Ia pernah jadi anggota geng motor, supir bemo, penyiar radio, dosen, peneliti, penulis, pendamping pekerja seks.
Prof Wijana, mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah sahabat sejak remaja sampai jadi pejabat kampus. Ia membagi keunikan masa muda Prof Wirawan sampai jadi ahli epidemiologi berpengaruh.
Prof dr Dewa Nyoman Wirawan, ahli epidemiologi berpengaruh di Indonesia ini meninggal pada 22 September 2020 dini hari setelah dua pekan dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar akibat terinfeksi Covid-19. Istrinya pun masih dirawat.
Kolega dan anak didiknya di Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unud memberi penghormatan pada acara daring Obituari Prof Wirawan di akun Youtube “Kesmas TV” pada 28 September. Puluhan rekan dan sejawatnya beri testimoni, dalam ruang meeting atau chat interaksi.
Masa mudanya disampaikan dengan blak-balakan oleh Prof Wijana, yang pernah tinggal serumah saat belajar kedokteran. Keduanya adalah anggota geng motor saat remaja, namun sangat disiplin dan pembersih. “Kalau di sekretariat geng motor, sekali masuk, jam belajar tak boleh diganggu. Begitu habis belajar, ambil motor keliling kota,” seru Wijana.
Mereka juga bergabung di organisasi Taruna Sangar Siswa (TSS). TSS punya radio yang keren, lokasinya disebut di pertokoan Darma saat ini. Tiap sore jadi penyiar, setelah siaran keliling kota lagi kebut-kebutan. “Selama episode itu yang sangat saya rasakan, kedisplinan dan kebersihannya. Tak pernah kamar beranatakan seperti kamar saya. Buku tak boleh kacau, harus dikembalikan ke tempatnya kalau pinjam,” kisah Wijana dengan menggebu sekaligus takjub.
Ia menyebut Wirawan banyak punya baju kaos, bertumpuk rapi. Habis pinjam, harus taruh di tempatnya. Setelah keduanya jadi dokter muda, mulai mengurnagi hura-hura di jalanan, mereka begitu dekat seperti saudara.
Untuk sanitasi pun, Wirawan punya cerita menarik. Saat keduanya tinggal serumah, Wijana saat itu perokok berat dan sudah menikah, sementara Wirawan belum berkeluarga. Ketika istrinya ke pasar, Wijana menyapu rumah. Tapi hasil sapuannya belum cukup bersih bagi Wirawan. Dia nyapu lagi. “Wan, sing kanggoang sapuan cang, awak gen nyapu pedidi. Saya bantu istri saya ke pasar,” Wijana terkekeh. Satu saja ada puntung rokok, di tiap pojok pun dikumpulkan.
Wirawn muda juga dikenal pekerja keras dan tak kenal malu mengambil pekerjaan apa pun. Untuk menunjang penghidupan keluarga, Wijana mengoperasikan bemo roda tiga saat tak berjaga di RS. “Wir yang nyetir, saya kernet, hasilnya untuk menopang keluarga. Dia tak memandang jenis pekerjaan,” ingatnya.
Setelah jadi dokter, komunikasi keduanya mulai berkurang karena masing-masing memilih di departemen berbeda. Wijana di patologi klinik sementara Wirawan di Kesmas.
Suatu ketika, ingatnya, saat ujian epidemiologi, dari 200an mahasiswa yang lulus cuma 3 orang. “Saya syok, sebagai Dekan kok hasilnya begini. Tulungin cang, kok bedik gati, sing dadi penekang ne?” ia bertanya pada Wirawan yang saat itu menguji bidang ini. Wijana berharap ada kemurahan hati untuk mengangkat standar nilai mahasiswa, Wirawan beri kelonggaran dengan syarat Wijana yang bertanggungjawab.
Ketangguhan dan kepintaran Wirawan juga berlanjut saat jadi peneliti. Saat diberi pekerjaaan sebagai tim peneliti, Wijana menyerah karena tiap hari dipantau kemajuan penelitiannya.
Loyalitasnya sebagai kawan juga membekas di jiwa Wijana. Ketika diketahui mengalami kelainan jantung koroner, Wirawan memberikan amplop tebal sekali untuk disuruh berobat ke Australia, dan beranagkat saat itu juga. “Saya tak pernah ke luar negeri, saya tak mau. Saya ambil duitnya, saya berobat ke Jakarta. Pengorbanannya untuk teman, tak ada tandingan,” sebutnya.
Saing sedihnya, Wijana mengaku tak bisa menangis karena kehilangan teman dan saudara. Ia mengatakan setiap pagi bersama dr Kandra datang ke kamar mayat untuk memunjung, mendoakan. “Maafkan, jika sengaja atau tak sengaja menyakiti mohon dilapangkan,” pintanya pada penyimak Obituari sore itu yang dibuka oleh Rektor Unud. Prof Raka Sudewi.
Prof Tuti Parwati, dr Nafsiah Mboi adalah dua rekan dan sejawat Wirawan di riset dan advokasi kebijakan penanggulangan HIV AIDS di Indonesia dan internasional. Keduanya dikenal sebagai dokter dan tokoh penanggulangan HIV AIDS nasional. Keduanya pun memberi penghormatan dan mengenang warisan Prof Wirawan yang akan sulit ditandingi sebagai pekerja sosial dan akademisi.
Perwakilan keluarga juga berharap kesehatan masyarakat terwujud baik sepeninggal alm. Ini kehilangan besar namun berharap perjuangannya terus dilanjutkan.
Hymne Guru berkumandang setelah video berisi arsip foto-foto ditayangkan. Salah satu isinya adalah arsip video wawancara tim BaleBengong dengan Prof Wirawan pada akhir Juli lalu tentang tantangan dan masalah penanganan pandemi Covid di Bali. Ia memberi masukan apa yang harus diperbaiki termasuk keterbukaan data-data kesehatan sesuai kajian epidemiologi.
Salah satunya bisa disimak di sini https://balebengong.id/memburu-dolar-di-tengah-sampar-2/
Dokter AA Sawitri meyakini alm sudah berkontribusi pada tiga pilar yakni pendidikan, publikasi dan pengabdian masyarakat. Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unud ini sedang melakukan riset dengan alm dan akan ia berjanji akan dilanjutkan bersama rekannya.
Sejumlah jejak kontribusinya pada kesehatan masyarakat terukir di sejumlah buku dan publikasi. Misalnya mereview chapter Bali buku DR V yang termasyur, juga di buku The Wisdom of Whore karya wartawan dan ahli epidemioogi Elizabeth Pisani, 2007.
Semua mahasiswa FK dan Kesmas Unud pasti kenal buku ini, Handout Epidemiologi Dasar, yang jadi pedoman kuliah dan digunakan juga di kampus lain. Wirawan disebut penggagas ide jurnal PHPMA sebagai wadah tulisan dan membuatnya berkualitas. Dari tidak terakreditasi sampai terakreditasi Sinta 2 Dikti. Ada 23 hasil penelitiannya dari 1979 sampai 2020, dan 21 publikasi di jurnal ilmiah International. Misalnya Kajian Epidemiologi HIV di Indonesia 2016, mengembangkan Buku Pegangan Konselor HIV/AIDS, dan terus meneliti estimasi populasi kunci di Indonesia.
Konsistensinya meneliti dan melayani komunitas rentan seperti pekerja seks, narapidana, dan lainnya membuahkan hasil nyata. Kasus infeksi HIV makin termonitor, kajian estimasinya membantu kerja-kerja di lapangan, sampai memastikan Perda Perlindungan AIDS di Bali.
Penulis tak akan lupa sebuah peristiwa di gedung DPRD Bali ketika Perda ini dipresentasikan. Saat itu anggota DPRD tak banyak memahami HIV dan AIDS. Untuk memudahkan dan mengenal epidemi ini, ia mengajak seorang ibu, bu Jero ke atas mimbar dan duduk bersamanya. Alih-alih menjelaskan dengan bahasa ilmiah, Prof Wir mempersilakan bu Jero, pengidap HIV (kini sudah almarhum karena ditabrak di jalan), yang saat itu bekerja jadi tukang pungut sampah menjelaskan dengan bahasa Bali. Apa yang dialami, dirasakan, dan kebingungannya. Bahkan saat itu bu Jero juga tak ngeh ia sedang terinfeksi, setelah tertular dari alm suaminya. Beberapa anggota DPRD terlihat meneteskan air mata dengan cerita bu Jero yang apa adanya.
“Di balik semua produktivitasnya, beliau ramah dan murah hati, sangat membantu mahasiswanya,” sebut Sawitri. Kepeduliaan kelompok marjinal dengan membangun Yayasan Kerthi Praja (YKP). Menurutnya ini laboratorium kesmas yang hidup, arena bisa mempelajari aspek public health dengan nyata. Tak hanya mengabdi pada masyarakat, juga beri pembelajaran, penelitian dan publikasi bagi juniornya.
Prof Tuti Parwati pun kaget, ia dikirimkan masker N95 oleh Prof Wirawan sebelum ia terpapar Covid karena masih di garda depan melayani pasien. “Ia berdedikasi bagi komunitas risiko tinggi yang sulit dapat layanan kesehatan karena diskriminasi,” ingat dokter yang menjadi penemu kasus pertama HIV AIDS di Bali pada 1991.
Hari Selasa, 29 September ini adalah perpisahan terakhir, sebelum dikremasi. Warisan pengetahuan, semangatnya berbagi ilmu, dan welas asihnya akan abadi.