Maraknya penangkapan pekerja seks juga membunuh salah satu pusat kegiatan ekonomi di Tabanan.
Tak hanya tempat berhenti sarana transportasi umum seperti bus, truk, maupun angkutan umum lain, Terminal Pesiapan juga terkenal sebagai salah satu tempat prositusi di Kabupaten Tabanan. Lokasi terminal ini ada di sisi barat kota berjarak sekitar 25 km di utara Denpasar tersebut.
Pekan lalu, saya ke sana dengan dua teman lain. Kami bertiga ditemani dua staf Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba). Yayasan ini mendampingi para pekerja seks dan pelanggannya dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Bali.
Sore itu ada sekitar empat truk muatan besar dan beberapa angkutan kota terparkir sore itu pekan lalu. Tak seperti namanya yang sudah melegenda sebagai tempat prostitusi, sore itu banyak warung tutup. Tidak ada tanda-tanda bahwa tempat inilah salah satu pusat prostitusi di Tabanan.
Kami berhenti di warung kopi. Percakapan pun kami mulai. “Ini ketua pokjanya,” kata Faiz, petugas lapangan dari Yakeba mengenalkan temannya, Pak Ketut. Kunjungan itu untuk menengok lokasi prostitusi.
Tutupnya lokalisasi Pesiapan dibenarkan Faiz dan Pak Ketut. Pekerja seks di Terminal Pesiapan sudah tidak beroperasi lagi di sana. Pernah, kata Pak Ketut, ketika itu ada razia hampir seminggu. Yang terakhir sekitar tanggal 25 April-2 Mei. Para polisi menggrebek hingga ke dalam. “Kata mereka, terminal bukan tempat untuk penjaja seks,” jelas Pak Ketut.
Anak Sekolah
Penggerebakan ini berdampak pada susahnya program penjangkauan bagi pekerja seks dan pelanggannya. Sebelum ada penggerebakan, Faiz dan Pak Ketut lebih mudah mengontrol para pekerja seks dan pelanggannya. Mereka memberikan edukasi-edukasi sederhana. Misalnya, mengingatkan untuk memakai kondom pada pelanggannya serta kontrol kesehatan di puskesmas pembantu I di Kampung Kodok Kecamatan Tabanan.
Namun, setelah penggerebekan itu, baik Faiz maupun Pak Ketut kesulitan menjangkau para pekerja seks tersebut. “Kita harus petakan ulang lagi. Mereka juga jadi lebih tertutup,” imbuh Faiz.
Menurut Pak Ketut dan Faiz, para pekerja seks memang telah menutup “warung” di terminal, tetapi tidak ruang beraksi mereka. Mereka memilih tempat lain untuk bertransaksi dengan pelanggan. Salah satunya di bungalow. Kunjungan bungalow malah belakangan mulai meningkat. “Para PSK tetap berhubungan dengan pelanggan via sms dan lainnya,” tambahnya.
Susahnya menjangkau pekerja seks ini juga berdampak pada susahnya menjangkau pelanggan. Sebagai contoh, anak sekolahan pelanggan pekerja seks, dulunya malu-malu tiap datang ke terminal karena lebih terbuka. Sekarang, menurut Faiz, karena lebih privat dan susah terlacak. Lebih berbahaya.
Prostitusi, seperti halnya bisnis jasa lain, subur karena adanya transaksi. Ceritanya selalu gemerlap antara si penjaja jasa syahwat dan sang pembeli. Di mana saja bisnis ini bisa jalan, dari basement, mobil goyang, kamar hotel sampai bedeng reyot.
Emka dalam buku Jakarta Undercover telah menulis risalah soal variasi pelayanan seksual. Menarik. Menyimak fenomena dunia malam kelas elite yang ditawarkan komoditas seksual ala ibu kota itu.
Sopir Mampir
Dalam hal prositusi, terminal Pesiapan menyimpan cerita sama menariknya dengan ibukota.
Pak Ketut bercerita asal mula terminal Pesiapan dan sejarah prostitusi di dalamnya. Pasar dulunya terletak di Gedung Mario, Tabanan. Karena alasan lalu lintas, pasar dipindahkanlah ke terminal Pesiapan sekitar tahun 1982.
Ketika baru pindah, suasana di Pesiapan masih sepi. “Banyak pedagang yang menelatarkan lapak-lapaknya, bahkan memberi dengan cuma-cuma,” ujarnya. Dulu, lapak-lapak itu memang hanya berupa bedeng.
Belakangan, sekitar tahun 1985an, mulai muncul terminal. Sebagai tempat transit angkutan luar pulau yang mengangkut barang-barang. Sejak itu terminal mulai ramai dengan aktivitas lalu lalang orang. “Nah, biasalah supir suka mampir,” kelakar Pak Ketut.
Suasana niaga yang sepi, ramainya aktivitas transportasi dan angkutan barang serta banyaknya orang berdatangan membiakkan aktivitas prostitusi di Pesiapan ini. Pelan-pelan, Pesiapan tak hanya identik sebagai terminal tapi juga tempat menyalurkan syahwat dengan pekerja seks.
Kini, setelah banyak penggerebekan, Pesiapan kembali sepi. Sekarang memang tidak ada bedeng. Di selasar terminal hanya ada warung-warung bercat hijau yang kebanyakan tutup. “Warung-warung ini yang dulunya adalah warung kopi plus,” kata Pak Ketut. Biaya sewanya Rp 4 juta – Rp 4,5 juta per tahun.
Di Pesiapan, ketika prositusi dibungkam, geliat ekonomi pun mati pelan-pelan. Sementara itu penyebaran HIV/AIDS kian jadi ancaman. [b]