Tim penulis: I Putu Parta Adiguna dan I Kadek Agus Juniantara
Narasi tentang ketersediaan dan aksesibilitas air untuk kebutuhan hidup manusia hingga hari ini masih menjadi topik permasalahan. Namun, hal ini belum menemukan solusi terbaik yang berkelanjutan. Dikutip dari SDGs Bappenas (sdgs.bappenas.go.id), “Bank Dunia pada 2014 telah mengingatkan bahwa 780 juta orang tidak memiliki akses air bersih dan lebih dari 2 miliar penduduk tidak memiliki akses terhadap sanitasi. Akibatnya ribuan nyawa melayang tiap hari dan kerugian materi hingga 7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia”.1
Seiring berjalan waktu, pembangunan dan alih fungsi lahan yang mengabaikan kelestarian lingkungan mulai menimbulkan dampak kebencanaan signifikan. Bukan hanya pada wilayah tersebut. Tetapi pada kesatuan kawasan dari hulu hingga hilir.
Sebagai contoh pada lanskap Bali. Ketimpangan pembangunan alam Bali wilayah selatan dengan wilayah utara menghadirkan ragam persoalan. Salah satunya isu ketersediaan air. Daerah hulu yang berada di tengah pulau Bali harus bekerja “lebih ekstra” menjadi zona pendukung wilayah selatan yang notabene kantong-kantong pariwisata sebab daerah wisata unggulan di Bali umumnya lebih banyak tersebar di pesisir selatan.
Ketersediaan dan akses air pun makin bernilai tinggi. Daerah unggulan utama wisata ini sejatinya rapuh dan sangat bertumpu pada Jatiluwih (Tabanan), Bedugul (Tabanan), dan Batur (Bangli) yang menjadi hulu dari sumber mata air di Bali (daerah hulu). Dengan carut marutnya penataan bangunan dan pengabaian Amdal mengakibatkan sumber air permukaan seperti mata air dan sungai di beberapa titik khususnya Denpasar-Badung mulai dangkal dan kering.
Ini adalah dampak negatif yang langsung dirasakan oleh warga. Pasokan sumber air untuk kebutuhan rumah tangga menjadi korban. Akibat pendangkalan dan penyusutan debit air tersebut, mau tidak mau warga harus beralih menggunakan air-air yang dikelola dan disalurkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Kini, sebagian besar sumber air minum yang disalurkan oleh PDAM bersumber dari air tanah bukan lagi air permukaan. Namun berdasarkan hasil penelitian program Bali Water Protection (BWP) tahun 2018 menjelaskan telah terjadi proses eksplorasi air bawah tanah tanpa kontrol. Penelitian yang dilakukan Yayasan IDEP Selaras Alam dengan Politeknik Negeri Bali melihat eksplorasi air tak terkontrol ini terjadi secara teknis operasional maupun volume penyedotan air. Bahkan pada pengelolaan yang berizin maupun tidak berizin.
Oleh sebab itu kualitas air tanah juga turut mengalami penurunan2. Diperkuat dengan hasil “Dokumen Status Daya Dukung Air Pulau Bali” dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021. Bahwa kabupaten Badung, Gianyar, dan kota Denpasar mengalami defisit air jika ditinjau dari ekosistem alami. Hal ini akibat tingginya kebutuhan domestik dan perubahan karakteristik lahan.
Hal yang menghantui selain berkurangnya debit air adalah polusi air yang semakin meningkat. Tahun 2023, Tim Ekspedisi Sungai Nusantara telah melakukan deteksi sungai. Hasilnya di daerah hulu seperti di Tirta Empul-Tampak Siring (Gianyar) hingga hilir di Tukad Badung (Denpasar) telah terkontaminasi mikroplastik3. Hasil ini menjadi gambaran secara umum bagaimana kualitas air di Bali. Tetapi perlu diperhatikan bersama, dari 570 mata air yang tersebar di Bali, mungkin tidak seluruhnya telah tercemar. Namun apakah kondisi tersebut tidak berubah seiring semakin ramainya peralihan fungsi lahan?
Air Minum-mu Merek Apa?
Kebutuhan akan air minum bersifat wajib terutama untuk kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 75 tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG)4 bahwa konsumsi air putih yang dianjurkan adalah 8 gelas per hari atau setara dengan 2 liter. Meskipun hanya sekadar air mineral, tetapi secara naluriah kita ingin memberikan yang terbaik untuk tubuh kita.
Peluang ini menjadi salah satu alasan mengapa industri air minum dalam kemasan (AMDK) berkembang pesat di pasaran. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam hasil laporan “Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan” tahun 2020 memperkirakan 40% penduduk Indonesia mengkonsumsi AMDK, dan akan meningkat 1,24 kali setiap tahunnya.5
Kini ragam varian AMDK sangat mudah dijumpai di warung-warung. Dari segi harga, ukuran, bentuk kemasan, hingga jenis kandungan mineral disediakan untuk memenuhi kebutuhan dan kemauan konsumen. Dengan serta membawa keunggulan produknya masing-masing, konsumen seakan tergiring untuk bergantung pada merek tertentu.
Berdasarkan pengamatan langsung penulis di Alfamart, Indomaret, dan warung kelontong di sekitar Denpasar-Badung terdapat sekurangnya 25 merek AMDK yang beredar di masyarakat. Beberapa di antaranya bersumber dari mata air di Bali6.
Aqua | Super O2 | Amidis | Air Balian |
Nestle Pure Life | Alfamart | Alto | Eternal Plus |
Vit | Indomaret | Oasis | Total 8+ |
Crystale | Ades | Evian | Spring |
Le minerale | Club | Equil | Vema |
Pristine | Prim-a | Fiji |
Tabel 1. Daftar AMDK yang beredar di Denpasar-Badung
Gambar 1. Pajangan berbagai merek AMDK di warung modern (Dok. Parta Adiguna).
Dilansir dari website Kemenperin Direktori Perusahaan Industri tercatat beberapa penyedia produk AMDK telah memiliki kantor perusahaannya di Bali antara lain PT. Airkyondo Bali (Denpasar) mendistribusikan merek Safe, PT. Bali Agung Waters (Denpasar) mendistribusikan merek Air Balian, CV. Gemeh (PT. Sarana Arga Gemeh Amerta) mendistribusikan merek Spring, PT. Govinda Tirta mendistribusikan merek Vaya, PT. Kutrindo Indonesia, PT. Satyaloka Tirta Amerta (Bangli) mendistribusikan merek Sangsang, PT. Tirta Investama mendistribusikan merek Aqua-dkk, PT. Tirta Mumbul Jaya Abadi (Buleleng) mendistribusikan merek Yeh Buleleng, PT. Tirta Sukses Perkasa (Tabanan) mendistribusikan merek Club, PT. Tirta Taman Bali Bangli (Bangli) mendistribusikan merek Nonmin, PT. Wihadi Jaya (Badung) mendistribusikan Fontana Mineral Water.
Berdasarkan data, permintaan akan air minum di Bali terus meningkat, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun sektor pariwisata. BPS Provinsi Bali mencatat pada tahun 2019 seluruh produksi air bersih PDAM di Bali mencapai 120 juta m3 (sekitar 4m3/detik).
Meskipun demikian, nyatanya pasokan air tidak merata. Sebagian besar akses air difokuskan untuk melayani kebutuhan industri pariwisata. Untuk menanggulangi hal tersebut, kini air didatangkan dari daerah hulu melalui pipa-pipa ataupun truk-truk air. Bukan hanya oleh pemerintah tetapi para perusahaan swasta juga turut mengeksplorasi daerah-daerah yang memiliki sumber air melimpah di Bali.
Pengelolaan Air oleh Desa
Beredarnya AMDK lokal menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk diulas sebab kini desa (perangkat dan masyarakat desa) memiliki peluang lebih besar untuk mengelola sumber air di wilayahnya dan dapat menjadikan hal ini sebuah potensi untuk pendapatan desa. Seperti yang dituturkan oleh salah satu warga desa Yeh Embang Kangin, Jembrana, I.B Putu Juli Antara. Ia menerangkan bahwa mengkonsumsi AMDK dengan merek Amara milik desanya juga dapat membantu perekonomian desa.
Selain itu kemudahan dan harga murah dibanding merek nasional yang beredar di pasar menjadi faktor pendukung. Inisiatif ini disebutkan sebagai salah satu pemberdayaan potensi desa khususnya daerah-daerah yang memiliki sumber air melimpah.
“Kami meyakini itu adalah bentuk pemajuan desa harus bersumber dari potensi yang kita miliki dan makanya kita kenali dulu potensi yang kita miliki salah satunya kan sumber air kita Yeh Embang Kangin ini kebetulan punya beberapa sumber mata air ,” ujar I Gede Suardika yang kini menjabat Kepala Desa Yeh Embang Kangin, Jembrana.
Suardika meyakini bahwa dengan model usaha AMDK akan berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa. “Nah harapan besarnya inilah yang nantinya akan menguatkan ekonomi desa,” imbuhnya kembali mengenai pabrik AMDK yang didirikan tahun 2020 lalu.
Gambar 2. Pabrik AMDK di desa Yeh Embang Kangin Jembrana yang memproduksi merek Amara (Dok. Parta Adiguna).
Namun ia juga menyadari skema dagang yang diterapkan tidak semestinya memberatkan masyarakat desa juga.
“Nah itu kan menjadi kebutuhan pokok kita. Tidak bisa menjadikan usaha itu murni untuk mencari keuntungan karena pelanggan ini kan masyarakat. Misalnya kalo kita tingkatkan biaya untuk untung banyak nanti yang menjadi beban kan masyarakat. Nah, makanya kita mencoba dari segi ekonomis sumber mata air ini kita olah dalam bentuk AMDK sebagai penggerak ekonomi desa,” sambung Pak Gede.
Pemerintah desa Yeh Embang Kangin sudah menghitung kebutuhan air di masyarakat. Karena dinilai sudah sudah cukup maka pemerintah desa berani mengambil keputusan untuk membuat pabrik AMDK.
AMDK ini nantinya bekerja sama dengan pihak BUMDes untuk pengelolaan produksi air. BUMdes yang kini dimiliki oleh desa dianggap mampu dalam menjalankan manajemen dan pengawasan produk dan distribusi air dalam kemasan ini. Sedangkan pembangunan tempat pabrik pengolahan air sendiri berdiri di lahan milik masyarakat, pemilik dari lahan yang digunakan akan mendapat keuntungan dari persentase penjualan AMDK ini. Sistem ini dirasa sangat efisien oleh pengelola.
Menurut Ni Luh Parwati, dua sumber mata air yang dimiliki desa dikelola dengan untuk beberapa pelayanan masyarakat. “BUMDes Abi Rahayu memiliki pelayan air bersih untuk masyarakat dan unit AMDK Amara,” ujar Ni Luh yang kini menjabat sebagai sekertaris BUMDes di desa Yeh Embang Kauh Jembrana ini.
Lebih lanjut lagi ia menjelaskan bahwa masing-masing keluarga mendapatkan jatah 1 kecoran (penyebutan untuk ukuran air desa atau pancuran) yang tiap bulan diberlakukan iuran sebesar 25.000. lebih lanjut, karena kebutuhan masyarakat akan air telah terpenuhi, maka sisa debit air ini dikelola menjadi AMDK. Dampak yang diharapkan yakni terbukanya lapangan pekerjaan bagi warga desa.
Peran serta adat di dalam pendistribusian AMDK dilakukan pada saat masyarakat sedang beryadnya atau melakukan kegiatan ritual adat di wilayah naungan mereka. Namun sampai saat ini, pendistribusian AMDK masih terbatas di wilayah dalam desa saja, untuk keluar wilayah, masyarakat dan pengelola sendiri masih ragu menggunakan air minum dalam kemasan ini karena dirasa masih kurang dalam proses filterisasinya.
Dari segi lingkungan, pihak desa telah melakukan sosialisasi ke masyarakat untuk mengelola secara pribadi terkait sampah kemasan plastik. Meskipun sampai saat ini kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah kurang optimal, tetapi edukasi pemilahan kategori sampah terus digalakkan.
Pihak desa selalu mengharapkan supaya masyarakat dapat mengelola secara swadaya sampah plastik mereka. Untuk saat ini, pihak desa masih bekerja sama dengan pihak lain untuk mengambil sampah kemasan plastik untuk didaur ulang. Alasan utamanya karena pihak desa belum memiliki tempat pengolahan sampah berbasis reduce-reuse-recycle (TPS3R), maka dari itu setiap ada upacara yadnya di pura dan rapat di desa, para staf desa maupun masyarakat diberikan kantong plastik untuk mengumpulkan kemasan bekas air minum.
Sekilas Geliat AMDK Bali
Satu hal menarik dari fenomena lokalisasi AMDK di Bali adalah upaya pemerintah yang terus mengatur strategi untuk mengelola PDAM/AMDK agar bisa menjadi salah satu kantong pendapatan asli daerah. Beberapa merek AMDK yang dimiliki oleh perusahaan milik daerah yakni Yeh Buleleng dikelola oleh PT. Tirta Mumbul Jaya Abadi (bagian dari PDAM Singaraja), Be Gianyar Mineral Water dikelola oleh Perumda Air Minum Tirta Sanjiwani Gianyar, dan puluhan BUMDes yang kini menjalankan usaha dagang AMDK terus digenjot. Bahkan ada beberapa kesepakatan yang merangkul para investor luar untuk terlibat.
Beberapa contoh keterlibatan pihak luar seperti kesepakatan perjanjian kerjasama antara Pemkab Buleleng dengan Kemendesa PDTT, PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT. Pakar Cipta Karya, dan PT. Toya Ning Alami yang mendanai 30 BUMDes di Buleleng untuk mengembangkan usaha pengelolaan AMDK di desanya.7
Sementara saat ini, Gianyar dan Buleleng dapat menjadi contoh bagaimana geliat mengelola dan memanfaatkan peluang kebutuhan AMDK. Sebab beberapa AMDK dari kabupaten lain sebut saja “Megumi”nya Jembrana telah mengalami kebangkrutan, atau Perumda Badung dan Klungkung yang masih berhitung untung rugi untuk merealisasikan rencana mereka.
Strategi pemerintah Buleleng untuk mengembangkan dan mempertahankan eksistensi Yeh Buleleng terbilang masif. Melalui Surat Edaran (SE) Nomor 500.3/II/UM/2023, seluruh stakeholders di jajaran pemerintahan kabupaten Buleleng diwajibkan untuk menggunakan Yeh Buleleng sebagai konsumsi dalam setiap kegiatan pemerintah.
Lain Buleleng, lain Gianyar. Pemerintah Gianyar lebih berfokus menggerakan BUMdes sebagai penyalur AMDK ke warga. Dilansir dari NusaBali.com, Bupati Gianyar mengundang perbekel dan kepala BUMdes seluruh Kabupaten Gianyar untuk meninjau pabrik AMDK Be Gianyar di Banjar/Desa Bukian.8
Persepsi (Keliru) Warga
Menurut Peraturan Perundang-undangan Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air bahwa pengelolaan sumber daya air didasarkan pada wilayah sungai dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan. Oleh karena itu, pengelolaan air untuk pemenuhan kebutuhan akan mengutamakan pengelolaan sungai, mata air, dan danau, sebelum akhirnya memanfaatkan air tanah. Air tanah menjadi cadangan sumber daya sebab air tanah menjadi satu kesatuan ekosistem.
Penggunaan air secara berlebihan atau eksploitasi air tanah seperti dijelaskan oleh komunitas “Air Kami” yaitu gerakan yang memiliki cita-cita mewujudkan pemerataan hak atas air, dapat mengakibatkan persoalan lingkungan baik secara kualitatif seperti menurunnya mutu air maupun secara kuantitas dengan berkurangnya cadangan air bersih.9 Selain itu, melihat semakin pentingnya peran air di kehidupan, pemanfaatan air harus berdasarkan wawasan lingkungan.
Kondisi itu tidak hanya berlaku di kota-kota besar seperti Jakarta, di daerah seperti Bali, sumber air yang semestinya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masyarakat kini harus lebih “berhemat” karena adanya pembagian air untuk kebutuhan pariwisata, dan belum lagi untuk kepentingan komoditas perdagangan.
Putu Bawa dari program Bali Water Protection oleh Yayasan IDEP Selaras Alam menerangkan tentang dampak secara langsung yang akan dirasakan jika terjadi ketidakadilan distribusi air seperti dirasakan oleh masyarakat yang ada di daerah hilir. Maraknya privatisasi air baik dalam bentuk kemasan atau yang dikenal dengan AMDK dan keberadaan pariwisata mengakibatkan minimnya akses air bersih bagi warga. Warga merasa pihak-pihak itu menggunakan air dengan “seenaknya”. Kondisi ini mengharuskan negara turun tangan dengan menyediakan air bersih layak minum lewat PDAM yang dimonitori secara berkala oleh aparat-aparat berwenang baik dari legislatif maupun eksekutif.
Ditinjau dari sejarahnya, gejala privatisasi ini sudah muncul sejak orde baru sekitar tahun 1990-an. Sebagai konsekuensi dari perjanjian yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia waktu itu. Percobaan pertama kali dilakukan di Jakarta pada 1998 dan semakin lama dirasakan dampak buruknya hingga mendapat pertentangan di sana-sini dengan munculnya berbagai gerakan menolak swastanisasi air, misalnya di tahun 2002 oleh Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA). Khususnya bagi kelompok subordinat, privatisasi ini dirasa tidak adil dan menyebabkan kelangkaan atas air karena hegemoni yang dilakukan oleh kalangan tertentu.10 Dengan disahkannya Undang-Undang N0.7/2004 tentang sumber daya air semakin memberi ruang bagi swastanisasi air. Gejala ini sekarang menampakkan wujudnya dalam bentuk tren atau maraknya produksi AMDK di daerah-daerah.
Ada hal lain yang patut diwaspadai dengan maraknya konsumsi AMDK, yaitu masalah kesehatan. Gencarnya promosi yang dilakukan oleh produsen AMDK turut merubah cara pikir masyarakat, dari mengkonsumsi air olahan secara konvensional kini beralih ke konsumsi AMDK. Masalahnya cara pikir ini tidak dibarengi oleh pengetahuan masyarakat tentang dampak buruk yang mengancam kesehatan mereka, terutama kelompok rentan. Soal kualitas air, temuan kandungan mikroplastik, dan terkontaminasi menjadi hal negatif yang perlu diwaspadai dari kebiasaan mengkonsumsi AMDK.
Situasi ini merupakan ironi, karena hasil riset menyatakan bahwa konsumen AMDK lebih banyak berasal dari kalangan muda terpelajar.11 Namun karena menawarkan kepraktisan membuat tren konsumsi AMDK menjadi tinggi terutama di kota besar. Selain itu, pola pikir salah dari masyarakat yang menganggap AMDK lebih baik dibandingkan air minum yang diolah secara konvensional membuat ketergantungan dengan AMDK semakin tinggi.
Kondisi serupa juga dijumpai di Bali yang mulai marak bermunculan AMDK dengan berbagai merek lokal. Isu mengenai privatisasi yang berdampak pada minimnya akses masyarakat terhadap air layak minum ditanggapi secara sinis. “Fenomena saat ini gejala privatisasi air yang seharusnya air dimiliki oleh bersama menjadi kepemilikan segelintir orang, fenomena ini dilakukan secara sadar oleh pemerintah saat ini,” kata Putu Bawa.
Lambat laun hal yang seharusnya mereka dapat secara gratis menjadi berbayar. Justifikasi lain yakni harga yang lebih tinggi berbanding lurus dengan tingkat kehigienisan dan kandungan mineral air. Padahal AMDK tidaklah lebih unggul dari mata air alami jika lingkungan lestari. AMDK nyatanya tidak kebal dari semua kontaminasi. Meski sekalipun telah diuji oleh instansi terkait, namun batasan kedaluarsa membuktikan bahwa produk ini memiliki kerentanan.
Pernyataan Putu Bawa di atas bukanlah sesuatu hal yang pretensius, mengingat dalam konstitusi telah dijelaskan secara tegas, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.”
Demikian pula, ditinjau secara spiritual air sebagai salah satu sumber daya merupakan anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi untuk semua makhluknya, sehingga sudah semestinya dirasakan manfaatnya secara bersama. Kondisi sekarang tidak demikian, privatisasi air telah menyalahi, baik secara konstitusi maupun secara empati. Secara konstitusi seperti tercantum dalam UUD, secara luas tercantum dalam preambule, dan secara empati berkaitan dengan label yang melekat dalam agama Hindu-Bali yang disebut juga sebagai Agama Air (Tirtha). Hal ini sudah keluar dari tradisi yang mengakar dalam pandangan agama Hindu-Bali.
Runtuhnya tradisi berbagi air yang diwariskan dari agama tirta menjadi jual beli air dalam kemasan. Terjadi monopoli atas sumber-sumber air yang ada di alam karena kemunculannya di kebun pribadi warga. Negara dalam level terbawah atau desa tidak mampu untuk menjangkau atau bahkan mengintervensi terhadap situasi yang terjadi di masyarakat. Maka dari itu masyarakat berhak atas kepemilikan sumber yang ada di lahannya.
Sensitivitas gotong royong menjadi hilang karena akses kepemilikan wilayah. Contohnya masyarakat yang ada di hilir tidak mampu mengatur masyarakat yang ada di hulu sungai karena yang berada di hulu merasa memiliki sumber tersebut. Sedangkan jika negara hadir dalam bentuk Lembaga (PDAM) masyarakat yang ada di hulu tidak mampu untuk mengakses air karena air tersebut sudah diakses menggunakan pipa di bawa ke perkotaan.
1 https://baliwaterprotection.net/rilis-pers/
2 https://kemenperin.go.id/direktori-perusahaan?what=emas&prov=51
3 https://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-6/ dalam tulisan yang membahas Air Bersih dan Sanitasi Layak Menjamin Ketersediaan serta Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi yang Berkelanjutan untuk Semua.
4 https://www.bps.go.id/publication/2020/12/31/68cf1c94411883822b83952f/indikator-perumahan-dan-kesehatan-lingkungan-2020.html dan https://theconversation.com/riset-prediksi-separuh-penduduk-indonesia-minum-air-kemasan-pada-2026-tapi-berisiko-tercemar-tinja-dan-mikroplastik-193308
5 https://www.cnbcindonesia.com/news/20220928144440-4-375643/simak-jurus-jurus-gubernur-bali-tuntaskan-masalah-air-bersih
6 https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/579/tahukah-kamu-berapa-idealnya-jumlah-air-putih-yang-kita-minum-perhari
7 https://www.nusabali.com/berita/92837/bumdes-diminta-salurkan-gianyar-mineral-water
8 http://www.desahebat.com/30-bumdesa-di-buleleng-bali-dapat-bantuan-usaha-amdk/
9 https://airkami.id/dampak-eksploitasi-air-tanah-di-jakarta/
10 https://wawasansejarah.com/sejarah-privatisasi-air-di-indonesia/
11 Lihat: https://theconversation.com/riset-prediksi-separuh-penduduk-indonesia-minum-air-kemasan-pada-2026-tapi-berisiko-tercemar-tinja-dan-mikroplastik-193308
Produksi laporan ini didukung Yayasan IDEP Selaras Alam.