Bali, pulau seribu Pura. Negeri yang konon diberkati para dewa.
Pulau ini diberkati dengan keindahan alam dan kemampuan masyarakatnya memelihara tradisi berusia ratusan tahun. Tapi, kini Bali dikuasai para preman terorganisir berkedok organisasi massa (ormas).
Uniknya pengorganisasian para preman justru “direstui” oleh penguasa secara terang-terangan. Fenomena maraknya ormas merupakan fenomena kuatnya watak premanisme penguasa di Bali sekaligus penghinaan terhadap keberadaban manusia Bali modern.
Pembiaran merajalelanya preman merupakan proses naturalisasi premanisme dalam nilai sosial masyarakat Bali yang berarti mewajarkan tindakan-tindakan kekerasan.
Melintas di jalanan pulau Dewata dari kota hingga pelosok pada masa-masa Hari Raya Keagamaan, mata akan disajikan deretan baliho berbagai ukuran yang memasang tulisan dan gambar ucapan selamat Hari Raya.
Seperti akhir 2014 lalu, ada banyak baliho ucapan selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan, Natal bertebaran. Baliho-baliho tersebut sebagian besar dipasang oleh berbagai ormas lengkap dengan simbol-simbolnya. Meski tidak pernah diakui secara terbuka, ormas-ormas pemasang Baliho tersebut sebagian besar adalah kelompok preman terorganisir.
Beberapa tahun lalu, fenomena maraknya baliho yang dipasang organisasi preman berkedok ormas tidak begitu nampak.
Meski demikian, keberadaan preman jelas bukanlah hal yang baru. Premanisme telah tumbuh subur di tanah Bali sejak lama, tetapi kemunculannya tidak secara terang-terangan. Ketika itu para preman (yang belum begitu terorganisir), menjadi penguasa tak resmi sumber-sumber ekonomi dengan imbal jasa keamanan. Terminal, pasar, parkir, dan tempat hiburan adalah sumber penghasilan para preman. Mereka bergerak secara underground (bawah tanah), antara ada dan tiada.
Keberadaan para preman memiliki posisi makin strategis ketika mereka bekelindan dengan kekuatan partai politik. Pada era Orde Baru dan Reformasi, ada realitas berbeda atas pengakuan para preman dalam kancah politik.
Di era Orde Baru, para preman hanya diselipkan untuk menduduki posisi di partai politik dan beberapa di antaranya diberikan kesempatan menjadi wakil rakyat. Ketika itu para preman bisa dikatakan hanya sebagai aktor figuran di kancah politik. Tetapi di era reformasi, para preman justru menjadi aktor utama partai politik. Mereka tampil di barisan terdepan, bersuara, menjadi wakil rakyat, bahkan menjadi kepala daerah.
Bisa dikatakan bahwa era Reformasi, adalah masa keemasan para preman.
Celakanya, semakin hari, aktor-aktor utama kekuatan partai politik hampir tidak memiliki lagi batasan-batasan dalam melibatkan kekuatan preman. Lebih celaka lagi ketika, pelibatan kekuatan preman dalam ranah kekuasaan dianggap sebagai hal wajar.
Maka semakin berjayalah kekuatan para preman, nyaris tanpa pembatas. Kekuatan negara yang bertugas dalam bidang keamanan dan ketertiban yakni Polri sekalipun lebih menampakkan diri untuk berkompromi, bukan bersikap tegas memberi batasan-batasan.
Anjing Penjaga Kekuasaan?
Berurusan dengan preman, adalah hal yang seharusnya dihindari oleh mereka yang diberikan kekuasaan mengatur hal-hal yang bersifat publik seperti sebagai kepala daerah. Membiarkan keberadaan preman bertindak leluasa sama artinya dengan membiarkan potensi-potensi tindakan kekerasan diakar rumput semakin membesar.
Ibarat meletakkan api ke dalam sekam yang mudah membakar apapun di sekelilingnya.
Preman dan premanisme adalah penyakit masyarakat yang menggerogoti modal-modal sosial yang menjadi perekat hubungan-hubungan sosial. Hidupnya kelompok-kelompok preman yang terorganisir hanyalah akan membangkitkan fanatisme primordialisme berbasis kekerasan. Soliditas masyarakat pun kemudian terfragmentasi bahkan menjadi saling berseberangan dan rentan berubah menjadi gesekan fisik.
Bali selama beberapa tahun ini menjadi ajang pertarungan terbuka kelompok preman terorganisir.
Tidak ada keuntungan apa pun yang didapatkan oleh masyarakat dari keberadaan para preman. Kekerasan sebagai roh keberadaan para preman tidak memberi efek apapun selain akan menggerogoti sendi-sendi keberadaban sosial masyarakat. Preman secara individu maupun kelompok tidak memiliki kapital (modal) apapun di luar kekerasan fisik. Semakin berani melakukan kekerasan fisik, semakin eksislah preman.
Ini sama saja dengan membiarkan hukum-hukum rimba kembali tegak di dalam peradaban manusia modern yang harusnya lebih banyak diatur oleh hukum yang disepakati bersama dalam sebuah wadah bernama negara.
Jika ada pimpinan daerah sebagai representasi kekuasaan publik membiarkan hidup subur para preman bahkan menjadikannya kelompok terorganisir, maka bisa dipastikan itu dilakukan hanya bagi kepentingan pribadi si pemimpin daerah tersebut.
Pemimpin daerah tersebut memelihara para preman untuk menjadi anjing penjaga kekuasaannya. Menggunakannya untuk menundukkan, membungkam bahkan melenyapkan keberadaan pihak-pihak yang mencoba untuk kritis terhadap kekuasannya.
Perlawanan dan Pengakuan
Dampak lain dari membiarkan para preman teroganisir dinaungi kekuasaan adalah munculnya kelompok-kelompok preman lainnya. Apa yang dilakukan oleh kekuasaan dengan “memelihara” salah satu kelompok preman, memicu tumbuh suburnya kelompok preman lainnya sebagai tandingan. Selain kekerasan, persaingan dan kompetisi memang menjadi cirri khas yang melekat pada preman.
Hal ini sudah terjadi di daerah Bali. Ada beberapa kelompok preman yang ingin menunjukkan eksistensi dirinya. Masing-masing lalu bersaing pula memperebutkan akses kesumber-sumber ekonomi mulai dari yang kecil hingga yang besar. Tidak hanya tempat hiburan berkapasitas besar yang dipunguti uang jasa keamanan, toko-toko bahkan para pedagang kaki lima di wilayah desa pekraman pun tak luput ingin dikuasai.
Tindakan kelompok preman yang merambah hingga ke teritorial desa pekaman memunculkan perlawanan dari kelompok pengamanan berbasis wilayah desa pekraman yakni pecalang. Di sebuah wilayah di Kota Denpasar misalnya, ada spanduk besar yang kurang lebih bertuliskan; “wilayah ini berada dalam naungan pecalang desa pekraman…”. Spanduk seperti ini adalah wujud perlawanan terhadap kekuatan preman berkedok ormas yang ingin “menguasai” sebuah wilayah desa pekraman.
Para pecalang dari Desa Pekraman yang cukup memiliki nyali, akan memberanikan diri membentengi wilayah adatnya dengan memunculkan eksistensi, mencoba “melawan” kekuatan preman. Melawan kekerasan dengan kekerasan. Hanya menunggu waktu saja untuk meledak menjadi bentrok fisik.
Dampak lanjutan dari “pemeliharaan” kelompok preman oleh kekuasaan, adalah beramai-ramainya para lelaki generasi muda di Bali mengunjungi pusat-pusat kebugaran (gym). Mereka sibuk membesarkan otot-otot lengan dan dada mereka. Selain itu mereka juga rela mentato badan dengan gambar-gambar seram. Semuanya dimaksudkan untuk menjadikan penampilan mereka seram dan menakutkan. Semakin seram dan menakutkan, maka peluang mereka mendapatkan pekerjaaan akan makin besar.
Selain itu, mereka juga menjadi pengonsumsi minuman keras. Bahkan sebelum melakukan aksi kekerasan, biasanya ritual menenggak miras tidak pernah ditinggalkan.
Kini, dengan modal badan kekar wajah seram dan suka menenggak miras, lalu bergabung dengan salah satu kelompok preman, maka peluang mendapatkan pekerjaan akan terbuka. Kelompok preman terorganisir adalah penyalur tenaga kerja terutama dibidang keamanan (security). Upahnya lumayan besar meski resiko juga besar karena bergesekan dengan kekerasan.
Jika kondisi seperti ini tetap dibiarkan, maka keberadaan preman akan semakin menjadi sebuah kewajaran. Pembiaran kelompok preman sama saja menaturalisasi premanisme dalam kehidupan sosial masyarakat. Ini berarti, jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah akan dianggap hal yang biasa oleh masyarakat. Yang memiliki kekuatan fisik paling besarlah yang menjadi pemilik kebenaran.
Kesewenang-wenangan akan mengangkangi keberadaban sehingga masyarakat Bali akan mengalami kemunduran. Kembali ke zaman di mana semua diatur berdasarkan hukum rimba. Ujungnya adalah runtuhnya peradaban dan keadaban.
Ironisnya kadang tanpa rasa malu sedikitpun, sang pemimpin daerah bersanding dengan pimpinan para preman di depan publik. Kita wajib bertanya, jangan-jangan sang pemimpin daerah itulah rajanya para preman?? Kalau iya, maka celakalah masyarakat Bali. [b]
Saya terpaksa menggunakan NN karena saya tidak ingin nama saya diketahui.
Para preman memang bukan kaum terdidik. Di Jl. Diponegoro, Denpasar saja terpasang baliho mengucapkan selamat hari raya padahal perayaannya sudah berbulan-bulan berlalu. Spanduk yang besar dipasang di atas trotoar. Hilanglah hak pejalan kaki menggunakan trotoar karena trotoar terhalang baliho bambu (berarti tidak punya izin pasang dari Pemkot?). Ataukah memang di Bali ini sudah dilarang berjalan kaki dengan nyaman?
Lalu ada salah satu baliho lain, dapat ditemukan di Bypass dekat jalan menuju Pulau Serangan, yang menulis kata ‘sinergitas’. Apalah maksudnya ‘sinergitas’? Kata-kata karangan sendiri, menggunakan kata-kata tak lumrah supaya dikira kaum terdidik macam yang sering tayang di televisi itu (si penyebut ‘konspirasi hati’)?
Mereka memasang muka mereka di baliho-baliho dengan gaya-gaya aneh (ada yang tangannya menunjukkan simbol ‘metal’). Saya tidak mengenal mereka dan saya harap saya tidak akan pernah berpapasan dengan mereka secara langsung.
preman macem gini ada di mana – mana, ini sudah sesuai dengan slogan AJEG PEJABAT BALI
Organisasi Preman yang ada dan bertambah besar memang susah dibubarkan, karena kalau ada melakukan tindakan kekerasan dari ormas tersebut akan melakukan pembelaan dengan menyebut kata super standar, “oknum”. Kenapa perekrutan sehingga membesarnya ormas-ormas ini tidak dapat ditangkal pemerintah daerah Bali? karena ormas-ormas ini bisa jadi kantong-kantong untuk mendapatkan suara saat pilkada(L) atau pemilu (pilu), cukup datangi korlap-korlap, beri secukupnya, suarapun didapat. Ini yang membuat ormas-ormas preman ini sengaja dibiarkan oleh rezim-rezim pemerintah dari jaman purba. Cara menghilangkan preman-preman berkedok ormas ini hanya satu, nature (baca: jiwa alami) mereka adalah free man, bebas tanpa aturan, giring mereka ke arah pelanggaran hukum berat, dan hancurkan kepalanya sampai tuntas (contoh kasus FPD), seperti Rahwana Vs. Rama. Siapa yang bisa melakukan ini? Aparat-aparat keamanan resmi yang ingin kembali diakui oleh rakyat, bukan cuma diakui negara. Karena aparat sekarang diakui oleh negara tapi dipandang sebelah mata oleh rakyat yang muak karena tingkah polah mereka sebelas dua belas dengan preman berkedok ormas.
Saat ini hanya satu Las-kar yang memang terbukti pekerja keras dan membantu orang lain, Las Karbit dan jasa Las lainnya… Jangan Lupa Pestol; Pemuda Stok Lama yang malu-malu berorganisasi tapi jumlahnya sangat banyak sehingga harus dibuatkan satu fraksi di DPR, Fraksi Jomblo Tanpa Jeda.
Salam Sampah.