya, jalan hidup sebagai pelukis adalah berkarya sebaik mungkin, tanpa ada pamrih, tanpa memikirkan keuntungan materi ataupun popularitas. “Bagi saya materi dan popularitas hanyalah efek dari ketekunan berkesenian,” ujarnya.
Ketika melukis, Wirantawan menolak didikte oleh orang lain atau demi mengejar kepuasan pasar. Baginya, melukis atau membuat drawing adalah terapi menghilangkan stress, yang ujungnya demi kebahagiaan batin. Tentu saja, membuat drawing dengan pencil perlu kesabaran dan ketekunan.
“Paling cepat perlu waktu seminggu dalam membuat drawing ukuran kecil. Karya ukuran besar pernah saya garap selama sembilan bulan,” kata Wirantawan menjelaskan betapa lamanya sebuah karya diciptakannya.
Dalam membuat drawing dengan pencil, dia tidak memerlukan penghapus jika terjadi kesalahan. Goresan dan arsirannya yang spontan memerlukan ketelitian yang tinggi. Dengan pencil dia lihai memainkan gelap terang suatu bidang atau menciptakan bayangan. Bahkan teknik-teknik bercak, tekstur semu, bisa dibuatnya dengan pencil.
“Memang lebih sulit menciptakan efek-efek visual dengan pencil. Tapi bagi saya menggambar dengan pencil adalah suatu kemurnian, perlu kesabaran dan keterampilan tingkat tinggi. Namun di sanalah letak tantangan dan kenikmatannya,” tuturnya.
Tantangan terbesarnya dalam berkarya adalah ketika ide-ide terus berputar dalam kepala, seakan medium yang ada tak cukup mampu menampungnya. Maka seringkali ketika sedang mengerjakan drawing, pada saat yang hampir bersamaan dia juga membuat sketsa-sketsa. Baginya, drawing dan sketsa masing-masing merupakan karya yang otonom. Namun terkadang dia membuat sejumlah sketsa dulu sebagai studi, lalu dipindahkan ke dalam drawing.
“Seringkali visual di sketsa menjadi jauh berbeda ketika dipindah ke drawing. Itu tergantung keliaran imajinasi saat menggarap drawing. Bahkan tangan saya sering bergerak sendiri seakan dituntun oleh alam bawah sadar,” ungkapnya.
Dengan menerapkan metode yang sering dipakai kaum surealis, wujud-wujud karya Wirantawan seperti berada di ambang alam nyata dan impian. Beberapa mirip jasad renik, seperti kuman, bakteri, parasit, amuba. Sebagian lagi penuh simbol-simbol bernuansa mistis dan spiritual. Misalnya, seberkas cahaya yang seakan meleleh di atas meja, atau bias-bias lingkaran cahaya yang berpendar dalam kegelapan. “Saya suka menggambar cahaya. Bagi saya, cahaya adalah energi kehidupan,” ujarnya.
Februari dan Maret lalu, Wirantawan memamerkan 13 karyanya di Ganesha Gallery, Four Seasons Resort, Jimbaran, Bali. Pameran tersebut bertajuk “Alternative Universe”.
Pelukis berbakat dan kreatif ini lahir di Negara, Bali, 14 April 1972. Tahun 2005 dia menamatkan kuliah seni rupanya di ISI Yogyakarta. Sejak 1993, dia telah aktif tampil dalam pameran-pameran bersama di berbagai kota di Indonesia. Dan sejak 2002, telah lima kali dia menampilkan karya-karyanya dalam pameran tunggal, di antaranya di Edwin’s Gallery (Jakarta), Bentara Budaya Yogyakarta, Griya Santrian Gallery (Sanur, Bali).
Sejak 1985 dia telah mengantongi sepuluh penghargaan seni rupa, di antaranya Finalist of the Philip Morris Art Award (1999), Nominee Among The Best 10 of Philip Morris Art Award VII (2000), Honorable Mention, The 12th International Biennial Print and Drawing Exhibition R.O.C, Taiwan (2006), Finalist of the 2nd International Trienale “Print and Drawing”, Bangkok, Thailand (2008). Beberapa karyanya telah menjadi koleksi The National Taiwan Museum of Fine Art, Museum der Weltkulturen (Frankfurt, Germany) dan Silpakorn University (Bangkok, Thailand). [b]