Oleh RagBrurag
Urungkan niat kalian jika ingin melihat karya ini lagi.
Karya berjudul tergusur dari 735 art memang telah digusur. Karya ini dibuat di antara kesibukannya menjelang Hari Raya Nyepi di wilayah Yangbatu Denpasar.
Seorang dengan sarung meringkuk di gedung tanpa atap.
Lahir dan tumbuh di jantung kota Denpasar, si pembuat karya ini merasakan dan menyaksikan setiap laju perubahan di kotanya.
Seperti lirik lagu yang harus saya nyanyikan sambil lari di setiap sore menyebutkan, wilayah tempat karya ini dibuat adalah jantung kota Denpasar.
Ruang bermain yang selama ini luas sudah mulai sesak. Tidak hanya oleh bangunan-bangunan dan laju penduduk pendatang tetapi juga pertumbuhan penduduk yang terus beranak pinak di wilayah tersebut. Mungkin semua mencoba abai dengan hal tersebut dan mencoba menganggap kesesakan seperti itu sebagai sesuatu yang normal dan wajar.
Keterdesakan ini menjadi mengganggu ketika si seniman dihadapkan pada sebuah kenyataan. Rumah kerabat dekatnya harus berpindah kepimilikan dan dirobohkan. Padahal, rumah itu pernah menjadi bagian dari masa kanak-kanaknya
Letak permasalahan yang mengganggu kesadarannya bukan pada perubahan ruang kota dari lengang menjadi sesak. Bukan pula pada pertumbuhan kota dan laju penduduk. Namun, pada tergusurnya kenangan masa kecil yang penuh dengan cerita dan mengiringinya tumbuh.
Jika manusia adalah makhluk kebiasaan, maka si seniman telah terbiasa melihat rumah itu dengan bentuk dan penghuni yang telah dikenalnya.
Kebiasaannya selama ini menganggap rumah tersebut sebagai rumah saudara yang bisa dimasuki sesuka hati. Di mana semula setiap penghuninya sudah memilki ikatan personal. Tak hanya berdasarkan hubungan kekerabatan tetapi ikatan tumbuh dan bermain bersama.
Namun, kini dia dipaksa beradaptasi dan membentuk kebiasaan baru untuk menyikapi bentuk fisik, perubahan fungsi dan kepimilikan dari rumah yang dulu milik kerabatnya tersebut.
Tentu ada alasan kenapa rumah itu berpindah kepimilikan atau dijual. Alasan yang hanya diketahui pemilik rumah dan hanya bisa diduga-duga. Dia menjadi kabar burung oleh mereka yang tinggal di sekitarnya.
Alasan keuangan merupakan alasan klasik sebuah aset berpindah tangan. Alasan yang tidak bisa diabaikan di tengah desakan sebuah era yang membuat semua menjadi pemangsa-pemangsa rakus.
Si pemilik rumah pun pergi. Bangunan itu pun menjadi gedung tanpa penghuni, dibongkar secara perlahan oleh si pemilik yang baru.
Sebelum bangunan itu benar-benar rata dengan tanah, 735art ingin melakukan sebuah romantisme kecil. Dia bermain melalui pembuatan karya mural. Salah satunya karya berjudul “Tergusur”.
Sebuah gambar lelaki meringkuk tanpa mengenakan baju dan hanya mengenakan sarung. Bertelanjang dada dan hanya mengenakan sarung telah menjadi kebiasaan para orang tua di Bali sambil menikmati kopi atau sekadar mengelus-elus ayam jago peliharaan mereka.
Meringkuk merupakan gambaran kekalahan pada keadaan yang menghimpit.
Apa yang dialami oleh 735art dan visual karya muralnya adalah sebuah gambaran kecil tergusurnya ruang-ruang bermain di sekitar rumah kita. Dalam konteks lebih besar bagaimana laju perubahan Bali yang sudah semakin menggila. Bagaimana secara perlahan tapi pasti sedikit demi sedikit tanah atau bangunan yang memiliki nilai nostalgia dengan masa kecil kita telah berubah kepemilikan, berubah bentuk dan berubah fungsi.
Ini adalah sebuah penggambaran bagaimana ketidaksanggupan mempertahankan ruang-ruang bermain dari berbagai kebutuhan dan godaan material yang menggiurkan dan memerangkap kita.
Sesekali cobalah melihat tempat-tempat yang menjadi halaman bermaian kalian dahulu. Kalian akan terkejut melihat perubahannya. Seterkejut saya ketika tiba-tiba pulang dan mendapati bagai mana sawah-sawah di atas mata air subak kami (tempat kami biasa berenang) telah berubah menjadi tanah kapling yang siap dibangun menjadi perumahan padat. [b]