Sebagai perempuan dari pulau di tengah Danau Toba, saya paham betul rasanya menjadi penonton.
Sewaktu itu, sebagai anak perempuan berusia tiga tahun saya tidak terlalu menaruh perhatian tentang perempuan dan perannya. Anak-anak tumbuh, bermain dan seolah-olah tidak ikut memikirkan dunia. Namun, sebenarnya anak-anak adalah saksi abadi nan kritis dari dunia yang mengalir gila.
Usia tiga tahun, apa yang bisa kita ingat dengan masa-masa itu? Orang dewasa sering meremehkan ingatan mahluk mungil. Namun, sebuah adegan, saya mengingatnya betul, mengakar kuat dan membentuk tubuh dan jiwa.
Di tempat asal saya, nama keluarga diturunkan dari garis lelaki. Lelaki sungguh harus maskulin. Mereka adalah mahluk yang nyaris tanpa disfungsi jika itu mengenai tugas dan peran. Dalam keluarga besar saya, laki-laki harus segera keluar rumah pada pagi hari, mengais rezeki dan pulang membawa apa-apa yang akan membesarkan nama keluarga dan membanggakan siapa pun.
Ini tidak masalah. Tentu saja ini membawa hal-hal baik kepada ketahanan pangan. Segalanya seolah berporos pada dua peran yaitu laki-laki yang berfungsi menggelembungkan pundi dan perempuan yang tunduk menunggu perintah di rumah. Benar-benar sempit dan menyesakkan.
Pada sebuah malam yang dingin dan gelap, suara ayam mulai terdengar dari pengujung malam. Gadis kecil terbangun karena mendengar isak tangis tersedu-sedu dari ujung ranjang. Gadis kecil itu melihat ibunya, menangis dan membalikkan tubuhnya, membelakangi ia dan saudari perempuannya. Sementara suara sekumpulan lelaki tertawa dengan gagah terdengar di halaman depan rumah mereka.
Si gadis kecil mengangkat langkahnya pelan agar ibunya tidak malu, ia melangkah menuju jendela. Ia menaruh pelupuk matanya di sela-sela jendela, menyaksikan ayahnya dan saudara-saudara lelaki ayahnya tertawa, berkumpul dan memberi perintah kepada beberapa pekerja untuk mengikat beberapa ternak dan memasukkan ke mobil truk keluarga.
Para pekerja yang menghalau dingin dengan jaket dan topi mengangkat ternak-ternak itu, menaruhnya ke dalam truk. Sementara ayah dan paman-paman gadis tersebut mengendarai mobil lainnya dan memimpin perjalanan.
Rumah gadis kecil itu kembali sepi, angin malam berhembus sayup-sayup, suara ayam semakin sering terdengar, pagi sebentar lagi tiba. Si gadis kecil mencoba bertanya kepada ibunya, apa yang membuat ia terisak pilu.
“Kenapa, Ma?’’ tanya gadis kecil itu berdiri kaku di depan ibunya.
“Ayah dan paman-pamanmu mengambil semua peliharaan milik Mama. Hanya itu hiburan Mama. Mereka mengambil bahkan tanpa bertanya, tanpa aba-aba, mengambil tanpa sisa. Mama merasa tidak ada, tidak berwujud,’’ jawab sang Mama sambil mengais air matanya dengan selimut berwarna kuning.
Puisi untuk Ibu
Gadis itu masih berusia tiga tahun. Samar-samar ia ketahui hidup ibunya tak seberuntung yang ia pikirkan. Ia melangkah ke jendela melihat malam gelap dan rasa sepi serta seribu tanda tanya tentang mengapa Ayah dan paman-pamannya tidak meminta izin kepada ibunya, tentang apakah ibunya memang mahluk tak berwujud di tengah keluarga itu.
Hari berlalu, siang menjadi malam, tawa dan tangis berganti seolah dunia hanya punya itu. Para lelaki datang dan pergi bercerita tentang keberhasilan di rantau, di perkebunan, di sawah- sawah, tentang penaklukan.
Gadis cilik itu tumbuh dengan ingatan bahwa suatu malam yang dingin, ia menemukan ibunya menangis karena merasa tak berwujud. Ibunya memberi perintah bahwa gadis itu harus bisa membaca, menulis, bersuara dan menemukan diri. Ia membawa gadis cilik itu ke sebuah gudang. Di sana ibunya menyimpan tiga kotak kardus berisi buku-buku. Ibunya membaca puisi, cerita dan prosa milik banyak pengarang.
Gadis itu ingin bisa membaca dan menulis. Ia ingin seperti ibunya. Ia mengambil pensil dari meja kerja ayahnya, mencoret semua dinding dapur. Sementara ibunya memasak, melayani perut seisi rumah agar kenyang dan seperti itu sepanjang hari.
Hingga suatu hari, saat gadis itu belum genap berusia lima tahun, ia membaca sebuah puisi untuk ibunya di dapur. Saat ibunya tengah menanak nasi. Ibunya terkejut, terharu dan mereka berpelukan. Gadis itu berkata, “Aku tahu, kau ingin jadi penulis kan? Tapi kau terlalu takut menuntut kan? Kau takut melawan kan? Kau takut dianggap durhaka bukan?”
“Tapi, kau tidak perlu khawatir, aku akan menjadi lebih baik. Kau harus melawan. Kau tidak perlu memasak jika kau bosan. Kau perlu keluar rumah dan bersuara. Kau jangan hanya menghabiskan hidupmu di balik asap dapur. Kau kan pernah berkuliah dan membaca buku-buku, kau harus segera bertindak karena kau tidak akan muda lagi,’’ ujar gadis cilik tersebut.
Ibunya melepas pelukan tersebut dan menulis di dinding dapur sambil menjawab, “Jika aku anggap kau anak kecil, maka aku salah. Tapi kau akan menulis dan bersuara dan lebih baik dariku. Itu pasti. Aku menganggap semua ini tak sia-sia, karena kau akan menjadi gadis pemberani yang menolak norma-norma membosankan ini.’’
Setiap hari hari milik gadis cilik itu. Dia habiskan dengan membaca puisi milik ibunya. Dan setiap hari, ibunya mengabdi menjadi menantu dalam keluarga besar yang mengedepankan laki-laki. Bangun dini hari, memasak, menyiapkan hari. Meski ada pekerja, tetap saja entah kenapa tampak begitu salah jika ibu santai, tampak tabu jika ia memerintah.
Dua puluh tahun kemudian, gadis tersebut belajar tentang ilmu kedokteran. Dalam ilmu kedokteran jiwa, disebutkan dua indikasi utama pernikahan yang sehat yakni tidak adanya disfungsi peran dalam fungsi ekonomi dan biologis sebagai dua faktor utama berlangsungnya pernikahan. Dalam hal tersebut tidak dijelaskan bahwa laki-laki harus menjadi pemeran utama fungsi ekonomi dan sebaliknya. Tak ada cerita tentang jender mana yang unggul.
Membekas
Sepenggal cerita di atas menyampaikan bahwa ketidaksetaraan dan ketidakpekaan akan membekas pada saksi-saksi. Sekelompok orang bisa menjadikan hal itu sebagai motivasi untuk lebih adil dan baik, sebagian mungkin belum berhasil.
Gadis itu tidak membenci siapapun dalam keluarga besarnya. Dia mencintai mereka. Ia tumbuh beruntung tak kekurangan apapun. Hanya saja, di sini kita tidak hanya sekadar tumbuh tapi meresapi diri dan sekitar. Keadilan sejatinya harus dipertontonkan dalam hal sekecil apapun. Wajah-wajah perempuan yang tunduk, mengubur impian, kalah dalam menemukan diri karena nilai pernikahan dan keluarga harus dirombak.
Tidak banyak anak-anak tumbuh yang menyadari bahwa peran dalam masyarakat kita terlalu kaku, bahwa perempuan harus meninggalkan mimpi untuk pulang dan menjaga keutuhan rumah. Rumah seolah-olah adalah tanggung jawab perempuan semata. Paradigma ini tidak banyak berubah meski jaman kian melaju ke depan tanpa jeda. Perempuan kerap dianggap mahluk nomor dua, baik dalam pernikahan maupun pekerjaan.
Anak-anak menyaksikan ini, meniru dan menganggap itu adalah normal. Tidak banyak kita yang meresapi wajah-wajah kecewa, garis-garis halus tanda menahan asa, senyum-senyum kecut tanda berpura-pura. Sampai kapan kita akan hidup dalam tatanan masyarakat begini?
Gadis itu dan saudara-saudara perempuannya melawan, menghentak nilai keluarganya. Mereka pergi pagi hari dan pulang menggelembungkan diri seperti yang para lelaki di keluarga besarnya lakukan. Keterkejutan lahir, perlawanan dianggap abnormal. Segala lecutan yang para gadis ini lakukan dianggap sebagai keterbelakangan dan pelanggaran pada asal usul. Hingga suatu ketika, nilai-nilai adat ini melahirkan sekelompok generasi laki-laki yang cacat keberanian, pengecut yang bangga dengan nama keluarga dan nilai, tapi getir terhadap dunia.
Gadis-gadis ini muncul sebagai antitesis terhadap gambaran kemaskulinan. Dan lelaki-lelaki dalam tatanan ini merunduk malu, berkerut dan bersembunyi di balik peninggalan-peninggalan yang mereka banggakan. Sebagian melanjutkan nilai itu dan mengagungkannya dan sebagian menertawakan kelawasan tatanan tersebut.
Pertanyaannya, sampai kapan kita membiarkan segala yang sempit ini hidup? Segala yang tak adil ini beranak pinak? Bahwa perempuan adalah pemeran nomor dua yang menjaga rumah, memastikan sayur hangat dan pakaian anak-anak bersih gemilang sementara laki-laki dapat mengaktualisasikan diri hingga ujung dunia.
Sampai kapan generasi selanjutnya melihat bahwa ibu mereka adalah perempuan-perempuan yang menelan pil pahit pernikahan? Bahwa ibu mereka adalah perempuan yang ingin jadi penulis, yang ingin jadi pramugari, yang ingin jadi ahli bedah, yang ingin jadi pianis namun bersembunyi dibalik kasur, dapur dan arisan keluarga yang hingar bingar menceritakan segala dominasi laki-laki dalam bidang ekonomi dan sosial.
Jangan pernah berpikir bahwa anak-anak tak menilai ini semua, mereka melihat, menelan, mengingat, yang entah akan mereka kalahkan atau mereka tiru. Dan sebagai orang dewasa yang memiliki fungsi sudah seharusnya kita menciptakan dunia ebih adil dan manusiawi. Bahwa perempuan juga boleh berlari, menggandakan diri dan fungsi. Bahwa lelaki juga boleh menangis, kelelahan dan beristirahat di rumah.
Memberontak
Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan dalam nilai patriarki kental. Saya dan saudari- saudari perempuan saya memberontak, membikin ayah kami mengakui bahwa norma asalnya tak lagi pantas untuk manusia. Sampai suatu ketika, dia mengizinkan ibu mengaktulisasikan diri dan membiarkan kami menemukan kepercayaan kami masing-masing.
Perjalanan kita menciptakan masyarakat yang adil dan bermartabat tidak akan terwujud jika para lelaki tak mengganggap perempuan adalah sepadan. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa dunia lebih baik, jika kau sebagai lelaki saja lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada ibu, kekasih, istri dan saudarimu untuk nasi putih hangat di kotak nasimu? Bagaimana kau yakin bahwa anak lelaki mu akan mengasihimu jika kau saja lupa mempraktikkan kasih pada pendamping hidupmu? Bagaimana kau percaya bahwa kita bisa memiliki pemimpin yang baik jika setiap laki-laki di rumah menganggap suara perempuan dalam bermasyarakat hanya lagu pemanis?
Dan untuk Ibu, perempuan penuh kecerdasan yang lembut hati terima kasih membiarkan kami meresap gelisah dan cemasmu. Segala puisi takkan cukup menggantikan setiap kasihmu. Untukmu, yang hidup menahan mimpi dan asa, untukmu yang terisak satu dua kali di masa kecilku, karena suaramu hilang.
Ibu, semua baik-baik saja, kau sekarang boleh berbangga diri, diri ini takkan diam.
Suara Ibu,
Menusuk lembut suaranya dari balik bilik,
Hamba yang ruhnya tipis dan melayang-layang nyata
Sabda nadi dirinya menggerutu namun suara hilang dari kerongkongannya
Di setiap sungai dan persimpangan, suaranya pecah dalam bulir air mata
Tapi wajahnya, hanya itu yang pantas kau pandang, wajah dunia tanpa muslihat
Tanyaku tersisa, menyesakkan sanubari
Kapan dan di mana Ibu hilang?
Siapa yang menghamburkan rasa dan wujudnya?
Segala terka lahir, tumbuh, tinggal dalam setiap indera tentang senyum kecut ibu
Tenteram hati dibalik peluknya, tapi siapa yang memeluk ibu?
Sudahlah, kata ibu
Kita ada dalam tengkuk kekalahan, terkadang.
Lain hari, kau harus berlari dari palung gelap ini, katanya.
Dalam peluknya dan selimut berwarna kuning malam tak serupa lagi
Suara ibu bagai takdir dan nyawa,
Lalu segala sempit dan gelap kuterjang,
Bijakmu ku genggam dan taruh di kantong hari
Ibu menjelma nadi darah ku, denyut jantung ku, mata langkah ku,
Suara ibu menjadi lagu diantara simbol- simbol niscaya
Suara ibu tak lagi bersembunyi di balik bilik.