Agenda pembangunan hukum dengan restorative justice (keadilan restoratif) bertujuan untuk mengurangi over crowded di lapas, tetapi ada kelemahan dari tujuan ini. “Ternyata untuk isu kekerasan terhadap perempuan itu lackingnya (pelemahan) ada gap (jarak) disitu,” ujar Theresia Iswarini Ketua Sub Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan pada Selasa (11/06) di Hotel Neo Denpasar.
Komnas Perempuan Sub Pengembangan Sistem Pemulihan meluncurkan laporan pemantauan di Hotel Neo, Denpasar pada Rabu (12/06). Laporan pemantauannya berjudul ‘Laporan Pemantauan Penerapan Mekanisme Keadilan Restoratif dan Sejenisnya pada Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Provinsi Bali’.
Ada beberapa lembaga yang hadir dari berbagai bidang, baik pemerintahan, organisasi nirlaba hingga pihak desa adat. Mereka menjelaskan beberapa mekanisme keadilan restoratif di lingkungan kerja masing-masing. Sebelumnya, dari pihak Komnas Perempuan, Soraya Ramli memaparkan hasil pemantauan di Bali yang dilakukan oleh LBH Apik Bali dan Komnas Perempuan.
Pemantauan dilakukan dengan pendekatan kualitatif berperspektif hak asasi perempuan dengan metode wawancara mendalam dan diskusi kelompok terpumpun. Secara nasional, wilayah pemantauan mencakup 9 provinsi, 23 kabupaten/kota dengan pertimbangan variasi kasus, wilayah konflik, dan penerapan kebijakan yang beragam. Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar adalah lokasi pemantauan di Provinsi Bali.
Berdasarkan hasil pemantauan, Soraya mengungkapkan mekanisme keadilan restoratif kian menyempit sebab kerap disamakan dengan mediasi. Keadilan restoratif juga masih dianggap sebagai proses penggantian dan pemberhentian perkara. “Kemudian pemulihan bagi korban sebagai tujuan utama restorative justice itu belum menjadi perhatian serius,” ucap Soraya pada Rabu (12/06) di Hotel Neo Denpasar.
Menurut hasil pemantauan, secara nasional terkait rasa pulih korban, sebesar 56 persen belum merasa pulih pasca dilakukannya penanganan kasus dengan mekanisme keadilan restoratif. Apabila di Provinsi Bali, hanya 30 persen korban yang merasa pulih. Sementara 30 persen lainnya menyatakan belum pulih, dan 40 persen lainnya tidak menjawab.
Soraya juga menyoroti mekanisme keadilan restoratif di tingkat desa adat. Beberapa wilayah adat di Indonesia, menganggap setelah membayar denda adat maka perkara selesai. Sehingga kebutuhan pemulihan korban belum terakomodir dalam mekanisme keadilan restoratif di ranah adat. Selain pemulihan korban, yang luput dilakukan adalah rehabilitasi terhadap pelaku agar tidak mengulangi tindak kekerasan. Peningkatan kapasitas dan fasilitas pelayanan korban kekerasan juga menjadi perbincangan serius dalam penyampaian laporan pemantauan.
Melalui laporan pemantauan tersebut, Komnas Perempuan memberikan lima poin rekomendasi yang dapat dilakukan berbagai pihak
- Pemerintah (nasional dan daerah) perlu melakukan pelatihan secara terus-menerus dan berjenjang dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan sehingga peningkatan kapasitas dan penguatan jejaring penanganan kasus dapat terbangun secara bersamaan. Hal ini termasuk penguatan jejaring untuk memaksimalkan upaya pemulihan bagi korban.
- Kepolisian melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dengan mekanisme keadilan restoratif, terutama pada aspek muatan kesepakatan yang belum mendukung upaya pemulihan bagi korban.
- Pemerintah daerah memastikan ketersedian layanan bagi perempuan korban kekerasan, baik infrastruktur, SDM dan anggaran sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU No. 12 tahun 2024 tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
- Institusi penegak hukum, lembaga layanan, dan lembaga adat melakukan peningkatan kapasitas bagi anggota-anggotanya, dan memastikan pemahaman mengenai kebijakan-kebijakan diinternalisasikan dalam praktik penanganan kasus.
- Pemerintah nasional menyusun regulasi terkait keadilan restoratif yang dapat menjadi payung hukum bagi semua pihak termasuk dalam hal penanganan kekerasan terhadap perempuan.