Sidang Tata Usaha Negara antara Walhi vs Gubernur Bali makin seru.
Sidang dalam perkara penerbitan izin pengusahaan pariwisata alam di Blok Pemanfaatan Tahura Ngurah Rai seluas 102, 22 hektar oleh Gubernur kepada PT. Tirta Rahmat Bahari (PT TRB) ini kembali berlangsung Kamis kemarin. Agenda sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar ini adalah pembacaan duplik (tanggapan atas replik penggugat) dari Gubernur Bali (Tergugat I) dan PT. Tirta Rahmat Bahari (Tergugat II Intervensi).
Berbeda dengan sidang sebelumnya, kali ini Kuasa Hukum Gubernur Bali dan PT. Tirta Rahmat Bahari membacakan Duplik mereka di hadapan persidangan. Pembacaaan diwakili masing-masing kuasa hukum yang dibacakan dengan menggebu-gebu. Simon Nahak, SH MH membacakan Duplik Gubernur Bali yang hanya setebal 9 halaman untuk menanggapi Replik WALHI setebal 55 halaman. Adapun Warsa T. Buana membacakan Duplik dari PT Tirta Rahmat Bahari setebal 7 halaman atas Replik dari WALHI setebal 27 halaman.
Materi Duplik yang disampaikan Kuasa Hukum Gubernur Bali hanya menanggapi dalil WALHI atas yang menyatakan Gubernur Bali dalam menerbitkan izin tidak melakukan pengumuman izin lingkungan sebagaimana dimandatkan pasal 39 UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terhadap dalil-dalil Replik WALHI yang lain, Gubernur Bali tidak menanggapinya.
Atas Duplik dari Gubernur Bali tersebut Kuasa Hukum WALHI, Wahyu Indrawan, SH menyatakan Gubernur Bali terlihat tidak mampu menjawab dalil-dalil replik WALHI seluruhnya. Fatalnya tanggapan Gubernur Bali atas tindakannya yang tidak melakukan pengumuman izin lingkungan hanya sekadar menjawab seraya menuduh WALHI manipulatif. Padahal, sejatinya Gubernur Bali terlihat tidak memahami secara esensial makna dan substansi dari izin lingkungan, tidak memahami hukum perizinan lingkungan hidup.
“Maklumlah, karena soal izin lingkungan ini kan memang norma yang cukup baru diatur dalam UU PPLH, pengaturan berbeda dengan yang diatur pada UU Pengelolaan Lingkungan hidup sebelumnya. Wajarlah Gubernur tidak memahami hal ini,” ujar Indrawan sembari tersenyum.
Tidak Menanggapi
Terkait dalil-dalil Replik WALHI selebihnya yang tidak ditanggapi oleh Gubernur Bali, Indrawan menyayangkan hal tersebut. “Sangat disayangkan Gubernur Bali tidak menanggapi dalil-dalil WALHi yang lainnya dengan alasan bahwa dalil-dalil WALHI hanyalah pengulangan dari gugatan WALHI,” katanya.
Menurut Indrawan, pernyataan Gubernur itu keliru dan menunjukan Gubernur tidak serius berpekara karena dalil Replik WALHi bukan pengulangan dalil tetapi bantahan atas jawaban Gubernur sebelumnya. “Ini menunjukan Gubernur tidak mampu membantah dalil WALHI dan dengan tidak menjawab, berarti Gubernur mengakui dalil-dalil WALHI,” kata Indrawan.
Selanjutnya, Wihartono (kuasa hukum WALHI) merinci satu per satu hal-hal yang tidak dijawab Gubernur Bali. Ada beberapa hal sangat esensial tidak dijawab Gubernur Bali. Padahal ada beberapa dalil yang baru diungkap di Replik. Beberapa hal tersebut di antaranya:
1. Tentang PT. TRB yang tidak berbadan hukum. Walhi secara telah tegas menyatakan bahwa PT. Tirta Rahmat bahari bukanlah subyek hukum karena dari sejak permohonan sampai dengan terbitnya izin prinsip dari Gubernur Bali tanggal 29 Juli 2011, tidak mendapat pengesahan dari Kementerian hukum dan HAM RI. Hal ini telah diakui pula oleh PT Tirta Rahmat bahari dalam Duplik yang dibacakan pula dalam persidangan.
PT TRB baru mendapatkan pengesahan dari Kemenkum HAM pada tanggal 25 Agustus 2005 melalui nomor AHU-43323.AH.01.01.2011. Artinya, dari sejak pengajuan permohonan pada 27 April 2011 hingga terbitnya izin prinsip usaha penyediaan sarana wisata alam oleh Gubernur Bali pada 29 Juli 2011, senyatanya PT. TRB belumlah berbadan hukum. Konsekuensinya PT. TRB belum dianggap cakap hukum dan tidak bisa melakukan perbuatan hukum.
Oleh karenanya PT TRB tidak cakap hukum. Dengan demikian Gubernur Bali telah melanggar prosedur dengan memproses permohonan PT TRB yang tidak layak untuk diproses karena tidk memenuhi syarat administrasi. Gubernur juga telah teledor karena memberikan izin prinsip kepada Perusahaan yang bukan merupakan subyek hukum.
2. Gubernur tidak menanggapi dalil WALHI mengenai tidak dimasukkannya ketentuan mengenai larangan menjadikan izin sebagai jaminan atau agunan kepada pihak lain sebagaimana diatur dalam pasal 18 huruf B PP 36 th 2010.
Replik WALHI sebelumnya telah menegaskan sekaligus membantah jawaban Gubernur yang bersikukuh bahwa tidak dimasukkannya ketentuan tersebut tidak berpengaruh terhadap keberadaan kawasan. WALHI berpendapat bahwa jika ketentuan itu tidak dimasukkan maka peluang atau celah hukum bagi PT TRB melakukan perbuatan pengagunan kawasan ke pihak bank untuk mendapatkan modal sangat besar.
Izin Gubernur tersebut dapat saja dimohonkan untuk diproses hak ke BPN seperti HGB, lalu HGB tersebut diagunkan ke Bank, maka terjadilah praktik land banking. Terlebih izin ini berlaku selama 55 tahun, maka sangat besar celah hukum itu. Apalagi dipegang PT yang bernodal hanya Rp 200 juta.
Gubernur tidak menjawab dalil ini, artinya Gubernur mengakui kebenaran dari dalil-dalil WALHI.
3. Gubernur Bali tidak mampu menjawab dalil WALHI yang menyatakan SK Gubernur bertentangan dengan asas-asas perlindungan dan pengeloalaan lingkungan hidup yang diatur dalam pasal 2 UU no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Salah satu hal sangat urgen tidak dijawab Gubernur Bali adalah mengenai pelanggaran asas ekoregion. Hal mana Gubernur dalam menerbitkan izin sangat tidak memerhatikan keadaan keadaan di kawasan tahura. Salah satunya adalah sebagai kawasan rawan tsunami.
Pada jawaban sebelumnya Gubernur Bali telah mengakui kawasan Tahura adalah kawasan rawan bencana Tsunami dan menyatakan tidak masalah karena PT TRB pasti akan mengikuti arahan zonasi mengenai kawasan tsunami yang diatur di Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali no 16 th 2009.
Namun WALHI telah membantah bahwa hal itu tidak mungkin bisa dilakukan karena salah satu arahan zonasi pada kawasan rawan tsunami adalah mengenai pengembangan bangunan sebagai tempat evakuasi halmana diatur pada pasal 111 ayat (6) huruf g yang menyatakan “Pengembangan bangunan sebagai tempat evakuasi pada ketinggian minimal 10 (sepuluh) meter dengan konstruksi yang kuat, kokoh, bagian bawah kosong dan menampung banyak orang.”
Sementara jika mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK.77/IV-SET/2012 tentang Pengesahan Rencana Pengusahaan Pariwisata ALam PT. TRB di Blok Pemanfaatan Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Provinsi Bali, Jangka Waktu Tahun 2012 s/d 2067, sama sekali tidak ditemukan rencana bangunan sebagai tempat evakuasi sebagaimana yang diwajibkan dalam arahan peraturan zonasi kawasan rawan Tsunami.
Artinya sangat mustahil di kemudian hari PT. TRB akan dapat mengembangkan pembangunan bangunan tempat evakuasi, karena pembangunan di kawasan yang diizinkan tersebut hanya boleh jika bangunan terebut telah direncanakan dan disahkan dalam SK Dirjen PHKA tersebut di atas.
Nah, Gubernur sendiri tidak membantah dalil walhi ini dalam Dupliknya artinya Gubernur bali telah mengakui kekeliruannya.
4. Gubernur tidak pula menanggapi dalil WALHi mengenai pemberian izin pembangunan akomodasi di dalam kawasan tahura yang nyata bertentangan dengan kebijakannya sendiri tertanggal 27 Desember 2010 untuk moratorium izin akomodasi di wilayah Bali selatan.
Tidak dijawabnya dalil WALHi ini menunjukan Gubernur Bali mengakui kekeliruannya dalam menerbitkan izin tersebut sehingga ini sebenarnya adalah pengakuan dari gubernur bahwa izin yang diterbitkan bertentangan dengan asas-asas kelestarian lingkungan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Jawaban PT TRB
Senada dengan Gubernur Bali, PT. TRB sebagai TERGUGAT II intervensi juga tidak terlalu jelas mendalilkan dalil-dalilnya dalam DUPLIK tersebut. PT. TRB terlihat kehilangan akal untuk menjawab apa yang didalilkan oleh WALHI. Hal ini dikemukakan oleh Wihartono, “PT. TRB terlihat menjawab sekedarnya saja, tidak mengerti substansi dari materi gugatan.”
Tetapi yang menarik, PT TRB mengakui dalam dupliknya bahwa yang bersangkutan baru mendapatkan pengesahan badan hukum dari KEMENKUMHAM pada 25 Agustus 2011. Ini menandakan bahwa pada saat PT. TRB mendapatkan izin prinsip tertanggal 29 Juli 2011, PT TRB belum berbadan hukum dan oleh karenanya belum sebagai subyek hukum.
Ini membuka tabir yang selama ini gelap. “Kenapa Gubernur Bali begitu terburu-buru memberikan izin prinsip kepada PT yang nyata-nyata belum cakap hukum karena belum berbadan hukum. Ini keteledoran luar biasa!” kata Wihartono.
Karena itulah, menurut Wihartono, berdasarkan paparan tersebut, sudah sepantasnya izin yang disengketakan harus dibatalkan dan dicabut, terlebih izin prinsip yang mendasari terbitnya SK gubernur bali itu diberikan kepada PT yang ilegal. [b]
Comments 1