Pembangunan di Bali tidak boleh menggusur Dewi Sri dan menganiaya monumen subak.
Pada tahun 1981, Nyoman Popo Priyatna Danes, saat itu baru berumur 17 tahun dan duduk di Kelas II SMA berani menerima tantangan membuat desain rumahnya sendiri di Banyuatis, Buleleng. Dia mendesain sendiri arsitektur rumah yang hingga kini masih berfungsi dengan baik tersebut. Lima tahun kemudian, ketika masih kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Udayana Bali, Popo memulai studio arsitekturnya sendiri.
Saat ini, pria yang lebih akrab disapa Popo Danes ini termasuk salah satu arsitek terkemuka di Bali. Karya-karyanya memiliki ciri khas, luas dan menyatu dengan kawasan tebing atau bukit. Dengan kemampuan memadukan unsur Bali dan modern, karyanya kini tersebar tak hanya di Jimbaran, Ubud, Karangasem, tapi juga hingga Dubai, Hawai, India, dan lain-lain.
Namun, menjadi arsitek bagi peraih beasiswa Rotary Group Study Exchange ke Belanda pada tahun 1991 ini juga sebuah pekerjaan yang membuatnya sering merasa sesak karena melihat bagaimana masifnya perubahan di Bali terutama di kawasan selatan. Maka, suami dari Ni Wayan Melati Blanca ini juga aktif di kegiatan-kegiatan budaya maupun kelompok kritis Bali. Selain menjadi Ketua Komite Bali Tourism Development Centre (BTDC) Nusa Dua, Popo juga menjadi Konsul Kehormatan Tunisia.
Dua minggu lalu, saya ngobrol dengan Bli Popo, begitu saya biasa memanggilnya. Sekitar dua jam kami ngobrol santai tentang perjalanan karir serta kegelisahan terhadap pembangunan Bali saat ini. Kurang lebih, inilah obrolan di di studio arsitekturnya, Danes Veranda, Jl Hayam Wuruk Denpasar tersebut.
Kenapa memilih arsitektur?
Kalau arsitektur itu kan tertanam sejak muda karena almarhum ayah saya hobinya membuat rumah. Bukan pekerjaannya. Dia suka bikin-bikin rumah. Jadi saya sejak kecil diajak bikin rumah terus sehingga kenal arsitektur.
Dia awalnya hobi kemudian menjadi pekerjaannya. Dia tidak sengaja kemudian menjadikan hobi sebagai pekerjaan. Karena ternyata setiap kali bikin rumah ada yang beli, akhirnya jadi pekerjaan. Padahal bukan his original intention tapi kemudian jadi passion. Sejak kecil saya biasa melihat orang menggambar dan membangun rumah. Maka, sejak umur 7 tahun saya sudah memutuskan hanya akan menjadi arsitek.
Apa yang menarik dari arsitektur?
Ya kalau arsitektur itu kan dari tiada menjadi ada. Prosesnya sangat riil. Dari semula lahan kosong kemudian ada bangunan. Bahwa bangunan itu membutuhkan effort banyak pihak. Tiba-tiba ada batu datang dari sana. Ada kayu datang dari situ. Ada tukang-tukang. Lalu terwujud bangunan. Itu sangat menarik bagi saya.
Kalau mengaitkannya dengan pekerjaan, itu kan bagian dari kebutuhan manusia, sandang, pangan, dan papan. Terlebih setelah saya tahu, arsitektur juga banyak konten budayanya dan di Bali kita memiliki budaya spesifik tentang itu. Begitu saya masuk sekolah arsitektur, saya mengerti arsitektur itu makin kaya dan luas. Tamat kuliah saya bekerja, ternyata arsitektur itu topik sangat menarik. Kita membicarakannya dengan orang. Ada diskusi bagaimana orang menginginkan bangunannya. Saya menyukai interaksi dengan orang tentang kebutuhan-kebutuhannya terhadap space.
Tapi, arsitektur bukan cuma persoalan menggambar dan membangun?
Tidak. Banyak sekali aspek. Terlebih kalau kita memahami sejauh mana tanggung jawab arsitek. Itu kan juga sangat kompleks sebenarnya. Apakah kita bertanggung jawab terhadap lingkungan dengan tidak membuat hal-hal merugikan, termasuk tidak merusak lingkungan. Kemudian apakah kita tidak melakukan pengerusakan budaya. Apakah kita sudah cukup mendidik pengguna arsitektur tentang bagaimana membangun space yang baik. Juga apakah kita sudah bertanggung jawab terhadap uang yang dibelanjakan orang. Itu kan juga salah satu aspek penting.
Dari sekian banyak aspek, aspek mana yang jadi pertimbangan utama?
Pertimbangan utama pasti excitement berkarya ya. Bahwa kita setiap hari berkarya. Membuat karya yang terekam baik. Jadi ini hal luar biasa karena arsitek itu portfolio builder. Kita membangun portofolio. Setiap hari kita menumpuk kumpulan karya yang jadi kebanggan kita. Selalu ada hal-hal berbeda. Dinamis.
Kembali ke aspek tadi, terus apa aspek utama ketika berkarya?
Bagaimana kita mengembangkan diri sendiri. Itu sangat personal dan berbeda-beda. Isunya berbeda-beda dari angkatan 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, 2000-an hingga saat ini. Kalau sekarang isu lingkungan sangat sensitif. Apakah kita sudah green. Apakah kita tidak terlalu banyak menggunakan kayu tropis. Apakah kita sudah bagus mengelola air. Itu yang jadi isu saat ini yang tak menjadi isu tahun 1980an. Pada saat itu mau pakai kayu jati berapa kubik atau batu apa juga tak masalah.
Mulai profesional sejak kapan?
As a profesional sejak 1987. Tapi saya mulai nakal sudah sejak Kelas II SMA. Tahun 1981 ketika saya masih kelas II SMA sudah membuat desain rumah dan dipakai. Itu rumah pribadi yang sampai sekarang masih. Itu serious architecture. Itu sangat membanggakan. Karya anak SMA ini. Sampai saat ini saya masih bisa melihat itu sebagai bangunan yang benar. Artinya saat itu saya sudah mengeksplor desain dan bahan.
Kemudian sebagai profesional?
Setelah kuliah. Tahun 1987, saya masih kuliah tapi sudah punya karyawan. Saya bikin sendiri. Pada saat itu running design business. Mulai tahu gaji orang. Tahu the other side of the architecture life. Itu yang membuat saya tak pernah bekerja untuk orang lain. Ada sisi buruk maupun bagusnya.
Saya tak pernah belajar bekerja di bawah arsitek lain. Kalau arsitek lain kan rata-rata pernah belajar sama arsitek hebat-hebat, kalau saya tahunya bekerja dengan saya sendiri. Mau tak mau saya harus menggali sendiri karena tak pernah mengenal sesuatu lebih seperti orang lain.
Apa enaknya kerja sendiri?
Banyak enaknya tapi juga banyak konsekuensi yang harus diterima. Enaknya kan saya punya freedom yang absolut. Tapi freedom yang absolut itu tentu ada harganya. Hehe.. Bahwa kita selalu dalam posisi yang pay the bill. Ada luxury yang harus saya bayar. Misalnya saya yang harus bayar gaji, dalam posisi yang bertanggung jawab untuk semua. Jadi selalu saya dalam posisi di puncak itu. Kalau karyawan saya bisa berlindung di balik saya. Kalau ada yang tak bisa dipecahkan mereka bisa tanya saya untuk turun tangan. Mereka suka tidak suka bekerja dengan saya ya tiap bulan akan terima gaji. Kalau saya selalu contents of responsibility-nya selalu tinggi.
Kalau soal tantangan arsitektur dari dekade ke dekade bagaimana?
Saya bekerja pada 1980-1990an bekerja itu tanpa beban. Saya tak terlalu banyak memikirkan tantangan. Waktu itu dibilang goblok pun ready. Masih bau kencur. Tapi tahun 2000-an kita mulai melihat hal-hal yang harus terpikirkan dengan baik.
Kalau di Bali ini, tantangan paling berat adalah tanggung jawab kita dalam mengelola lahan. Itu bertambah parah dan bertambah parah. Bali selalu jadi tempat yang kita banggakan secara natural dan kultural. Sebagai arsitek, saya merasa kita menjadi saksi yang lebih intens dari perubahan itu. Tiap hari lihat orang Bali jual tanah. Tiap hari lihat sawah diuruk dengan limestone jadi jalan jadi perumahan.
Bagaimana rasanya?
Sesaknya terasa. Saya juga tidak ingin menjadi hero di Bali tapi mungkin yang kita rasakan lebih dari orang kebanyakan. Melihat orang Bali yang merengek minta kerja di bekas tanah sendiri. Itu selalu. Jadi pemandangan rutin. Juga melihat kawasan-kawasan di Bali, seperti bukit itu. Orang Bali kan tak mungkin pindah karena dia punya merajan sementara rumahnya dikepung vila-vila. Warga asli dan pendatang itu harus bisa duduk bareng. Saya merasa orang Bali terasing di tanahnya sendiri. Jadi, saya sangat concern bagaimana situasi ini tetap terjaga dengan baik.
Tapi perubahan masif itu baru terjadi?
Concern saya yang paling dalam karena perubahan di Bali selatan ini terlalu cepat daripada yang bisa diantisipasi pemerintah. Padahal sebuah sistem yang rapi kan selalu infrastruktur yang rapi dulu baru pembangunan. Jadi orang baru akan membangun kalau sudah ada jalan, sudah ada listrik, sudah ada telepon. Tapi di sini kan mereka terlalu cepat.
Bukan karena pemerintah yang terlalu lambat?
Saya tidak mau blaming tapi yang jelas kontrolnya jadi kelabakan. Bagaimana alih fungsi lahan itu terjadinya terlalu cepat. Seolah-olah semua sawah bisa dialihfungsikan menjadi bangunan. Dan karena tidak ada antisipasi infrastruktur. Ini juga masalah master plan. Dia ada tapi penerapannya seperti apa.
Saya selalu menolak proyek di tepi sawah karena ya gitu. Kita misalnya sekarang kita bangun di sawah lalu ada listrik. Setelah ada listrik maka tetangga ngikutin semua. Saya tak mau jadi front man yang melakukan itu.
Karena itu lebih banyak bermain di kawasan luas?
Itu bukan pilihan. Mungkin ketidaksengajaan yang kemudian jadi keberuntungan. Itu juga bukan pilihan mudah. Saya sangat concern dengan lahan produktif karena sebagai orang Bali sejak kecil saya makan nasi dari beras, bangga dengan subak, kita selalu memuja Dewi Sri. Jadi saya senang kalau tidak menggusur Dewi Sri dan menganiaya monumen subak. Maka, saya lebih banyak bermain di tebing dan lereng. Itu juga bukan hal mudah karena daerah-daerah semacam itu secara lingkungan juga kritis. Oleh karena itu kita pun dalam melakukan pekerjaan itu harus super hati-hati. Saya tak mau membuat lembah hijau itu jadi neraka tapi justru menyatu dan dalam waktu yang sama meningkatkan kualitas lingkungan.
Caranya?
Dengan menambah jumlah pohon atau menguruk dengan tanah dari tempat lain. Saya ada proyek di Ubud yang dulu gundul lingkungannya tapi sekarang malah lebih baik. Setelah ada bangunan, kita ada posisi untuk menaruh tanah dan pohon. Saya tidak mau menjadikan diri saya sebagai arsitek yang membangun dari ujung ke ujung.
Proporsinya berapa antara lahan dan bangunan?
Kami lebih suka maksimal 40 persen bangunan dari total luas lahan. Di peraturan tata guna lahan pemerintah kan koefisien daya bangunnya beda-beda. Di mana yang boleh sampai 40 persen, mana yang boleh 10 persen, atau mana yang hanya bahkan boleh hanya 10 persen. Sebenarnya sudah ada aturan itu.
Itu yang membuat kita sedih. Di peraturan itu ada, misalnya, ketika orang membangun tempat makan maka ada berapa tempat duduknya berapa untuk parkir. Itu ada di aturannya. Tapi, kenyataannya berapa, sih, rumah makan yang punya tempat parkir? Itu yang menjadi concern paling serius saya. Yang paling mendasar sekarang adalah karena kita tidak terbiasa mengikuti sebuah sistem yang rapi, sehingga kita sudah telanjur menjadi manusia-manusia yang terlalu liar. Terlalu bebas kan kita?
Kalau orang berada di tatanan yang rapi, di satu tempat yang infrastrukturnya bagus, orang itu akan terbiasa. Oh, saya harus naik kereta yang jam sekian, naik bus jurusan mana. Itu hal biasa. Terbiasa menghargai orang lain. Kalau di sini kan tidak ada sistem sehingga tiap orang menciptakan sistemnya sendiri. Yang punya sepeda motor naik sepeda motor. Itu bukan pilihannya tapi karena situasi yang membuat dia begitu.
Sistem itu sebenarnya sudah ada?
Di mana? Tidak ada.
Masak sih Bali tak punya, misalnya, master plan?
Pergerakan manusia itu kan diurus. Misalnya begini. Saya dulu pas SD – SMP enak banget naik bemo. Orang tua saya tak takut melepas. Kita tahu siapa saja pelanggan bemo. Dulu ada sistemnya. Tapi, ketika semua jadi makin canggih, kita makin tak jelas.
Siapa yang bertanggung jawab untuk itu?
Boleh gak menyalahkan pemerintah? Kan tidak boleh. Kita takut dimarahi pemerintah. Hehe. Jadi, tetap pemerintah. Visinya harus jelas. Pemerintah itu ada visi. Harus selalu happy untuk mengarahkan ke arah lebih baik. Kalau ada aturan dan sistem lebih baik, kita semua akan happy kok untuk mengikuti.
Aturan atau penerapannya yang tak jelas?
Kalau saya sebagai arsitek merasa aturannya abu-abu. Misalnya, kalau saya mendesain bangunan di India, itu aturannya jelas. Dari batas ini berapa meter. Kalau di sini sudah biasa kalau boleh tawar menawar. Aturannya kurang detail. Kalau aturan detail itu semua dijelaskan sampai teknis. Kalau kita lemah, misalnya, di safety. Di Bali coba lihat berapa public space yang punya saftey place. Ada smoke detector gak? Ada tangga darurat tidak?
Perubahan paling parah di Bali itu sepuluh tahun terakhir kan?
Sepuluh tahun terakhir lebih parah. Dulu kan pelakunya tak sebanyak ini. makin susah untuk mendeteksi. Pelaku industri. Pelaku pariwisata. Kita tak memiliki zonasi yang jelas. Denpasar ini kan chaos. Tak jelas pengaturan wilayahnya. Kapan itu saya lewat Jl Kargo Ubung banyak truk parkir. Ternyata kemudian juga ada perumahan di sana. Tidak jelas ini kawasan apa.
Dulu kawasan Waturenggong itu desa di rural. Masih banyak rumah dengan gapura. Sekarang sudah tidak jelas. Tiba-tiba banyak toko, jual pulsa, rumah makan. Kawasannya tidak jelas. Di semua sudut kota ini sama. Ke Tohpati (Denpasar Timur) ya begitu. Ke Sanglah (Denpasar Barat) ya begitu.
Itu kembali karena tidak ada sistem yang jelas?
Ya. akhirnya kita menciptakan sistem sendiri. Menciptakan kebebasan sendiri. Orang-orang ini semua punya kemerdekaan. Ternyata bikin toko di mana saja dikasih izin kok.
Tapi Bli Popo kan dekat dengan orang pemerintah. Pernah gak ngobrol hal semacam ini ke mereka?
Mmmmm… kita senang mendiskusikan. Cuma saya jujur takut melakukannya. Takut saya yang salah lalu dijudge sebagai manusia aneh. Saya follow the flow saja. Menjadi hero itu mungkin baik. Tapi jadi hero dengan mencelakakan diri itu tidak baik.
Pernah tidak teman-teman komunitas arsitek mendiskusikan seperti itu?
Pembicaraan yang serius, saya kira tidak ada. Kala seremonial banyak. Jujur saja saya juga takut mencampuri rumah tangga orang lain. Pada akhirnya yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki dapur kita.
Tapi Bli juga aktif kan di diskusi kelompok kritis?
Oh ya. Saya kan merasa harus ada ungkapan syukur dari diri kita karena ada hal-hal baik yang bisa kita lakukan. Saya merasa sudah mendapatkan lebih dari teman-teman sehingga harus memberikan kontribusi. Seperti Danes Art Veranda, misalnya, saya tak menyangka akan jadi sesibuk itu. Dulu cuma ingin memberikan tempat tapi sekarang sepertinya jadi cultural space yang paling sibuk di Denpasar.
Dan saya juga belajar banyak. Sekarang saya agak membatasi. Pertama saya tak mau ada acara dengan sponsor di sini. Kadang-kadang ada yang kasih duit satu juta sudah merasa membeli kepala kita. Pasang umbul-umbul di mana-mana.
Teman-teman seniman, bedah buku, press conference. Kita happy untuk adakan di sini. Kalau Sabtu Minggu juga ada kelas menari. Kebetulan istri saya juga suka menari. Jadi banyak yang belajar menari di sini. Kalau kita memberikan kontribusi budaya tak harus resmi, ada press release dan semacamnya.
Sekarang saya juga banyak melakukan kegiatan heritage kayak menginventaris barang-barang bersejarah. Banyak benda-benda bersejarah yang dijualin. Kayak pura-pura di Bali Utara, itu saya suka ukiran-ukirannya. Tapi begitu ada sumbangan, langsung diganti. Barangnya dijual. Jadilah saya yang kemudian membeli untuk melestarikan.
Untuk bangunan tua sepertinya tak banyak yang peduli di Bali?
Tidak banyak yang peduli. Begini. Ada pemahaman tentang pelestarian bangunan di Bali. Kalau di Bali, bangunan itu kan bisa dipralina. Jadi yang dilestarikan itu keahliannya. Kalau anakmu sudah bisa bangun candi bentar sudah bisa bangun meru, berarti itu sudah pelestariannya. Meru yang lama sudah bisa diganti. Dan orang Bali kan selalu suka dengan sesuatu yang anyar. Setiap hari kita kehilangan sesuatu yang dari masa lampau. Misalnya bale kulkul yang semula jadi landmark begitu puranya punya saldo dia langsung diubah. Kita kehilangan sejarah hampir tiap hari. Tapi cara membahas ini dengan siapa.
Bangunan tua ala Belanda sepertinya tak dilestarikan juga?
Yang saya sedih itu di Singaraja (bekas ibukota provinsi Nusa Kecil pada zaman Belanda). Saya sempat bersitegang ketika kantor Bea dan Cukai di sana dibongkar begitu saja. Dan bangunan baru itu kualitasnya selalu lebih jelek daripada yang lama. Tidak ada yang berkualitas.
Dan tidak ada yang bersuara untuk melawan itu?
Ya. karena di sini rumah tangga kita terlalu kecil. Kalau saya yang bersuara nanti saudara saya yang punya. Itu akan dianggap mengusik periuk nasinya dia. Yang kita lakukan itu dilakukan di tingkat personal. Kalau saya melakukan itu memang siapa yang membackup saya. Tidak ada. Jadi single fighter. Dimusuhi ya, dimusuhi sendirian.
Sekarang saya sangat melihat karena masih bisa dimanaje arsitektur di Bali utara, jadi sedikit demi sedikit kita mulai bina mereka. Kasih proyek. Kasih kesempatan. Biar bertahan gaya-gaya seperti itu. Biar tidak ada pengaburan arsitektur di Bali. Tiba-tiba di Buleleng ada gaya kayak Gianyar. Di Klungkung ada gaya Karangasem. Padahal tiap daerah punya karakter masing-masing. Apa yang kita pasang itu harus appropriate.
Dengan segala pencapaian sekarang, apa lagi yang Bli Popo cari?
Saya bersyukur sekarang dipercaya sebagai Ketua Komite BTDC sehingga paling tidak bisa berkontribusi melakukan review terhadap bangunan-bangunan yang akan dibangun di sana. Membantu mengarahkan. Termasuk di sana kan menjaga aturan-aturan bangunan. Saya suka di Nusa Dua, terutama kawasan BTDC, masih ada kontrol. Saya di BTDC melakukan itu.
Banyak hal yang kita ingin lakukan. Kayak di bidang arsitek kan ada AUB3 (Architecture Under Big 3, diskusi tentang arsitektur bersama arsitektur muda). Itu hal-hal simpel. Anak-anak bisa sharing. Mereka belajar misalnya disiplin waktu jam 7 sudah datang jam 7.30 harus sudah dimulai. No matter what. Jam 9 harus sudah selesai. Jam 10 releasenya harus disebar. Itu hal-hal simpel.
Sekarang juga ada leadership training. Saya kan begini melihat anak-anak muda sering kali tak punya visi. Dalam arti memang semua orang butuh membangun ekonominya tapi mereka terlalu cepat tertarik pada hal yang membelokkan mereka. Arsitek-arsitek muda sedikit sekali yang tekun mendalami profesi sebagai arsitek. Mereka lebih tertarik menjadi developer, jual tanah. Setelah itu jadi businessman.
Karena kita memang tak ada back up dari pemerintah. Sehingga semua profesi harus mencari tambahan lain. Mungkin ada arsitek yang juga jualan pulsa. Ada dosen yang sambil MLM (multi level marketing). Ada yang harus buka warung. Itu sayang. Mudah-mudahan tak ada yang tersinggung karena omongan ini, tapi kita sedikit punya profesional yang berkualitas. [b]
Versi lebih pendek dalam Bahasa Inggris dimuat The Jakarta Post.
Pak popo ini bener banget. Sudah terlalu liar dan bebas orang kita. Jadi ngeri sendiri 🙁