Akurasi data penerima bantuan sosial masih menjadi masalah.
Produk pangan lokal masih kurang mendapat prioritas dalam penyaluran bantuan sosial (bansos). Terutama terkait bansos berbentuk bantuan pangan nontunai (BPNT) yang disalurkan pemerintah dari pusat, provinsi, kabupaten, desa maupun desa adat yang bersumber dari uang negara.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring melalui bertajuk “Cek Ricek Data Bansos Covid-19 di Bali dan Pemanfaatan Hasil Desa” yang digelar sejumlah lembaga yaitu BaleBengong, Sakti Bali, LBH, dan AJI Denpasar pada Selasa, 4 Agustus 2020.
Dalam diskusi ini, hadir sejumlah pemangku kebijakan, termasuk Dinas Sosial Provinsi Bali maupun dinsos kabupaten seperti Gianyar dan Buleleng. Juga dari Dinas Pemerintahan Desa Gianyar, Buleleng. Peserta lainnya adalah Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Bali, dan sejumlah kepala desa atau yang mewakili, serta sejumlah aktivis dan penggerak lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Menjawab beberapa penanya, di antaranya terkait bantuan pangan nontunai agar dapat menyerap produk pangan lokal, I Wayan Parmiyasa, Kabid Pemberdayaan dan Penanganan Fakir Miskin Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Provinsi Bali menyatakan bahwa kendalanya adalah adanya regulasi. Kata dia, ada beberapa aturan yang menentukan item BPNT. Yakni beras, telur, ikan atau daging, dan sayuran. Sudah ditentukan pemerintah pusat.
“Kita masih melihat regulasi mana yang boleh dan tidak,” kata Parmiyasa.
Padahal, menurut Nyoman Suma Artha dari Pasar Rakyat Bali, penyerapan produk pangan lokal itu penting. Kata dia, Pasar Rakyat Bali selama Covid-19 menyerap hasil pertanian lokal di Bali yang tidak terserap di pasar. Di sisi lain, banyak warga yang kesulitan membeli bahan pangan karena tidak adanya uang.
Gratis
Selama ini, Pasar Rakyat Bali mendistribusikan dengan tiga pola, menjual dengan margin, jual rugi, dan gratis. Produk pangan yang diberikan gratis disubsidi dari hasil penjualan.
Ada juga kerja sama dengan komunitas lain seperti Solidaritas Pangan Bali (SPB) yang mendistribusikan sayuran dan hasil panen lain ke dapur-dapur. Hasilnya berupa nasi bungkus diberikan ke warga yang tak menerima bansos karena bukan warga banjar, atau tinggal di perantauan. Ia mencontohkan pekerja di Legian yang sebagian besar perantau.
Suma menantang apakah pemerintah bisa memberikan dukungan terhadap gerakan seperti ini. “Kami bisa mempertanggungjawabkan datanya,” katanya.
Terkait pertanyaan itu, Parmiyasa tak bisa memberikan jawaban pasti. Ia hanya menyebut kalau banyak orang yang mau membantu seperti Nyoman Artha lakukan, maka itu hal baik. “Pemerintah sudah bekerja keras,” jawabnya.
Padahal, penyerapan produk pangan lokal sangat penting mengingat anggaran untuk itu cukup besar. Dari data Dinsos Bali, penyerapan BPNT/bansos pangan/program sembako dari Kemensos di Bali saja untuk April dan Mei mencapai lebih Rp 51 miliar. Data Juni sedang dihitung. Itu belum termasuk bantuan pangan yang bersumber dari provinsi, kabupaten, desa, maupun desa adat.
Syarat penerima di antaranya keluaga miskin yang masuk dalam DTKS, bantuan diberikan selama 9 bulan sejak Bulan April-Desember 2020, dan nilainya Rp 200.000/keluarga/bulan.
Sementara Bantuan Sosial Tunai (BST) pada April-Mei saja sebanyak lebih dari Rp 135 milyar. Syaratnya diutamakan keluarga miskin yang masuk dalam DTKS, diberikan selama 3 bulan sejak April-Juni 2020. Besarnya Rp 600.000/bulan. Sesuai dengan surat Kementerian Sosial bantuan diperpanjang sampai dengan bulan Desember dengan besar bantuan Rp 300.000/KPM/bulan.
Masalah Distribusi
Selain masalah produk pangan lokal yang belum terserap melalui mekanisme bansos, dalam diskusi juga mengemuka masalah ketidakakuratan data penerima bansos. Ada yang ganda, sudah meninggal, atau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Sebagai contoh diakui perwakilan Desa Banyuseri, I Putu Karyawan yang menjelaskan, di desa yang dipimpinnya ada lima KK penerima bansos ganda. Lima orang itu menerima dua bantuan. Secara aturan, itu tidak boleh. Setelah dimediasi, akhirnya empat orang mau menandatangani pernyataan akan mengembalikan. Sedangkan satu orang tidak mau. Penyebabnya, ada anggota parpol yang menitipkan nama di daftar penerima padahal tidak ada di hasil verifikasi desa.
Soal data ini, Dinas Sosial Provinsi Bali mengatakan, sejatinya sudah ada kebijakan pemerintah pusat agar diperbarui secara periodik. Dalam setahun, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial bisa diperbarui sampai empat kali. Masalahnya, lanjut dia, ujung tombak pembaruan data itu ada di tingkat desa. Dan Dinsos Bali tidak memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan pembaruan.
“Bahkan ada di satu kabupaten yang masih menggunakan data tahun 2015,” jelas Parmiyasa.
Ia pun mengajak agar data ini diubah mulai dari desa. Masalahnya, kata dia, dalam penyusunan DTKS yang dimulai di desa, kerap ada tekanan atau faktor-faktor lain yang membuat datanya tidak valid. Di antaranya faktor politik, kedekatan, takut kasepakang (dikucilkan), atau lainnya.
Menurut dia, dalam Musyawarah Desa untuk menentukan DTKS pihak-pihak di desa tidak mendasarkan karena suka atau tidak suka. Melainkan harus sesuai regulasi. [b]