Prasi hal yang tak asing lagi bagi warga Bali, dalam ritual sering dijumpai atau dihadirkan. Prasi oleh seni menggunakan medium daun rontal atau populer di Bali disebut dengan ental.
Prasi identik dengan bentuk seni gambar di atas daun rontal. Gambar dalam karya prasi dihadirkan dengan teknik menoreh di atas daun rontal dengan pisau khusus bernama pengrupak. Selanjutnya torehan tersebut digosok dengan pigmen yang dihasilkan dari minyak biji buah tingkih (kemiri). Prasi pada mulanya identik sebagai bentuk karya seni yang berada dalam irisan antara sastra dan seni rupa.
Karena struktur gambar yang naratif dengan karakter ilustratif, tak jarang pula didalam gambar-gambar di atas daun rontal tersebut terdapat teks aksara yang berasal dari kakawin, kidung, dan bentuk karya sastra tradisional lainya di Bali. Namun ada pula prasi yang tanpa tulisan (aksara), seperti prasi Kidung Dampati Lalangon yang justru tanpa tulisan.
Salah satu komunitas perupa muda Bali yang intens menggali dan mengeksplorasi Prasi dalam berkarya adalah komunitas Oprasi. Komunitas yang terbentuk tahun 2018 ini juga diniatkan sebagai wadah bersama dalam mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam pengembangan karya Prasi, mulai dari tematik, teknik dan berbagai kemungkinan cara presentasinya.
Selain dalam eksplorasi kekaryaan, dalam komunitas Oprasi juga mulai tumbuh kesadaran untuk berupaya belajar bersama-sama menggali dari berbagai sumber ihwal eksistensi karya Prasi dalam kebudayaan Bali. Disamping itu komunitas ini juga memiliki kesadaran untuk mengajak publik yang lebih luas untuk lebih dekat dengan karya Prasi.
Maka tercetuslah sebuah pameran yang bertajuk “Get In Touch with Prasi” yang bermakna lebih dekat dengan Prasi. Pameran yang berlangsung di Ruang Antara Studio ini diformat dengan cara yang berbeda dengan berupaya membangun kedekatan atau keintiman antara para pengunjung dengan karya prasi.
Para pengunjung yang hadir (dengan reservasi ataupun undangan) akan diajak berbincang secara lebih akrab dengan para perupa, mulai dari menjelaskan tentang karya mereka hingga berbagai teknik dengan mengajak para pengunjung mencoba membuat karya prasi. Disamping itu akan pula diundang sejumlah tokoh yang berkompeten pada dan intens dengan karya Prasi untuk berbincang dan membagi perspektif mereka tentang prasi dalam peristiwa dialogis yang cair dan penuh keakraban. Atas dasar pemikiran inilah pameran ini dihadirkan.
Melihat karya yang dihadirkan dalam pameran ini memperlihatkan keanekaragaman gagasan para anggota dari komunitas Oprasi. Secara pilihan karakteristik cara ungkap gambar misalnya sebagian peserta memperlihatkan cara ungkap gambar yang naratif dan ilustratif. Secara tematik masih menghadirkan narasi yang diambil dari epos Mahabarata dan Ramayana dan teks yang digali dari khasanah susastra Bali lainya. Lihatlah karya Agung Mandala, Astangga Wahyu, Susila, Wahyu, menghadirkan karya yang naratif setiap fragmen fragmen cerita ditampilkan diatas permukaan helai demi helai daun rontal.
Sedangkan Nana Partha Wijaya menghadirkan karya di luar kisah epos Mahabarata Ramayana dengan karakteristik rupa wayang. Namun dari cerita rakyat yang berkembang di Bali Utara yakni cerita Jaya Prana dan Layon Sari dengan karakter gambar realistik.
Sedangkan Kadek Wira Dinata, Putu Dika Pratama, dan Made Wijana menghadirkan karya naratif namun perlakuan mereka atas penyajian satu penggalan fragmen tertentu bukan dalam helai demi helai daun rontal. Mereka menyusun helaian rontal tersebut menjadi serupa bidang gambar yang melebar lalu digambar sesuai dengan narasi yang dihadirkan dalam karya mereka.
Perlakuan mereka atas daun rontal dalam menyajikan aspek naratif serupa lukisan yang tidak menghadirkan aspek sekuential layaknya komik atau cerita bergambar. Sedangkan Putu Yoga Satyadi Mahardika menginterpretasi Pawukon dalam karyanya.
Kehadiran gambar tunggal terlihat pada karya Putu Dudik Ariawan dan Mizanul Haq. Sedangkan karya Ida Bagus Sindu Prasetya dan Ema Kusmilawati menghadirkan material campuran antara daun rontal dan plat tembaga yang dietsa pada karya Sindu, serta material campuran antara daun rontal dan plat kuningan yang dibuat dengan teknik suntikan.
Sedangkan Wayan Trisnayana khusuk dalam kegelisahan mengeksplorasi warna dalam karya-karyanya. Karya Kadek Joning Prayoga menghadirkan cara perlakuan yang berbeda diatas daun rontal Ia tak cukup menoreh daun rontal tapi memotong pinggiran gambarnya.
Pakem Prasi
Soal penggunaan tulisan dalam prasi klasik ini dikenal dalam dua pakem. Pertama adalah grantang basa yakni teks yang ditulis adalah teks asli dari naskah naskah kakawin atau teks lainya yang biasanya memakai bahasa jawa kuno. Teks tersebut dikomposisikan sademikian rupa dengan gambar sebagai ilustrasinya. Kerap kali antara teks yang satu dengan teks yang lainya dihubungkan dengan garis-garis putus putus untuk mempermudah pembaca dalam membaca teks tersebut.
Pakem yang kedua adalah gancaran. Tak seperti pakem grantang basa yang menempatkan teks pada permukaan lontar yang digambar pakem gancaran ini menempatkan keterangan nama nama tokoh dan cerita di balik permukaan lontar yang digambar.
Tradisi menggambar di atas daun rontal ini ternyata tak hanya tumbuh dalam tradisi masyarakat Bali. Persebaran tradisi ini terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Hal ini misalnya terlihat dalam sebuah pameran yang bertajuk “Turning Over: Palm Leaf Work From South And South East Asia” yang berlangsung di San Francisco pada bulan Oktober 2019-Januari 2020, menampilkan karya-karya gambar diatas daun lontar dari India, Sri Lanka, Myanmar, Thailand dan Indonesia khususnya Bali.
Di Bali sendiri persebaran tradisi menggambar di atas daun rontal ini menyebar di beberapa daerah seperti Karangasem dan Buleleng serta daerah daerah lainya di Bali. Dalam perkembanganya hari ini berbagai inovasi terjadi dalam karya Prasi. Karakter naratif dan ilustratif menjadi bukan lagi satu satunya karakter yang ada pada karya prasi.
Hadirnya gambar-gambar tunggal dalam karya bermaterialkan daun rontal ini serta adanya perluasan tematik dan cara presentasinya membuat karya prasi terus bergerak dan berkembang. Hal ini memperlihatkan betapa prasi sebagai karya terus bergerak melampaui konvensi-konvensi yang tak kunjung usai dan menyisakan banyak pertanyaan atau luput dari perbincangan selama ini. Inilah salah satu problematika dalam dinamika perkembangan prasi yang sesungguhnya menarik dan memantik perbincangan lebih jauh.