Secara pribadi, pilkada gubernur Bali kali ini cukup menarik.
Bukan karena kandidatnya, melainkan karena pada pemilihan kepala daerah (pilkada) kali ini, posisi masyarakat Buleleng dalam percaturan politik Bali pada posisi yang diperebutkan sekaligus dipertaruhkan.
Karakter masyarakat yang dikenal berwatak keras, bersuara lantang, keras tanpa tedeng aling-aling, to the point, tanpa basa-basi kini suaranya diperebutkan untuk memperkuat “koor” bagi kemenangan para kandidat. Stereotipe ini mirip-mirip orang Batak-lah. Masyarakat Buleleng, tak masalah disebut semacam masyarakat dari ras K9 : buldog (buleleng dogen), pitbull (pemuda intelek Buleleng).
Seruan “Cicing Nani!” (Anjing, Kau!) pun bukan masalah. Itu adalah bentuk bahasa cinta, persahabatan dan solidaritas.
Mengapa orang Buleleng menjadi penting dalam politik pilkada gubernur Bali? Ya, karena suara lantang mereka! Karena mereka begitu tegas meneriakkan sesuatu tanpa selubung.
Namun di sisi lain, suara kasar yang langsung meluncur bebas tanpa selubung dan rahasia ini juga seringkali menjadikan kehadiran orang Buleleng kurng disukai untuk memimpin kaum priyayi yang membutuhkan etika, sopan santun, kelemahlembutan, dan rasa hormat dan tata krama semacam itu. Persoalan karakter budaya yang normatif ternyata bukan persoalan sepele!
Mungkin itu sebabnya koalisi Gubernur dan Wakil Gubernur yang lalu menemui kegagalan. Sehingga, kebutuhan akan kehadiran kaum aristokrat Buleleng dibutuhkan dan kini telah hadir untuk mengimbangi komunikasi bangsawan Denpasar.
Saya berharap komunikasi ini berlangsung baik-baik saja. Semoga koalisi partai dan koalisi puri ini menjadi medan kuasa yang benar-benar solid.
Pilkada kali ini faktanya memang memperebutkan kuasa-kuasa Buleleng dan menyisakan kecemasan karena beredar rumor di masyarakat akan terjadi semacam ‘makar’ jika salah satu kandidat menang. Rumor ini sudah beredar sejak sebulan lalu. Saya tidak cemas dengan rumor ini melainkan, saya cemas dengan politik adu jangkrik yang mungkin terjadi sebagai ekses dari kampanye politik.??Buleleng, diperebutkan bukanlah tanpa alasan.
Buleleng, kota panas yang sewaktu-waktu menjadi magma panas dan repetisi sejarah kekerasan Politik 65 (gestok) yang menghancurkan persaudaraan, solidaritas masyarakat Buleleng hendaknya tidak terjadi karena ‘isu kerusuhan’ dan intimidasi yang mengulik-ngulik kuping kaum muda Buleleng.
Buleleng yang keras, tampak ringkih dan selalu mudah untuk disulut bara-bara politik dan menjadi instrumen penting untuk menekan lawan-lawan politik.
Padahal, siapapun gubernur dan wakil gubernurnya, belum tentu berhasil menurunkan harga minyak, listrik, dan kebutuhan masyarakat. Semuanya tergantung dari sistem politik yang lebih luas. yang penting gunakan hak suara dengan baik untuk memilih dan untuk tidak memilih sesuai dengan asas demokrasi.
Kehancuran kehidupan tidaklah diperlukan untuk kampanye pilkada, sebab kehidupan ini masih panjang dan bermakna.
Harapan saya, Buleleng tetap waspada agar tidak mudah diadu jangkrik dalam pilkada agar tidak lagi terjadi repetisi kekerasan politik yang merenggut seluruh napas kehidupan.
Mari jaga Buleleng tetap damai. [b]
Masyarakat buleleng sekarang sudah pintar2.. Karena sudah pintar2 mereka juga pasti akan memilih gubernur yang pintar.. Yang belog mah lewat..
Masyarakat buleleng mentalnya kuat.. Karena mentalnya kuat mereka juga akan memilih gubernur yang pemberani.. Yang ga berani dateng debat mah kelaut aja..
Apakah sudah to the point?