Lebih baik terlambat atau tidak sama sekali, pikirku setelah selesai menonton film ini. Akhirnya kuputuskan untuk menuliskannya sedikit lebih panjang di sini.
Prolog
Monster, film asal Jepang yang disutradarai oleh Hirokazu Kore-eda dari skenario yang ditulis Yuji Sakamoto ini sebenarnya mengangkat tema yang sangat relevan tentang apa yang sering terjadi di sekeliling kita.
Aku percaya bahwa menonton film adalah bagian dari perjalanan spiritual, jadi apa yang aku tafsirkan mungkin saja berbeda, maka rasanya perlu untuk menggarisbawahi hal ini. Tulisan ini mengandung spoiler, segera tinggalkan tulisan ini kalau kalian belum menonton filmnya.
Sepanjang film aku bertanya-tanya ada apa, apa yang sedang terjadi, siapa monsternya? Minato, tokoh utama dalam film ini juga menanyakan hal yang sama, “siapa monsternya?”. Kore-eda membagi film ini dalam tiga sudut pandang. Film dimulai dari sudut pandang Saori Mugino, seorang ibu tangguh yang selalu mengusahakan yang terbaik untuk anaknya, Minato Mugimo. Membesarkan anak seorang diri membuatnya bersikap cukup protektif.
Saori Mugino menyadari perubahan-perubahan yang perlahan dialami oleh Minato. Sejak saat itu ia mulai mencari tahu apa yang sedang dialami oleh anaknya. Di awal film kita akan dengan mudahnya menganggap bahwa hal-hal buruk yang terjadi kepada Minato disebabkan oleh Hori, seorang guru di sekolah Minato.
Paruh kedua film ini bercerita dari sudut pandang Hori. Seketika anggapanku tentang sosoknya sedikit demi sedikit mulai runtuh. Hal-hal yang dilakukan oleh Hori adalah kegalalannya memahami Minato, banyak kesalahpahalaman yang terjadi. Namun tidak akan aku jelaskan disini.
Paruh terakhir menuju klimaks, bercerita dari sudut pandang Minato. Kedekatannya dengan Yori, seorang anak laki-laki yang dicap “berbeda” di lingkungan sekolahnya menjadi puzzle pelengkap dari dua sudut pandang sebelumnya.
Prasangka
Sama halnya dengan Saori, aku dengan mudahnya menganggap bahwa Hori adalah pelaku dari semua kejadian ini. Begitu pula dengan Hori yang dengan mudahnya menganggap Minato sebagai anak laki-laki nakal yang kerap berkelahi dengan temannya Yori. Fenomena ini sangat familiar dan sering terjadi di antara kita.
Dengan gegabah kita sering kali bertindak dan merasa paling benar tanpa melihat kejadian sebenarnya dengan utuh. Perilaku seperti ini sering aku temui di media sosial, dengan mudahnya orang-orang meninggalkan komentar negatif, tanpa mengetahui pangkal permasalahan yang terjadi, tanpa memikirkan apa yang kemudian terjadi pada si korban, dan apa yang akan terjadi pada keluarga si korban. Lalu siapa monster yang sebenarnya?
Tentang mencari jati diri
Pemahaman akan “maskulinitas” yang diamini oleh sebagian besar masyarakat menjadi tembok penghalang bagi Yori dalam mengekspresikan dirinya. Perilaku yang dianggap menyimpang membuatnya mendapatkan perlakuan-perlakukan yang tidak pantas. Hal ini berdampak pada persahabatan yang terjalin antara kedua tokoh utama dalam film ini, Minato dan Yori.
Budaya maskulitas yang telah mandarah daging membuat Minato tidak berani terang-terangan berteman dengan Yori. Ketakutan akan dibuli membuatnya memilih untuk tidak menjalin komunikasi di lingkungan sekolah. Sebaliknya, ketika mereka berada di sebuah bus terbengkalai “safe place” keduanya bercengkrama dengan nyaman dan intim.
Kuatnya norma tentang maskulinitas yang mengakar di masyarakat membuat sekolah saja tidak mampu menjadi “safe place” bagi mereka. Akibat norma itu pula membuat Minato merasa denial ketika menyadari bahwa ia memiliki perasaan dengan Yori.
Pada akhir film ini Yori bertanya kepada Minato “kita telah terlahir kembali?”, kemudian Minato menjawab “tidak, kita masih yang dulu”. Ada sebagian orang yang menganggap mereka mati, ada sebagian orang pula yang beranggapan bahwa mereka masih hidup setelah kejadian itu. Tapi aku tidak peduli, yang aku tahu film ini memiliki ending terbaik yang membuatku meneteskan air mata.