Lewat tempat kursusnya, Putu Semiada tak hanya mengajarkan bahasa.
Putu Semiada memiliki mimpi besar untuk membangun tempat belajar di kampung halamannya setelah lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Namun, mimpinya tak langsung bersambut, karena ia memutuskan untuk bekerja.
Mimpi yang tinggi, membuatnya nekat memutuskan pilihan. Pada tahun 2000 ia memutuskan bekerja sekaligus membuka tempat kursus bahasa Inggris.
Semiada memulai dengan 20 orang anak di kampungnya, Blahbatuh, Gianyar. Dia dibantu oleh seorang guru. “Saat itu saya tidak tahu marketing, saya hanya buka les. Tanpa sengaja ketemu dengan seorang guru, lalu dia kirim muridnya ke tempat les saya,” ceritanya.
Mendampingi murid 20 orang, nyatanya tidak menjamin kemajuan tempat kursus itu. Setelah sekian tahun sejak berdiri, kurang lebih 7 tahun tempat les dibuka, ia mulai mendapatkan sindirian dari orang-orang sekitarnya.
Kondisi Tempat kursus Prima Santhi waktu itu bagaikan hidup segan mati tak mau. Putu Semiada hampir menyerah dengan menutup tempat les itu. Karena tempat lesnya, seperti orang Bali bilang, buyung gen sing ada lewat (lalat aja ngga ada yang lewat).
“Bagaimana bisa survive?” tanyaya.
Namun, di sisi lain ia teringat kembali alasan awal membuka tempat kursus bahasa Inggris ini. Selain ingin membagikan kemampuan yang ia miliki, juga karena ia melihat anak-anak di desanya keluar desa untuk ikut les bahasa Inggris.
“Saya lihat banyak anak-anak di desa yang les ke luar desa. Akhirnya saya berpikir kenapa nggak saya coba saja buka tempat les bahasa Inggris dengan bianya murah,” pikirnya.
Istimewanya, tak sekadar mengajarkan bahasa Inggris, dia menyelipkan ajaran pembangunan karakter di Prima Santhi. Sehingga dia sesekali menjuluki tempat kursusnya dengan “more than learning English”.
Gayung bersambut. Pada tahun 2006 usaha Putu menarik temannya untuk membantu. Dengan memberikan beasiswa untuk anak tidak mampu yang ikut kursus di Prima Santhi. Sepuluh anak dipilih untuk kursus gratis. “Dia membantu, tetapi tidak meminta imbal balik apapun. Itu yang sekaligus mendongkrak hidup saya mulai dikenal,” katanya.
Usaha Putu kembali mendapat dukungan dari teman lamanya pada tahun 2009. “Sama teman saya itu, saya disuruh berhenti bekerja, katanya, ngapain saya ngerjain tempat kursus beginian. Trus saya jawab, lalu apa yang bisa saya kembangkan? Dikasitahu kembangkan aja bahasa Inggrismu,” dia lanjut bercerita.
Tahun 2010 kemudian tanpa sengaja ketemu lagi dengan teman lamanya. “Saya langsung dikasi kata-kata kasar. Kalo orang mungkin sudah jerih (nyerah) tapi saya tidak. akhirnya saya nekat. 2010 saya berhenti bekerja, saya nekat. Istilahnya lagasin bayunya, itu yang saya tulis di Buku Lagasin Bayune.”
Lalu tantangan apa yang akan dihadapi ketika memutuskan berhenti dari pekerjaan? Tidak salah, bahwa tantangan itu datang dari orang terdekat. Istrinya sendiri. Namun, Putu berhasil meyakinkan istrinya. “Karena saya pikir meski kursus saya ngga jalan, saya masih bisa survive karena ada istri kerja.”
Setelah berhenti bekerja, Putu dimentoring teman lamanya. Cara mentoringnya simpel. Yaitu dengan fokus pada apa pun yang dilakukan. Artinya, membesarkan apa yang kamu lakukan. Tidak neko-neko. Dia memegang teguh konsep fokus membangun kursus ini.
“Kalau seperti pizza, kan d imana-mana sama, tapi topingnya saya perbaiki. Saya adakan lomba, workshop, tidak dibayar. Bahwa kami tidak hanya belajar bahasa Inggris, tetapi termasuk story telling bagaimana sebuah kursus yang di desa itu bisa mendatangkan native speaker.”
Singkat cerita, Putu menganggap apa pun dukungan yang dilakukan temannya seperti beasiswa buat anak-anak yang tidak mampu, sangat ia syukuri. Sekecil apapun hasil yang diperoleh dia syukuri. Dia percaya syukur itu mendekatkan dengan energi.
Melewati banyak perjuangan, Putu seperti menuai bibit yang gigih ia tanam. Sekarang kursus Putu terus berkembang dengan memiliki 350 anak di Prima Santhi. Ia percaya, hasil ini didapatkan dengan jalan fokus.
“Sebenarnya saya ngga nyangka, karena sesuai konsep Lagasang Bayune, saya melakukan segala sesuatu dengan gembira,” katanya.
Seperti anak-anak yang tidak memikirkan target atau jumlah. Dengan kita melakukan sesuatu dengan gembira, masak sih ngga ada reward. Ketika menghadapi konsumen dengan wajah gembira tanpa cemberut pasti konsumen senang, pasti akan ada hasilnya, entah dari orang tersebut atau orang lain.
Seiring usahanya membuka tempat kursus, Putu tidak tinggal diam. Spanjang perjalanan ia tuang menjadi karya. Hingga tahun 2019 Putu Semiada sudah melahirkan tiga karyanya dalam bentuk buku. Buku pertama berjudul Lagasang Bayune bercerita tentang bagaimana ia membangun kursus dan ketemu orang-orang yang mendukung.
Kedua, ketika Putu ikut gerakan dan mulai bertemu dengan orang-orang baru. Kisah ini ada di buku kedua berjudul Tegtegan Bayune. Ketiga itu Lemesin Bayune, baru terbit 2019. Buku ini ditulis mengingat umurnya yang terus bertambah.
“Saya berpikir apa sih yang saya cari dalam hidup? Keluarga sudah punya. Istri sehat walaupun tidak kaya-kaya amat, tapi bisa membiayai hidup. Jadi saya pikir hidup tenang-tenang saja,” katanya.
Melalui buku ketiga ini Putu mengingatkan bahwa keinginan adalah sumber kesengsaraan. [b]