“Tantangan tertinggi dalam politik adalah menjaga moral kita tetap teguh. Jangan biarkan dirimu atau keluargamu menjadi sandera kepentingan politisi atau terjerat kesalahan masa lalu. Hadapi dengan tegas dan penuh keyakinan, demi masa depan yang lebih bermartabat.”
Dalam memasuki tahun politik ini, kita menyaksikan semakin banyak calon eksekutif maupun legislatif yang mendatangi tempat-tempat suci di Bali untuk bersembahyang. Namun, apakah semata untuk ibadah? Oh tentu tidak.
Fenomena politisasi pura membawa dampak mendalam terhadap keseimbangan antara spiritualitas dan realitas politik di Bali. Bendesa, pengempon pura, dan tokoh-tokoh politik harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pura tetap menjadi tempat suci, bukan arena kampanye. Di Bali, pura bukan sekadar tempat ibadah, melainkan simbol religiusitas masyarakat. Pentingnya pura terletak tidak hanya pada upacara ritual, tetapi juga dalam cerminan nilai-nilai spiritual komunitas Bali.
Melihat perilaku para kandidat di tempat suci, kita bertanya-tanya: apa sebenarnya niat mereka? Apakah tujuan mereka murni, atau ada agenda politik terselubung di tempat yang seharusnya bebas dari politik? Dahulu, tempat publik seperti agora menjadi wadah diskusi para cendekiawan. Kini, banyak calon yang justru menjadikan tempat suci—rumah ibadah yang digunakan untuk memuja leluhur—sebagai ajang kampanye.
Masyarakat Bali kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga fungsi dan kemurnian pura di tengah dinamika sosial-politik. Demi menjaga taksu dan kewibawaan Hindu Bali, kita perlu mengamankan pura dari kepentingan politik praktis. Ini adalah tanggung jawab kita bersama, terutama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Bawaslu, dan instansi lainnya. Pura adalah tempat suci yang harus kita jaga, bukan lokasi kampanye politik yang sering kali penuh janji kosong.
Kita sebagai masyarakat perlu bersikap kritis terhadap para kandidat atau partai politik yang memanfaatkan tempat suci sebagai sarana kampanye dengan berbagai janji. Tidak semua masyarakat memiliki kapasitas untuk menilai apakah yang dilakukan para politisi ini benar atau salah, dan godaan pragmatisme semakin besar. Kita juga melihat bahwa pembangunan fisik pura adat yang sangat getol beberapa tahun terakhir telah menambah beban finansial masyarakat dengan biaya iuran, yang meskipun memperkuat solidaritas, tetap menjadi beban tersendiri.
Tempat ibadah seharusnya menjadi tempat suci, bukan ruang untuk janji-janji yang politis. Kita ingin praktik semacam ini tidak berulang. Kita harus sepakat bahwa agama jangan dijadikan komoditas politik untuk meraih kekuasaan. Bahkan, larangan kampanye di tempat suci sudah sepatutnya diatur dalam undang-undang.
Praktik politik di area tempat-tempat suci dapat memicu perpecahan. Para calon yang berkampanye di tempat ibadah menunjukkan kurangnya kedewasaan politik. Jika mereka cerdas, pilihlah tempat kampanye di ruang publik atau kampus, berdiskusi bersama para pakar dan masyarakat.
Selain itu, beberapa tokoh birokrasi adat masih terkooptasi oleh politik praktis. Mereka seharusnya mempersiapkan mental dan berhati-hati agar tidak terseret dalam kepentingan tertentu. Jangan sampai ada politik balas budi yang justru merugikan masyarakat. Pemimpin yang baik tidak akan menakut-nakuti dengan janji ancaman seperti, “Jika Anda tidak memilih calon A, desa Anda tidak akan mendapatkan dana.” Praktik seperti ini harus dihentikan.
Saya pribadi sangat kecewa melihat fenomena ini. Alih-alih membangun semangat keterlibatan politik yang sehat, praktik ini malah meningkatkan apatisme dan skeptisisme publik. Masyarakat yang menyaksikan politik transaksional di tempat suci dapat merasa bahwa suara mereka tidak lagi berarti, bahwa politik hanya tentang perebutan kekuasaan, perebutan persenanan dsb. Tetapi bukan pelayanan publik.
Sebagai individu yang merdeka, saya melihat ini sebagai kemunduran yang mengarah ke primordalisme dan feodalisme. Para calon seharusnya melakukan dialog terbuka dan menawarkan visi-misi yang jelas, bukan sekadar memberikan “hibah” atau “bansos” sebagai imbalan dukungan. Kandidat yang hanya mengandalkan bantuan hibah untuk meningkatkan elektabilitas tanpa visi misi yang matang jelas menunjukkan kemiskinan ide. Jika masyarakat puas dengan calon seperti ini, kita bisa mengalami kemunduran.
Kita perlu merenungkan: di balik pura yang megah, apakah masih ada masyarakat yang hidup miskin, yang kesulitan mendapatkan pendidikan dan pangan? Pura yang megah tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat adalah kesia-siaan.
Praktik “horse trading” dalam politik, atau perjanjian di balik layar, memiliki dampak negatif. Kesepakatan-kesepakatan hasil horse trading sering kali bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas dan merusak pendidikan politik yang sehat. Kampanye yang baik seharusnya berfungsi untuk mencerdaskan masyarakat, bukan untuk melanggengkan praktik politik uang.
Dampak dari kesepakatan-kesepakatan ini adalah pemilih mulai melihat pemilu sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan pribadi, bukan kesempatan untuk memilih pemimpin yang terbaik. Pendidikan politik masyarakat semakin tergerus, karena pemilu dianggap sebagai transaksi jangka pendek, bukan proses penentuan masa depan.
Untuk melawan hal ini, diperlukan kesadaran dan kemauan yang lebih dalam dari Masyarakat dan kemauan berubah. Kita harus kritis, memiliki idealisme, dan menanamkan nilai-nilai yang menolak politisasi tempat suci.