Kisah muram si anak logam yang mencari rezeki dengan cara menyelam.
Saat berada di Pelabuhan Gilimanuk, menuju ataupun meninggalkan Pulau Bali, akan terlihat beberapa anak menyelam di dekat kapal laut yang bersandar di dermaga. Mereka akan meminta penumpang kapal laut melempar koin.
Mereka biasa disebut anak koin atau anak logam. Saat ini anak koin atau anak logam sering ditemui di Pelabuhan Gilimanuk saja.
I Putu Cahaya Widiasa salah satunya. Putu, panggilan akrabnya, masih berumur 12 tahun. Anak yang lahir pada 17 Maret 2005 itu termasuk salah satu anak koin di desa kelahirannya, Gilimanuk.
Putu termasuk anak yang memiliki tubuh di atas rata-rata. Dia memiliki tubuh gempal dan tingginya sekitar 150 cm. Berbeda dengan rata-rata ukuran tubuh teman-teman seusianya yang juga menjadi anak koin.
Kulitnya sawo matang. Alisnya hitam tebal. Senyumnya manis.
Seperti biasa, setiap pukul 4 sore ia dan teman-temannya terlihat berada di pelabuhan Gilimanuk.
“Kak … lempar koin, Kak,” teriaknya sambil berenang di antara dermaga dan kapal ferri yang sedang berlabuh.
Satu, dua, tiga koin dilempar beberapa penumpang kapal feri. Dengan sigap Putu bersama dua temannya berebutan menyelam untuk mengambil koin.
Setelah sekian detik terlihat menyelam sampai ke dasar laut, mereka muncul kembali ke permukaan. Salah satu tangan mengepal menggegam koin. Begitu seterusnya mereka lakukan hingga kapal laut yang berlabuh pun berlayar.
Saat kapal feri akan berlayar, Putu berenang menuju pantai tidak jauh dari dermaga. Dia duduk di atas pasir. Mulai menghitung koin di genggamannya sembari menunggu kapal lain yang akan berlabuh.
Senyum kecil menyungging di bibirnya setelah menghitung koin hasil tangkapannya. Koin yang ia dapat kemudian dimasukkan ke dalam kantong celana.
“Sehari kadang mendapat Rp 35 ribu kadang juga dapat Rp 60 ribu,” ceritanya sembari memainkan kaki-kakinya di dalam pasir pantai.
Uang koin yang ia dapat tidak semuanya ia gunakan untuk jajan. Sebagian ia tabung.
Cerita Pedih
Malam mulai menjelang. Sekitar pukul 18.30 petang, Putu yang saat itu berada di dermaga paling timur pelabuhan mulai berjalan menuju teman-temannya yang berkumpul di bawah dermaga ujung barat.
Putu dan teman-temannya tidak langsung bergegas pulang. Mereka saling berbincang maupun saling bercanda. Terlihat juga beberapa anak saling bermain perang-perangan hingga bergulung-gulung di atas pasir.
Saat matahari sudah mulai tak terlihat dan saat langit mulai gelap sekitar pukul 19.00 WITA, dengan telanjang dada dan kaki yang tak beralas putu dan teman-temannya meninggalkan pelabuhan menuju ke rumah masing-masing.
Namun, di balik keceriaan Putu ada cerita pedih yang ia alami. Putu tidak memiliki rumah. Ia menumpang di rumah bibinya. Ia tinggal menumpang seorang diri. Ayah dan ibunya sudah sejak lama bercerai karena alasan ekonomi.
Ia saat itu masih berumur empat tahun. Ibunya meninggalkan dia pada ayahnya seorang diri. Karena pada saat itu ayahnya tidak bekerja dan memiliki rumah, dititipkanlah Putu pada bibinya yang bernama Ketut Suarnati.
Bibinyalah yang merawat Putu dari umur empat tahun hingga sekarang. Bibinya jugalah yang paling mengerti sifat dan kebiasaan Putu setiap harinya. Ayahnya jarang menengok ke kediaman Ketut Suarnati karena sibuk bekerja.
Pekerjaan ayahnya adalah “nyangkrik” atau mencari penumpang bus di terminal Gilimanuk yang memaksakannya jarang bertemu dengan anaknya.
Namun, tidak pernah dihubungi dan tidak mengerti seperti apa ibunya juga jarang sekali bertemu dengan ayahnya, tidaklah membuatnya menjadi anak nakal.
“Putu itu anaknya tidak tergolong anak nakal. Dia sedikit pendiam. Ya meskipun tidak ada ayah dan ibunya,” cerita Ketut suarnati.
Kesedihan mendalam juga ikut dirasakannya. Melihat sang ponakan yang masih berusia belia harus ikut merasakan tidak mempunyai keluarga lengkap. Tanpa seorang ibu dan jarang bertemu dengan ayahnya.
Pergi Diam-diam
Ketut Suarnati menceritakan keseharian keponakannya dengan mata yang berlinang air mata. Menurutnya Putu anak yang suka membantu pekerjaannya saat di rumah. Biasanya membantu menyapu rumah dan mencuci piring.
Saat disuruh membelikan sesuatu keponakannya pun jarang menolak dan langsung mengerjakannya. Menjadi anak koin sebenarnya sudah ia larang karena khawatir dengan kesehatan dan keselamatan keponakannya itu. Karena keponakannya memiliki riwayat penyakit ASMA.
Namun, jika ingin sesuatu tapi tidak punya uang dan tidak berani meminta kepadanya atau ayahnya, si Putu nekat mencari koin secara diam-diam. Saat keponakannya pulang ke rumahnya dengan pakaian basah barulah ia tahun kalau keponakannya baru saja mencari koin di pelabuhan.
Terkadang ia memarahi dan terkadang juga tidak.
Biasanya saat mendekati hari raya umat Hindu, keponakannya sering mencari koin di pelabuhan. Uang keponakannya tersebut digunakan untuk membeli baju hari raya.
Sama seperti anak-anak lain yang bukan seorang anak koin, Putu senang bermain sepak bola jika ia tidak mencari koin. Saat itu bersama dua belas temannya ia menuju ke lapangan sepak bola. Mereka biasa bermain sepak bola di lapangan museum manusia purba Gilimanuk.
Dari kedua belas temannya hanya tiga orang yang menjadi anak koin. Di antaranya Putu sendiri, Dhevana teman sekelasnya dan Abeh adik Dhevana.
Saat bermain bola, Putu biasanya menjadi penyerang. Di atas kedua kakinya ia memainkan bola kemudian menendangnya. Setelah beberapa saat bermain mereka kemudian berkumpul membentuk lingkaran untuk beristirahat di pinggir lapangan.
Ketika mulai hari mulai petang, mereka bubar dan pulang menuju ke rumah masing-masing. Begitu juga Putu. Namun, kali ini Ia tidak pulang ke rumah bibinya, melainkan pulang ke rumah saudara yang lainnya. [b]