Oleh Anton Muhajir
Ketekunan perupa Made Wianta mendokumentasikan catatan-catatan kecilnya jadi perhatian Refly, alumni S2 Kajian Budaya Universitas Udayana (Unud) Bali. Refly, yang rajin menulis di media massa, itu mengulas puisi karya Made Wianta dalam buku Bahasa Estetika Postmodernisme: Puisi Rupa Made Wianta.
Refly menggunakan teori postmodernisme, yang lagi ngetrend di perbincangan cultural studies, untuk menelaah puisi Made Wianta. Buku delapan bab ini mengupas proses kreatif hingga refleksi karya Wianta. Dia menobatkan puisi Wianta sebagai puisi postmo Indonesia, dikontraskan dengan puisi modern Indonesia karya generasi Pujangga, Angkatan 45. Karakter postmo, menurut Refly, ditunjukkan melalui bahasa dan bentuk puisi Wianta.
Suami cucu Ki Hajar Dewantara ini menulis puisi dengan judul yang hanya menjelaskan tempat dan waktu, tak peduli “aturan normal” menulis puisi, dan menggunakan media tak wajar juga mulai kertas tisu, sobekan majalah, daun, cerutu, bungkus rokok, karton bekas obat nyamuk, tiket, bahkan kertas pembalut wanita. Puisi dilengkapi coretan-coretan pada pinggiran kertas, seperti sketsa atau kaligrafi.
Menurut Refly, proses kreatif alumni ISI Yogyakarta itu bisa dijelaskan dengan teori psikoanalisa Sigmund Freud. Bahwa kebutuhan Wianta pada ekspresi adalah id, puisi sebagai ego, dan aturan konvensional menulis puisi sebagai super ego. Melabrak aturan konvesional ini, bisa dijelaskan dengan teori pemberontakan Albert Camus hingga teori dekonstruksi Jacques Derrida.
Puisi rupa Made Wianta juga hasil kreasi masyarakat pasca-industri dimana orang terus mencari kebaruan. Hasil kreasi ini bisa dilihat dari penggunaan simbol-simbol, ikon-ikon, dan indeks-indeks. Pada puisi rupa orang tak hanya bisa baca tapi juga menonton. Dan, bukankah masyarakat pasca-industri lebih senang pada permainan tanda, pada tontonan.
Sadar atau tidak, penggunaan media yang tak biasa juga jadi kritik Wianta pada residu masyarakat konsumer. Tiket, bungkus rokok, dan hingga sobekan iklan adalah sampah konsumerisme. Media tersebut adalah produk kebudayaan postmodern yang serba instan, serba cepat, serba kertas, dan serba plastik [hal 149].
Menurut Refly, Wianta bukan pendahulu penulis puisi rupa karena Sutardji Calzhoum Bachri, Remy Silado, dan Danarto telah melakukannya. Bedanya dari sisi intensitas kuantitatif. Wianta mendokumentasikan karyanya sejak 1977 hingga saat ini. Karya itu disimpan di gudang dan terus bertambah. Jumlahnya ribuan.
Buku ini melengkapi buku tentang puisi rupa Made Wianta yang sudah pernah terbit sebelumnya yaitu Korek Api Membakar Almari Es (Bentang Budaya, 1996), 2½ menit (Pustaka Pelajar, 1999), dan Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York (Bentang Budaya, 2003). [+++]
hai lam kenal..thx ya…lewat situs ini saya lebih tau siapa made wianta…yang saya cari2 data tentang beliau…menurut saya beliau slah satu pelukis ternama Bali saat ini.trims,
nb:kalo ada data lebih lengkap tentang i made wianta.
hai lam kenal..thx ya…lewat situs ini saya lebih tau siapa made wianta…yang saya cari2 data tentang beliau…menurut saya beliau slah satu pelukis ternama Bali saat ini.trims,
nb:kalo ada data lebih lengkap tentang i made wianta.tq
hai lam kenal..thx ya…lewat situs ini saya lebih tau siapa made wianta…yang saya cari2 data tentang beliau…menurut saya beliau slah satu pelukis ternama Bali saat ini.trims,
nb:kalo ada data lebih lengkap tentang i made wianta.tq…