Bali baru saja merampungkan pemilihan gubernur.
Pemilahan kepala daerah (Pemilukada) kali ini untuk memilih pasangan Gubernur dan Wakilnya periode 2013-2018. Proses pemungutan suara, penghitungan, dan pengumuman pemenang sudah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Bali.
Secara umum, pemilukada Bali berlangsung dengan lancar dan aman. Perbedaan jumlah suara yang sangat kecil (o,o4 persen) meamng cukup “memanaskan” suhu politik Bali. Syukurnya pihak-pihak yang terlibat memilih menggunakan mekanisme hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pemilu.
Sosial media (Facebook dan Twitter) masih menjadi ajang adu argumen dan opini pendukung masing-masing pasangan calon dalam pilkada Bali. Memang tidak sepanas dan segencar ketika masa kampanye, namun masih cukup menarik untuk disimak.
Misalnya dalam Facebook Group Metro Bali yang hingga tulisan ini dibuat memiliki anggota 4.298 akun Facebook. Diskusi teratas masih mengenai hitung ulang hasil pilkada Bali dan seputar kekalahan PDI Perjuangan dalam pilkada Bali 2013.
Sosial Media dan teknologi informasi memang sudah digunakan sebagai salah satu media kampanye dalam pilkada Bali 2013 selain media konvensional seperti TV, Radio, dan Baliho. Tim sukses dan pendukung pasangan Pastikerta (No. 2) menggunakan Facebook Group Forbara serta beberapa akun profil Facebook atas nama Made Mangku Pastika serta Facebook Page PastiKerta Bali.
Pasangan Pasti-Kerta juga memiliki akun Youtube dan twitter. Dengan mudah bisa kita temukan dengan menggunakan fitur pancari (search) dengan kata kunci “pastikerta”. Kita juga dapat mencarinya untuk pasangan PAS (Puspayoga-Sukrawan No. 1). Ada beberapa profil Facebook, Facebook Page/halaman, akun youtube dan akun twitter (@semetonpuspayoga).
Akun-akun sosial media tersebut digunakan untuk mengampanyekan pasangan calon dalam meraih dukungan dan memenangkan pemilukada Bali 2013. Penjabaran misi, visi, dan program para calon ‘diumbar’ oleh pengelola akun-akun tersebut yang merupakan pendukung atau tim sukses masing-masing calon.
Tak jarang debat dan diskusi yang terjadi di sosial media tersebut sangat kontraproduktif baik bagi pasangan calon dan calon pemilih. Misalnya, tim sukses yang menghilang dan tidak melanjutkan diskusi ketika ada yang bertanya tentang data dan teknis sebuah persoalan, atau menjawab secara normatif seperti jawaban pejabat pada umumnya. 🙂
Melihat fitur dan fungsi sosial media sebenarnya bisa dimanfaatkan lebih dari sekadar kampanye pilkada. Akun-akun yang sudah ada tersebut bisa digunakan oleh pasangan terpilih maupun yang kalah untuk menjaring aspirasi dan komunikasi lebih efektif dengan masyarakat. Penyampaian program (sosialisasi) akan lebih mudah dan murah.
Pengawasan jalannya program pemerintah juga lebih mudah, karena masyarakat dapat langsug melaporkan dari lapangan. Tinggal membuat mekanisme dan strategi pengelolaan yang lebih baik. Semoga saja akun-akun tersebut tidak segera mati suri setelah masa pilkada berakhir dengan dilantiknya pasangan Gubernur Bali nantinya. Mari kita pantau bersama.
Aits, tulisan ini belum selesai. :p
Menengok salah satu facebook group yang juga saya ikuti yaitu Tabanan Lover (Talov) diskusi dalam group ini sudah sedikit lebih maju dan meninggalkan hiruk pikuk pilkada Bali. Topik yang menjadi perbincangan hangat adalah deklarasi dan perumusan visi,misi bakal calon Bupati Tabanan oleh seorang anggota group Gusti Sumardayasa.
Menururt saya menjadi menarik karena beberapa hal.
Pertama, pendeklarasian akan menggunakan jalur independen (non parpol) dalam pemilukada Tabanan. Akan sangat menarik jika wacana ini benar-benar bisa diwujudkan mengingat dominasi parpol dalam perebutan jabatan kepala daerah khususnya di Bali. Sebagai pribadi, saya sangat prihatin dengan kondisi dan sistem parpol di Indonesia khususnya Bali.
Kedua, Pemilukada Tabanan akan berlangsung 2015 atau sekitar dua tahun lagi. Waktu yang cukup utuk mulai menyusun visi, misi, dan strategi untuk ‘pertarungan’ politik.
Ketiga, menggunakan sosial media sebagai media komunikasi awal sehingga kesan setara antar anggota menjadi sisi positif untuk mengajukan pertanyaan, kritik, dan saran terkait visi, misi, dan program. Penelusuran rekam jejak dan pembangunan jaringan pendukung juga lebih mudah dengan sosial media.
Keempat, dari diskusi yang terbangun, bisa menjadi pembelajaran politik bersama bagi para anggota, mengingat pendidikan politik belum menjadi mata pelajaran wajib di sekolah. 🙂
Fenomena penggunaan sosial media untuk kampanye sudah selayaknya menjadi pilihan jika ingin maju menjadi politisi baik itu anggota legislatif maupun kepala daearah. Dengan sosial media biaya kampanye bisa lebih murah, komunikasi banyak arah, lintas generasi, dan wilayah.
Untuk para caleg dan DPD yang akan maju pada pemilu 2014 sudahkan Anda memiliki, mengelola, dan mengoptimalkan sosial media? [b]
Banyak akun twitter dan facebook. Cuma sayangnya tidak ada satu pun yang merupakan offical account dari calon pemimpin kita. Semuanya lebih memilih untuk menyerahkan semuanya kepada tim sukses.
Coba perhatikan setelah pilkada ini, apakah akun itu masih aktif atau tidak? Saya berani bilang tidak. Karena kepentingan mereka hanya sesaat saja.
Pemilih sekarang sudah mulai cerdas. Mereka lebih melihat profil ketimbang kekuasaan partai. Maka dari itu penguatan profil dengan menggunakan media sosial sangatlah penting. Kalau dalam istilah marketing itu namanya Netizen Brand.
Netizen Brand adalah sebuah strategi marketing yang berupa gerakan membangun kepercayaan terhadap sebuah brand atau profile secara horizontal. Masyarakatlah yang menilai mana yang baik dan mana yang benar.
Mengenai pencaloanan ji Gusti Sumardayasa, Jika Anda memang serius, bentuklah tim. Gali semua potensi permasalahan di Tabanan, dan cari jalan keluarnya. Bentuk opini dan jalur keluar dari permasalahan tersebut.
Hidup Tabanan MUDA, Mulai Dari Anda 🙂
lebih seru debat di sosial media ketimbang debat kandidat.. kikik
Dalam budaya timur (entah, apakah memang benar ada budaya timur atau barat), munculnya kepemimpinan itu adalah kehendak dari yang akan dipimpin. Cara “menjual diri”, atau menawar-nawarkan diri agar dipilih menjadi pemimpin, bisa saja justru menimbulkan resistensi.
Dalam budaya jawa dikenal “rumangsa bisa dan bisa rumangsa”. Disarankan seorang calon pemimpin jangan rumangsa bisa, tetapi jadilah sosok yang bisa rumangsa. Artinya jangan menyebut diri pantas menjadi pemimpin, namun biarlah mereka yang akan dipimpin yang menyebut diri sebagai pemimpin.
Demokrasi sendiri lahir dari peradaban barat, dimana nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan individu itu benar adanya. Artinya demokrasi itu lahir dari budaya dimana ke-independenan (merdeka) individu sudah terjadi. Demokrasi tumbuh baik dalam iklim dimana ia dilahirkan. Sementara pada masyarakat yang budaya patronase nya kuat, sulit membangun ke-independenan individu karena selalu terdapat ketergantungan (entah pada sosok pemimpin formal/informal atau keguyuban/di Bali di kenal dengan suryak siu). Akibatnya adalah demokrasi memiliki kecenderungan bukan memilih sosok terbaik, tetapi sosok yang justru melawan kehendak bersama untuk hidup sejahtera. Dalam praktiknya, demokrasi seperti di Indonesia menjadi ajang memilih koruptor atau pembela kepentingan diri pribadi dan kelompok.
Media sosial dalam jaringan internet adalah hasil dari kemajuan teknologi. Ia adalah bagian dari modernitas. Tetapi apakah media sosial ini membuat yang terlibat didalamnya menjadi rasional? belum tentu. Karena media sosial hanyalah alat, tetapi manusianya akan tetap tertancap pada budayanya. artinya alat yang dipakai boleh saja modern, tetapi isinya akan tetap saja terjebak pola-pola lama. Coba saja simak isi diskusi politik di media sosial. Hanya beberapa saja yang cerdas. Sebagian besar masih sibuk menghujat, memaki, dan tidak rasional.
Semoga pilkada, pilgub, pemilu, pilpres kedepannya lebih banyak memaksimalkan media internet seperti web, fb, twitter serta meminimais spanduk / baliho dijalanan. Juga mendukung @Wahya Biantara agar yang memiliki account tersebut adalah yang bersangkutan sehingga jika menang nantinya bisa melanjutkan apa yang telah dijanjikan nya.
Bli winata: apa yang bli sampaikan saya hampir sepakat. namun dengan berkembangnya penguna dan penggunaan sosial media sudah mengkikis sedikit hambatan dalam berdemokrasi seperti “koh ngomong”. Walaupun omonganya tersebut belum keluar dari pola-pola lama seperti yang bli sampaikan.
Bagi saya, adalah peran-peran kita sebagai pengguna alat (media sosial) untuk menentukan arah dan manfaatnya. Saya bayangkan kedepan kita lebih mudah berkomunikasi dengan wakil rakyat dan pemerintah daerah (sampai tingkatan SKPD bukan hanya kepala daerah). Aspirasi terserap lebih cepat, laporan, pengawasa proyek langsung dari lapangan, dll.
Alangkah indahnya 🙂 *menghayal sambil nyiup kopi.
Bicara Politik bagi sebagian masyarakat kita memang masih merupakan hal yang agak tabu, dipercaya atau tidak namun demikianlah kenyataannya. Social Media memang merupakan salah satu media pencerahan melalui diskusi yang ringan, interaktif, dan komunikatif dan dapat diikuti oleh pemilik akun (siapapun) .
Berkenaan dengan calon pemimpin yang menggunakan social media, memang sebaiknya harus pandai-pandai memanfaatkannya karena meskipun terkesan santai, namun ini justru pisau yang sangat tajam. Hemat saya, sangat disarankan agar pemimpin memiliki satu akun resmi untuk menghindari duplikasi hingga penyalahgunaan nama akun. Seperti yang kemarin saya perhatikan, tak sedikit yang mengaku team sukses namun proses komunikasinya tidak elegan. Contoh lain seorang pengacara dari partai X yang berbicara rasis hingga akhirnya mengalami kasus hukum. Tentu hal seperti ini dapat meruntuhkan citra dari pihak yang diusung.
Fenomena lain yang kita bisa lihat saat ini, mereka yang hendak mencalonkan diri, mereka yang telah memimpin, juga tidak sedikit yang “Koh Ngomong” di sosial media. Tidak salah..sama sekali tidak, karena untuk berani hadir di social media sangat dibutuhkan keberanian dan konsistensi, karena pencitraan, sisi manusiawi, dan segala aspeknya akan dengan lugas dibahas oleh siapa saja yang terhubung.
Jadi ketika memutuskan untuk menggunakan sosial media dalam berjualan maka yakinkan dahulu strategi yang ingin digunakan ; karena ketika informasi dan komunikasi sudah mencapai ranah media maka isu adil (fairness) dan faktual (factual) dan kejujuran sudah menjadi titik sentral yang tidak bisa ditawar.
#IMHO
Bagus atau tidaknya calon juga bisa dilihat dari bagaimana mereka mengelola akun2 jejaring sosial itu. Apakah hanya aktif sesaat jelang pemilihan atau dari jauh waktu dan terus aktif walaupun pemilihan sudah lewat.
Mendebat para calon untuk maju dalam pilgub pemilukada atau apapun namanya,tak lebihnya seperti pembahasan kenaikan BBM, berbusa-busa. Entah sampai kapan hasilnya akan rampung dan melegakan.
Ya, mari berfeleksi seperti tulisan ini: kata-kita.com/?p=231