Nusa Penida lebih dari sekadar tempat selfie, tetapi juga untuk belajar kehidupan.
Susunan batu karang ditata rapi. Membujur mengikuti kontur perbukitan. Menjaga tiap butir tanah terjaga. Tak hanyut mengikuti aliran hujan ke muara. Sebuah petak cukup rata berpagar bambu membuat beberapa ekor sapi bergerak dengan bebas.
Pohon bunut berdiri mengakar. Menyaksikan dengan saksama segala daya upaya yang dilakukan di hadapannya.
Dua sosok terlihat di tengah petakan lahan. Mereka Wayan Sarba dan Men Kuti, kakak beradik warga Banjar Jurang Aya, Desa Kutampi, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung yang hari itu sedang sibuk mengelola ladang mereka.
Lokasi lahan yang berada di dekat pertigaan Jurang Aya menuju Dusun Pulagan, membuat kehadiran mereka begitu jelas terlihat dari jalan desa.
Mereka masih larut dengan aktivitasnya. Di bawahnya tanah berpasir basah, menjaga jejak hujan yang hadir. Lubang-lubang dangkal telah selesai dibuat, berbaris meskipun tak lurus. Batang-batang singkong dengan ukuran sejengkal terkumpul di sudut ladang.
Wayan Sarba melangkah dengan sebuah ember hitam. Mengambil potongan batang singkong lalu melangkah menanamnya. Memastikan setiap lubang yang dibuatnya terlebih dahulu mendapat jatah satu batang.
Tak ada yang istimewa. Semua berjalan biasa saja, perlahan dan tak terburu-buru. Jalanan lengang. Terasering yang membentang sepi tak seperti jalanan pesisir yang sibuk dengan hiruk pikuk kunjungan wisatawan. Beberapa pohon besar berdiri menjulang.
Men Kunti melangkah perlahan, memasukkan potongan batang singkong ke dalam lubang dengan menggunakan tangan keriput yang menyimpan segala upaya yang diperbuat untuk bertahan. Lubang yang telah dibuat terlebih dahulu lalu menguburnya dengan kaki, alakadarnya, dengan keyakinan batang yang telah ditanam tidak akan bergesar atau hanyut dengan mudah.
“Ne sik, Yan. Entungang sik. Ini satu, Yan. Lempar satu,” Men Kunti meminta sepotong batang ubi kayu pada Wayan Sarba setelah melihat batang yang ditinggalkan untuk lubang tersebut tidak layak tanam. Bertahun-tahun berkecimpung sebagai petani tentu memberikan pengetahuan tersendiri untuk mengenal bibit yang hendak ditanam.
Sebelum hari menanam ketela pohon, dua sosok petani yang sudah memiliki segudang pengalaman bertahan di pulau Nusa Penida telah menanam jagung dan kacang. Biji jagung dan kacang yang sudah tersebar sebelumnya belum bisa merekah, menembus lapisan tanah dan menunjukkan kehadiran kehidupan mereka. Bibit-bibit jagung tersebut telah disebar di lahan dari beberapa hari lalu, tepatnya pada Pahing Anggara Kasih Kulantir.
Anggara Kasih Kulantir, satu hari yang ditentukan berdasarkan kalender wuku (jatuh setiap 6 bulan sekali) yang masih digunakan secara umum di Bali sebagai penanda waktu.
“Di pahingne mare metajuk, yen di manisne musuhang beburonan, yen di pahingne mare rahayu,” Wayan Sarba menjelaskan. Artinya. dua hari setelah Anggara Kasih baru mulai menanam, jika satu hari setelahnya nanti habis oleh binatang, jika 2 hari setelahnya baru berhasil.
Begitulah Wayan Sarba menjelaskan pemilihan hari yang dipercayainya untuk memulai menanami ladangnya. Dia berharap tanaman yang ditanamnya berhasil memberikan penghidupan. Mengingat Anggra Kasih Kulantir jatuh pada 31 Desember 2019.
Cara bercocok tanam dengan pola pembacaan hari baik seperti ini masih banyak dipercayai. Hal ini tentu tidak melulu soal mistis, tetapi soal pola pengalaman dari serangkaian usaha yang dilakukan, dialami, disimpan menjadi sebuah pola pengalaman yang kemudian diturunkan secara turun temurun untuk meminimalisir kegagalan. Pola tersebut kemudian diingat dengan sistem kalender penanggalan tradisional, baik wuku (6 bulan sekali) atau sistem penanggalan sasih (satu tahun sekali).
Seperti yang kemudian diungkapkan Wayan Sarba, biasanya mereka mulai menanam di sasih ke-6 atau bulan 12 (masehi, Desember), hal yang pada tahun ini bergeser, karena pada kenyataannya mereka baru bisa menanam pada awal Januari. Pergeseran kehadiran hujan membuat pola tanam mereka pun berubah. Jika pergeseran waktu hujan bisa menjadi pertanda perubahan iklim, maka mereka tentu saja merasakannya. Tidak hanya merasakan dalam bentuk kekhawatiran akan masa depan, tetapi yang jauh dalam bentuk yang lebih nyata, perubahan pola tanam.
Perasaan yang diasati dengan pilihan untuk melakukan kebiasaan bercocok tanam mengikuti pola kehadiran hujan. Mungkin perubahan iklim yang terjadi dan dirasakan oleh Wayan Sarba, Men Kuti atau petani-petani lain di Nusa Penida atau di daerah lain yang bergantung pada kehadiran hujan tak sebesar narasi kesadaran dan khekhawatiran Gutenberg akan perubahan iklim dan masa depan. Namun, pada kenyataannya perubahan iklim tersebut juga dirasakan dan mempengaruhi pola tanam dan pola pemanfaatan ruang hidup Wayan Sarba, Men Kuti dan warga lainnya yang pemanfaatan ruang hidupnya bergantung pada ketelitian membaca dan mengikuti musim.
Hari kian siang, matahari muncul tenggelam, langit galau, bimbang. Sesekali awan mendung melintas, tetapi kemudian kembali berubah menjadi putih dengan latar biru langit cerah. Seperti latar pas foto 3×4 yang biasa jadi syarat kebutuhan prosedural pemerintahan.
Sebuah kalimat terlintas. Kalimat yang diucapkan oleh Bang DS, sosok yang menjadi moderator dalam sebuah diskusi intim rangkaian Festival Dusun di Dusun Senja, Br. Moding, Candi Kusuma, Melaya, Jembrana.
“Petani Itu Brahmaning Brahmana,” katanya ketika itu.
Dengan penerjamahan dangkal, jika kaum Brahmana adalah kaum suci yang memiliki fungsi memimpin serangkaian doa pada Yang Esa, maka petani dengan laku hidupnya kemudian layak dipandang atau mungkin dimaknai melampaui atau paling tidak setara dengan Brahmana, tentu dalam konteks kemuliaan melalui hidup.
Dan jika kemudian hidup adalah anugerah, maka bertahan hidup adalah sebuah ritual utama untuk memuja hidup dan sang pemberi hidup. Hamparan lansekap terasering yang mendominasi perbukitan Nusa Penida adalah sebuah altar besar. Sebuah bangunan ritual pemujaan atas hidup yang dibangun para tetua, leluhur orang-orang Nusa untuk merayakan hidup yang dianugerahkan kepada mereka, merayakan dengan cara sederhana, bertahan hidup dengan mengenal alam, iklim, dan bagaimana kemudian membangun sebuah infrastruktur untuk bisa hidup di pulau tersebut.
Sistem terasing yang berhasil dibangun dengan memanfaatkan batu karang (yang menjadi tekstur dominan pulau) sebagai pondasi untuk menyiasati kontur perbukitan berbatu dan menciptakan rangkaian petak berundak, terasering ladang yang kemudian bisa digunakan untuk menahan tanah, menjaga aliran air dari hujan yang turun dan berpotensi menggerus tanah humus yang ada.
Rangkaian terasering yang membentang hampir di seluruh perbukitan pulau menjadi sebuah altar pemujaan raksasa yang dominan di Pulau Nusa Penida. Sebuah altar raksasa yang menjadi tempat bagi Wayan Sarba, Men Mukti atau Warga Pulau Nusa Penida secara umum yang masih mau merawat ladang yang diwariskan leluhurnya, untuk melakukan ritual perayaan atas ruang hidup yang diberikan dengan bercocok tanam.
Cara yang selama ini nyatanya bisa membuat kelangsungan bergenerasi-generasi lahir. Sebuah upacara sederhana, bercocok tanam memanfaatkan lahan yang sudah disediakan para tetua, leluhur, dilangsungkan dengan cara yang tak kalah sederhana ketika musim hujan tiba.
Namun, tentu cara sederhana ini menemui tantangan konkret, kebutuhan modern dengan segala pengeluaran konsumsinya yang tidak bisa disediakan dengan sederhana olah altar-altar tersebut. Industri pariwisata dengan iming-imingnya tentu menjadi godaan yang menggiurkan, untuk kemudian memilih memaksimalkan potensi pariwisata tersebut walau kemudian harus merelakan altar-altar pemujaan atas hidup yang telah diwariskan akhirnya dikuasai oleh semak belukar.
Entah berapa tahun dan berapa jam (jika kita kini menggunakan jam sebagai satuan ukuran produktivitas kerja) yang diperlukan untuk membangun bangunan ini. Bangunan yang menjadi sebuah altar pemujaan terbesar yang pernah saya temui sampai hari ini. Jadi cukup beralasan jika image orang Nusa “Sakti” melekat bagi orang daratan (Bali) seperti saya. Karena pada kenyataannya di Pulau Nusa Penida sebuah altar pemujaan untuk hal paling dasar (yang harus dipuja dan membuat kita memuja) bernama hidup bisa dibuat, sebuah altar untuk belajar, memahami dan kemudian beradaptasi dengan lingkungan dan iklim hingga kemudian merayakannya dengan menanam, lalu memanennya kemudian.
Sebuah altar dengan misteri pengetahuan besar, yang membuat ketika mengunjungi Nusa Penida tidak hanya larut pada godaan pantai iming-iming swafoto yang bisa dipamerkan di media sosial, tetapi juga coba belajar bagaimana untuk bertahan hidup dari lingkungan dan iklim yang hadir. [b]