Prasada, ruang konsentrasi yang sarat nilai secara arkaik dan filosofinya.
Sebutan Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak salah untuk disematkan, seringkali keberadaan pura di Bali menyimpan tinggalan arkeologis yang tidak ternilai harganya. Begitu Pula dengan keberadaan Pura Ntegana di Desa Adat Tegal, Desa Darmasaba yang menyimpan tinggalan arkeologis berupa bangunan prasada.
Bangunan ini berdiri kokoh di halaman utama/jeroan Pura Ntegana, keberadaanya masih bersifat living monument dan difungsikan sebagaimana mestinya oleh masyarakat sekitar.
Mendengar kata prasada mungkin masih sangat asing di telinga kita, ditambah lagi kita belum pernah melihat wujudnya secara visual. Hal ini dapat saya wajarkan karena tidak semua pura memiliki bangunan prasada di dalamnya. Jika dilihat secara seksama bangunan ini memiliki kesamaan bentuk dengan candi-candi di Pulau Jawa.
Persamaan antara kedua bangunan ini tidak hanya berhenti pada bentuknya saja, bahkan dari segi fungsi bangunan prasada dan candi memiliki beberapa kesamaan yakni sebagai media konsentrasi untuk memuja para dewa. Selain itu tempat penghormatan (pendharmaan) yang ditujukan kepada roh seorang raja.
Fungsi mendasar dari Prasada di Pura Ntegana yakni sebagai media konsentrasi untuk mendekatkan diri kehadapan tuhan dalam konteks ini adalah Sang Hyang Wisnu dan Hyang Pasupati. Oleh pengempon pura, beliau disebut Ida Ratu Agung.
Pada dasarnya bangunan prasada merupakan representasi dari sebuah gunung. Hal ini terpancar pada strukturnya yang menjulang tinggi serta bagian atapnya yang berbentuk tumpang, semakin keatas semakin mengerucut layaknya sebuah gunung.
Gunung sebagai titik tertinggi dianggap sebagai tempat paling suci, anggapan ini sudah berkembang jauh sebelum pengaruh agama Hindu-Buddha masuk ke Indonesia. Agaknya anggapan ini pertama kali muncul dan berkembang pada zaman megalitik yang dibuktikan dengan adanya bangunan punden berundak sebagai salah satu produk kebudayaan dari masa tersebut. Tidak mengherankan jika Prasada Pura Ntegana difungsikan sebagaimana yang telah saya tulis diatas, karena melihat peran gunung sebagai suatu titik yang sangat vital dan suci.
Pembagian tiga struktur utama pada prasada bermakna bahwa dalam siklus alam semesta terdapat tiga alam (tri loka) yang memiliki peran dan penghuninya masing-masing. Bagian pondasi atau kaki prasda bermakna adanya dunia bawah (bhur loka) yang dihuni oleh Asura, Bhuta Kala atau kekuatan alam yang bersifat negatif.
Pada bagian tengah atau badan prasada (bhwah loka) memiliki makna sebagai dunia penghubung. Ketika manusia menjalankan hidupnya dalam hal ini terdapat dua pilihan antara ingin melanjutkan hidup ke dunia atas atau tetap terjebak di dunia bawah.
Bagian terakhir adalah atap prasada (swah loka) melambangkan alam para dewa yang mana merupakan tempat tertinggi dan paling suci. Tiga tingkatan ini juga dapat diartikan sebagai perjalanan hidup manusia dalam mencari arti kesucian, pelepasan diri dari ikatan keduniawian, dan moksa sebagai tujuan terakhir.
Bangunan Prasada Pura Ntegana sebagai hasil dari cipta karsa nenek moyang kita tidak hanya dapat kita nikmati keindahannya. Jika ditelisik lebih dalam, banyak sekali makna yang tersematkan pada bangunan ini.
Hal ini sebagai penanda bagaimana pola pikir nenek moyang kita dalam usahanya untuk menerjemahkan kepercayaan terhadap kesucian sebuah gunung dan ajaran-ajaran agama Hindu dalam hal ini meliputi konsep tri loka, yang mana direalisasikan sebagai media pemujaan yang berbentuk prasada.