Dendang ini betul-betul membuat kami terperangah.
Itu terjadi ketika kami bertandang ke rumah Pak Natar. Sembari mengerutkan dahi, Pak Natar berusaha mengingat-ingat lirik lagu yang pernah dia nyanyikan bersama kawan senasibnya saat di penjara.
Kemudian dengan wajah sumringah, dendang “Si Buyung” muncul mengalir syahdu. Suasana sontak menjadi takjub memecah tegang. Sebab sebelumnya telinga kami dicecar kisah penyiksaan yang dialami laki-laki asal Gianyar itu bersama para tahanan lainnya.
Dendang “Si Buyung” adalah kisah nyata tentang doa seorang ayah kepada sang pencipta agar masa depan anak bungsunya yang tak bisa dia saksikan kelahirannya diberkati kebajikan-kebajikan. Sang ayah kala itu mendekam di dalam ruang berterali besi.
“Si Buyung“ adalah salah satu hymne para Tapol yang tertuduh Komunis. Lagu ini menjadi “hymne” karena mewakili perasaan kolektif para tahanan pada waktu itu yang dililit rindu dengan orang-orang terkasih.
Bermula ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai otak dari G30S 1965. Gerakan ini didakwa menculik tujuh petinggi tentara, menyiksa dan membunuhnya. Padahal tak kuat bukti untuk menyatakan partai ini terlibat, tetap saja PKI dianggap sebagai dalang.
Tentara bersama para milisi anti komunis melakukan penculikan, pembunuhan dan penjeblosan paksa ke dalam penjara terhadap orang-orang tertuduh Komunis.
Di awal tahun 60-an, PKI adalah salah satu partai yang memiliki banyak massa di Pulau Dewata. Maka, Bali pun tak lepas dari aksi-aksi kekerasan tersebut. Penjara Denpasar yang berada di daerah Pekambingan sontak menjadi penuh oleh orang-orang tertuduh Komunis.
Pak Natar adalah salah satu dari sekian banyak orang yang pernah mendekam di penjara warisan pemerintah kolonial itu. Sekarang bangunan fisik penjara sebagai saksi bisu peristiwa kekerasan itu lenyap menjadi deretan ruko. Di penjara itulah dendang “Si Buyung” tercipta dan berkumandang.
Kematian bisa datang kapan saja, begitu pengakuan para eks Tapol (Tahanan Politik) yang tertuduh Komunis ketika mereka mengingat suasana saat mendekam di bui. Istilah maut “dibon” menghantui mereka, yang berarti para tahanan dijemput oleh petugas penjara ke dalam sel. Entah dibawa atau diserahkan kemana, yang jelas mereka tak muncul-muncul hingga kini.
Jika mendengar suara gemerincing kunci penjara milik petugas mendekati sel, tubuh para tahanan akan resah. Pertanda akan ada orang yang dibon. Salah seorang di antara mereka akan lenyap selamanya.
Dalam situasi di bawah tekanan tersebut, berdendang adalah salah satu cara untuk menghibur dan menyemangati diri ketika kematian bisa menjemput mereka pada detik itu juga. Ternyata hasrat berkesenian manusia tak hanya muncul dalam situasi tenang dalam ruang-ruang nyaman, namun juga muncul dalam cengkaraman penyiksaan sekalipun.
Dendang-dendang para tahanan politik mewakili pengalaman mereka saat berada di tahanan, seperti keinginan menggebu bertemu dengan orang-orang tercinta, harapan kepada sang buah hati , dan cita-cita pembebasan.
Jika kita memposisikan dendang-dendang masa lalu itu di hari ini, maka dendang itu bukanlah pengetahuan sejarah pada umumnya yang dituliskan setelah peristiwa sejarah itu berlangsung oleh orang yang tak terlibat dalam peristiwa kekerasan tersebut. Seperti sejarah produk tafsir sejarawan atau wartawan.
Dendang para Tapol ini adalah pengetahuan sejarah yang dibuat oleh pelaku sejarah secara langsun, dan pada saat kekerasan itu masih berlangsung. Dendang-dendang ciptaan para Tapol ini adalah testimoni langsung dari korban kekerasan. Maka, pernyataan pejabat negara yang mengatakan kisah kekerasan masa lalu adalah bualan hilang maknanya.
Bagi kami komunitas Taman 65, dendang yang diciptakan dan dinyanyikan oleh para penyintas penting disenandungkan kembali di hari ini. Menyelami sejarah kelam masa lalu sangatlah penting ketika kepala anak muda direcoki pemikiran optimistik sempit , yang cenderung mengajak mereka untuk menatap ke depan dan melupakan hal-hal kelam masa lalu.
Khotbah-khotbah ini muncul dari mulut para pejabat negara di hari ini yang tak mau sejarah berdarah-darah ini diungkap.
Mengabaikan kisah-kisah kelam masa lalu, demi memudahkan perjalanan kita menuju masa depan adalah upaya memisahkan “sejarah” dengan “masa depan”. Seolah-olah masa depan dan masa lalu memiliki otonominya sendiri yang tak saling terkait. Kita ingin dicetak menjadi manusia tanpa sejarah. Manusia yang diarahkan menjadi zombie seperti mereka, yaitu mahluk lapar, ganas, dan ingin mengisap terus karena tak merasa bersalah menciptakan korban-korban.
Pendukung Orde Baru di hari ini juga mulai percaya diri memunculkan statemen, bahwa era Orde Baru jauh lebih baik daripada masa kini. Maraknya gambar Soeharto senyum dengan kalimat “piye kabare? Lebih enak zaman ku toh?”, adalah bukti rasa percaya diri pendukung Orba mulai menggeliat.
Gambar itu mendakwa kondisi karut marut politik di era Reformasi sebagai kegagalan, dan pada zaman Orba yang dicirikan dengan kestabilan politik adalah masa terindah. Semakin menjamurnya aksi-aksi kekerasan aparat terhadap rakyat di hari ini serta mengguritanya kasus-kasus korupsi diandaikan murni sebagai konsekuensi dari lemahnya sistem bernegara di era reformasi, dan bukan warisan dari cara berpolitik pada masa Orde Baru.
Para pendukung Orba ingin mengajak rakyat Indonesia untuk mesyukuri dan mengulangi apa yang terjadi pada masa itu
Upaya para pendukug Orba yang menjual “stabilitas politik” pada zaman itu di hari ini, merupakan upaya memotong sejarah pembantaian pelanggaran HAM sebagai pijakannya.
Patut di ketahui, dan saya pikir banyak yang tahu, pada masa Orba kisruh-kisruh politik bernuansa kekerasan dan korupsi juga menjalar namun diredam pemberitaanya. Media sebagai corong informasi dikontrol ketat. Media yang berani memunculkan kisruh-kisruh politik bisa dibredel atau izinnya dicabut.
Teror juga dilancarkan terhadap rakyat yang berani mengkritisi arah kebijakan politik negara. Sensor dan teror adalah salah satu bahan baku ilusi “kestabilan” pada masa Orba.
Sensor-sensor ini memendam fakta-fakta kekerasan Orde Baru agar tidak menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Dengan demikian kisah tentang Indonesia didominasi narasi betapa harmonisnya Indonesia. Kalaupun berita kekerasan ini luput dari sensor maka sifatnya samar-samar, akan terasa seperti mitos, dongeng atau kabar burung.
Para pendukung Orba di hari ini berupaya merayu masyarakat yang termakan sensor dan tak merasakan teror pada jaman itu, untuk bersedia menjadi agen-agen Orde Baru di hari ini.
Karena alasan-alasan itulah, proyek gotong royong membangun “jembatan sejarah” lewat mendendangkan kembali nyanyian para Tapol (Tahanan Politik) di masa kini penting dilakukan. Semoga dendang ini menjadi jembatan penyambung ke masa lalu, yang membuat kita bisa melihat ilusi harmoni social pada masa Orde Baru berakar dari kekerasan bersifat massif.
Menghadirkan dendang Tapol di hari ini bertujuan mengajak generasi muda untuk memaknai peristiwa kekerasan 65 bukanlah masalah milik korban kekerasan beserta keluarganya semata, atau hal-hal yang melulu digandrungi aktivis-aktivis penggiat HAM dan sejarawan, namun merupakan masalah kolektif melintas generasi hingga di masa kini.
Proyek “jembatan sejarah” ini ingin menghubungkan sejarah generasi sepuh dengan sejarah anak muda hari ini pada dasarnya terkait, bukan terpisah.
Untuk “membumikan” dendang-dendang tersebut ke dalam dunia anak muda kekinian, para musisi muda yang memiliki empati dan kepedulian terhadap tragedi kemanusiaan ini diajak bekerja sama. Dendang-dendang para Tapol diterjemahan berdasarkan versi masing-masing musisi yang terlibat, sehingga diharapkan bisa mengena ke telinga anak muda.
Musisi yang ikut bergabung di antaranya adalah Dadang gitaris band Navicula, JRX drummer band SID, Kupit serta Angga (gitaris band Nosstress), Made Mawut sang seniman blues, Rio Sidik sang peniup terompet, dan band Bandaneira.
Selain merekamnya dalam bentuk CD, juga ada buku yang berisi tulisan tentang latar sejarah dari setiap lagu-lagu. Buku ini sekaligus menjadi cover CD tersebut. Karya album buku ini kami namai “Prison Songs, Nyanyian yang Dibungkam”.
Di dalam album buku itu, bisa ditemui sketsa penjara Pekambingan yang digali dari memori para eks Tapol. Sketsa penjara dibuat street artist Wayan Dania. Hadir juga di buku itu foto karya Putu Sayoga, berupa deretan ruko di daerah Pekambingan yang dulunya adalah tempat di mana penjara itu berdiri.
Visual masa lampau dan masa kini ini diharapkan memunculkan pertanyaan-pertanyaan, atau gugatan-gugatan tentang apa yang terjadi pada masa itu serta apa dampaknya pada hari ini. Ilustrasi yang dibuat Made Bayak juga bisa ditemui dalam album buku ini, yang membuat kita tertegun untuk merefleksikan peristiwa kekerasan 65.
Proses memungut memori ini bukanlah perkara mudah karena para eks Tapol sudah berusia usur. Ibaratnya menyusun puzzle, lirik lagu-lagu ini terajut dari memori eks Tapol yang satu dengan memori eks Tapol lainnya. Masalah yang tak kalah pelik yaitu bagaimana menerjemahkannya ke dalam nada musikal. Dendang-dendang ini sewaktu di penjara sering dinyanyikan tanpa alat musik.
Dengan gitarnya, Made Mawut yang mengambil peran sebagai penerjamah musikal berkali-kali menemui ex Tapol untuk mencocokan nadanya. Pertemuan berkali-kali ini membuahkan hasil, dan kemudian dibagikan kepada kawan-kawan musisi. Mereka mengolah kembali berdasarkan tafsir serta selera mereka tanpa menghilangkan nada dasarnya. Bisa dikatakan karya ini adalah karya kolaboratif antara generasi sepuh dan generasi muda.
Akhirnya proses panjang (sekitar tiga tahun) ini membuahkan hasil. Pada 21 Agustus 2015, album buku “Prisons Songs, Nyanyian yang Dibungkam” diluncurkan di Goethe Haus, Jakarta Pusat.
Peluncuran ini merupakan rangkaian acara Koalisi Keadilan Dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang bertajuk “Memajukan Gerakan Untuk Memutus Tali Impunitas”. KKPK terdiri dari LSM-LSM yang konsisten memperjuangkan nasib korban pelanggaran HAM masa lalu, seperti Elsam, Kontras, IKOHI dan sebagainya. Acara launching berlangsung lancar, dan dihadiri banyak orang. Beritanya muncul di berbagai media nasional.
Tentu hal itu sangat mengembirakan. Semoga saja keriuhan ini sebuah pertanda “jembatan sejarah” semakin kokoh terwujud, dan bukan terpaku menjadi alat penghibur lara, yang kemudian dengan mudah dilupakan ketika dendang-dendang ini terasa bosan untuk didengar.
Penting untuk kita camkan bersama kalimat yang ditulis Degung Santikarma dalam pengantar buku ini;
“Saya juga berharap melalui “tembang-tembang 65” dan tulisan-tulisan yang menyertainya di setiap lagu, tak cuma berhenti hanya di tingkat meng-estetika-kan penderitaan orang-orang tertindas. Seperti kritik yang sering ditujukan terhadap segala kemasan yang berbau pop. Kita pun juga tahu, kenapa budaya pop sering dikaitkan dengan suatu kedangkalan. Karena yang dipertaruhkan olehnya hanya pada kepuasan si pendengar. Bukan menggugah rasa keingintahuan yang lebih dalam. Tentu juga keterlibatan dan gugatan untuk mempertanyakan kenapa tembang-tembang ini selama 50 tahun diam terbungkam.”
“Jembatan Sejarah” akan tetap kokoh berdiri tergantung dari komitmen pendengar yang tak hanya merasa cukup mendengar testimoni korban lewat dendang-dendang ini. Tetapi mau mengarahkan telinganya ke para pelaku sejarah pada saat itu yang barangkali masih hidup di hari ini. Jika Anda memang ingin mendalaminya, bisa bermula dari para sepuh di rumah, mengingat tragedi ini memakan korban dalam jumlah massif dan banyak saksi matanya.
Perjuangan menegakan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu adalah perjuangan mengabadikan memori-memori para korban kekerasan yang umurnya terbatas, lewat mematerialkan memori-memori itu menjadi karya sejarah. Karya-karya sejarah baik itu berupa buku, film, lukisan, lagu serta berbagai medium lainnya bisa menjadi “senjata” untuk menghancurkan politik pelupaan buatan para jagal, yang ingin mengabadikan kekerasan di bumi manusia tempat kita berpijak di hari ini dan di masa depan. [b]
*Untuk mendapatkan album buku ini bisa dihubungi via SMS/WA: 081337002390 (menerima pesanan dari luar Bali). Jika Anda berada di Bali bisa langsung ke Rumble Empire.
Kren tra tulisan nya, Semangat Taman 65!