Sebelumnya, saya ingin menyampaikan beberapa hal terlebih dahulu bahwa, saya pribadi bukan manusia yang alergi terhadap isu perkembangan pariwisata di Bali. Sebab, lingkungan saya tinggal mayoritas penduduknya menggantungkan hidupnya dari industri tanpa asap—pariwisata, tanpa kecuali diri saya sendiri. Kemudian, saya meyakini betul bahwa Bali dengan keterbatasan lahan, regulasi pemerintah, ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, perlindungan lingkungan, budaya dan spiritualitas masyarakatnya yang kuat tidak relevan Bali dijadikan sebagai industri asap—pabrik besar.
Sehingga, pengalihan dari industri asap ke industri tanpa asap adalah pilihan yang sangat tepat untuk menopang perekonomian masyarakat Bali. Dengan dukungan kombinasi antara alam, adat, tradisi, agama yang unik kian memberikan Bali nuansa yang berbeda di mata wisatawan.
Sebelum bercerita lebih jauh lagi tentang isu pariwisata di Bali. Industri pariwisata yang sekarang berkembang pesat yang tidak hanya menyasar daerah Bali Selatan namun sudah menjalar sampai ke seluruh daerah hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Perlu dicatat, bahwa perkembangan pariwisata yang dinikmati masyarakat Bali hingga hari ini tidak luput dari peran orang-orang Barat yang turut mempromosikan keeksotisan pulau ini. Tidak sampai disitu saja, mereka juga turut andil dalam memberikan label semacam merepresentasikan pulau ini, diantaranya; Bali Pulau Surga Terakhir, Bali Pulau Seribu Pura, Bali Pulau Seniman, Bali The Morning of The World, Bali Pulau Dada Telanjangdan masih banyak lagi.
Label-label seperti di atas merupakan strategi awal untuk mempromosikan pariwisata Bali ke belahan dunia barat. Menariknya dari beberapa label di atas, salah satunya ada yang menyebutkan Bali dengan sebutan Pulau Dada Telanjang. Lalu timbul pertanyaan, kenapa Bali dilabeli Pulau Dada Telanjang? Apa karena zaman dahulu sebagian besar perempuan-perempuan Bali jarang memakai baju?
Salah satu literatur menjelaskan, mengutip dari buku “Kebalian” yang ditulis oleh Michel Picard (2017) memaparkan bahwa label Pulau Dada Telanjang ini diberikan tidak jauh-jauh dari keterbatasan perempuan-perempuan Bali zaman dahulu untuk memakai bahkan membeli sehelai kain penutup badan mereka. Sehingga, payudara perempuan Bali kala itu memberikan daya tarik utama pulau saat itu.
Jika dikaitkan dengan label Bali Pulau Dada Telanjang dengan pariwisata saat ini akan memberikan gambaran yang relevan, dahulu orang Barat melabeli Bali sebagai Pulau Dada Telanjang tanpa disadari ini telah terjadi eksploitasi terhadap tubuh perempuan Bali. Perempuan Bali dikonotasikan sebagai Ibu Pertiwi—tanah Bali. Sedangkan sekarang pulau yang mungil menghadapi perubahan yang begitu besar dalam sektor pariwisata. Tentunya, untuk menghadapi ini harus siap sedia memberikan pelayanan yang prima untuk keperluan industri ini.
Alih-alih semakin membaik, makin kesini kondisi alam dan lingkungan kian dieksploitasi secara membabi buta. Beberapa fenomena menjerat alam dan lingkungan Bali saat ini ialah.
- Terancamnya Lanskap Subak Jatiluwih Sebagai Warisan Budaya Dunia
Subak Jatiluwih yang terletak di Tabanan, Bali, merupakan salah satu warisan dunia yang telah diakui oleh UNESCO pada tahun 2012. Subak ini merupakan bagian dari lanskap budaya Bali yang mencangkup sistem irigasi tradisional yang dikenal dengan istilah subak. Sistem subak ini diprioritaskan untuk mengelola air secara adil dan asri di persawahan terasering, yang sekaligus mencerminkan filosofi hidup masyarakat Bali yang dikenal dengan konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan).
Mengutip dari RadarBuleleng.id per tanggal 24 Mei 2024 menjelaskan bahwa eksistensi Subak Jatiluwih saat ini dalam posisi terancam. Semakin deras arus pariwisata diimbangi dengan pesatnya alih fungsi lahan membuat status warisan budaya terancam dicabut oleh UNESCO. Perkembangan pariwisata di Jatiluwih tidak terlepas dari diberikannya predikat sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Polarisasi yang terjadi atas predikat tersebut ialah, disisi lain berfungsi untuk menarik wisatawan, namun sebaliknya ini memberikan dampak yang begitu ekstrim terhadap kondisi lingkungan. Terjadinya alih fungsi lahan yang secara besar-besaran memberikan dampak yang buruk bagi keasrian subak,
Pembangunan kafe dan restoran yang terus tumbuh tidak dapat terbendung. Lagi-lagi ini menimbulkan pertanyaan besar khususnya untuk desa Jatiluwih sebagai pengelolaannya. Apakah disana tidak menerapkan secara ketat awig-awig yang berfungsi untuk menjaga lanskap subak Jatiluwih? Kenapa Desa Jatiluwih bisa kecolongan pembangunan di sekitar subak?
Pertanyaan-pertanyan tersebut perlu mendapatkan jawabnya yang valid dan tentunya harus dibenahi secara struktural maupun non struktural untuk memanajemen ulang kawasan wisata Jatiluwih agar eksistensinya sebagai warisan budaya dunia dapat dipertahankan.
- Surga yang Kekeringan
Mengutip dari detikNews per tanggal 3 Desember 2019 menyatakan, Bali, surga bagi wisatawan dunia tengah dilanda krisis air bersih. Demikian pula, riset yang dilakukan oleh IDEP Foundation atau Yayasan IDEP Selaras Alam, sebuah Yayasan yang berfokus pada Pembangunan berkelanjutan di Bali, memaparkan fakta-faktanya.
Menurut IDEP, muka air tanah di beberapa wilayah di Bali, terutama di daerah bagian selatan—porosnya pariwisata, telah mengalami penurunan hingga lebih dari 50 meter dalam waktu kurang dari 10 tahun. Eksploitasi air tanah, menurut Dewie, krisis air bersih di Bali sudah terjadi sejak lama. Selain karena lemahnya regulasi pemerintah dalam hal pengontrolan air baik domestik maupun non domestik, krisis ini juga dinilai dipengaruhi oleh “eksplorasi dan eksploitasi air tanah, lagi-lagi ini dipengaruhi oleh melonjaknya perkembangan pariwisata di Pulau Bali.
Senada dengan yang tertuang dalam detikNews, mengutip dari NusaBali.com per tanggal 23 Juli 2024 menyatakan bahwa Bali menghadapi tantangan serius terkait krisis air yang semakin memburuk efek dari perubahan iklim dan pariwisata yang berkembang sangat pesat. Pembangunan akomodasi pariwisata seperti hotel, vila, dan homestay memerlukan sumber daya air yang sangat besar. Kebutuhan air ini secara akumulatif tidak dapat dipenuhi oleh PDAM, sehingga mayoritas pemilik penyewaan akomodasi mengalihkan untuk mencukupi ketersediaan air dengan cara mengambil air bawah tanah. Pengambilan air bawah tanah yang tidak terkontrol, baik yang memiliki izin maupun tidak, akan menyebabkan penurunan signifikan dalam kuantitas dan kualitas air tanah.
- Pantai yang Kehilangan Kesakralan
Masih hangat dalam ingatan fenomena yang terjadi belakangan ini, masyarakat Bali dihebohkan dengan viralnya salah satu Beach Club yang ada di daerah Canggu. Mengutip dari BaliPost per tanggal 16 Oktober 2024, menjelaskan bahwa insiden kembang api yang terjadi di Canggu, tepatnya di Finss Beach Club telah mencederai kesakralan budaya Bali dan sekaligus pantai yang diyakini sebagai tempat suci oleh masyarakat Bali.
Pesta kembang api itu dilangsungkan di pinggir pantai berbarengan dengan aktivitas upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Aktivitas tersebut tidak hanya dianggap mengganggu kekhusyukan dalam menjalankan ritual, tetapi juga kurangnya sensitivitas terhadap budaya dan tradisi adat Bali yang sangat menghormati siklus spiritual dan keseimbangan alam.
Pantai yang diyakini sebagai tempat sakral oleh masyarakat Hindu Bali seolah-olah tidak ada artinya di mata pariwisata. Begitu ironisnya melihat keadaan Bali saat ini, seolah-olah masyarakat Bali tunduk atas dasar menjaga keajegan pariwisata itu sendiri dengan mengesampingkan nilai-nilai kesakralan khususnya pantai.
Sejatinya Bali ditengarai sebagai salah satu “pulau dalam kondisi kesetimbangan”. Mengutip buku “Merebut Bali Pertarungan Atas Ruang dan Tata Kelola” yang ditulis oleh Agung Wardana (2024), hal ini dilatarbelakangi oleh “sepaket keberhasilan sekaligus keprihatinan, dengan masa depan yang berisiko”.
Dibalik manisnya kue-kue pariwisata tentunya ini memberikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kondisi alam dan lingkungan. Alam dan lingkungan diartikan sebagai ibu pertiwi atau identik dengan jiwa perempuan. Jika dahulu label “Pulau Dada Telanjang” digunakan sebagai strategi untuk menarik minat wisatawan untuk datang ke Bali, namun jikalau didalami lagi ini memberikan citra yang buruk (eksploitasi) terhadap tubuh perempuan. Kemudian, seiring berjalannya waktu perkembangan pariwisata kian melesat, tentu harus ada sisi yang dikorbankan. Maka realita yang dapat dijumpai sekarang seperti, eksploitasi alam dan lingkungan yang terjadi di Pulau Bali semakin meningkat. Merujuk fenomena-fenomena eksploitasi alam yang sudah dijelaskan di atas dengan label Bali “Pulau Dada Telanjang”, saat ini relevan bagaimana alam dan lingkungan ditelanjangi dengan liarnya untuk kepentingan penunjang pariwisata.
Jika ini terus terjadi tanpa adanya kontrol dan regulasi yang ketat, maka jangan salahkan semakin buruknya wajah Bali untuk beberapa dekade ke depan. Korban utama bukanlah orang-orang yang melancong ke Bali, mereka hanya sekadar berlibur, yang kemungkinan besar hanya menetap dalam beberapa waktu saja. Tetapi, kita sebagai generasi penerus Bali menjadi korban yang sangat serius dalam hal ini entah kita akan mengalami kehilangan identitas, krisis air bersih, hilangnya kesakralan budaya Bali, dan sejenisnya.
Lalu, apakah salah jika kaum cendekiawan kiri menganggap pariwisata sebagai bentuk baru neokolonialisme baru? Tentunya dibalik eksploitasi alam dan lingkungan adanya peran andil terutama investor-investor asing yang ingin berinvestasi di sektor pariwisata, entah mereka membangun hotel, vila, homestay, dan sejenisnya.
Daftar Rujukan
Antara. (2024, 16 Oktober). PHDI Bali Soroti Atraksi Kembang Api Saat Upacara Persembahyangan Berlangsung. Diakses pada tanggal 13 November 2024, Dari https://www.balipost.com/news/2024/10/16/422456/PHDI-Bali-Soroti-Atraksi-Kembang…html.
Juliadi. (2024, 24 Mei). Subak Jatiluwih terancam Dicabut Jadi Warisan Budaya UNESCO, Begini Pernyataan Bendesa Adat. Diakses pada tanggal 13 November 2024, Dari https://radarbuleleng.jawapos.com/sosial-budaya/2164687030/subak-jatiluwih-terancam-dicabut-jadi-warisan-budaya-unesco-begini-pernyataan-bendesa-adat.
Picard, Michel, (2017). Kebalian; Konstruksi Dialogis Identitas Bali. Jakarta: KPG.
Wardana Agung, (2024) Berebut Bali Pertarungan atas Ruang dan Tata Kelola.Yogyakarta: INSISTPress.
Welle, Deutche. (2019, 3 Desember). Bali, Surga Wisata yang Kekurangan Air Bersih. Diakses pada tanggal 13 November 2024, Dari https://news.detik.com/dw/d-4808019/bali-surga-wisata-yang-kekurangan-air-bersih.