Robert Lemelson memotret praktik poligami di Bali dalam film Bitter Honey.
Fillm tersebut kini diputar di Amerika Serikat dan memicu diskusi di Bali. Menurut para aktivis perempuan UU Perkawinan harus diubah agar pria tak bisa mudah poligami.
Lemelson menuturkan dengan runut alasan dan apa yang terjadi dalam pernikahan poligami. Antropolog dan pembuat film ini tak berniat mengarahkan penonton ke kesimpulan anti poligami.
Bahkan, di kisah pemeran pertama, Made Darma yang beristri lima, malah terlihat pria berbadan kekar ini seperti cowboy. Diperlihatkan Darma dilayani istri-istrinya dengan bangga dan memegang kendali dalam keluarga ini.
Film ini membagi narasinya menjadi empat angle. Pertama power. Bagaimana pelaku poligami menggunakan kekuatannya baik kekayaan, status sosial, dan amarah menjadi salah satu alat kontrol.
Misalnya pemeran poligamus berikutnya Sang Putu Tuaji. Pria tua beristri 10, dan lima di antaranya masih hidup. Pria ini dikenal sebagai tokoh anti komunis saat terjadi pembantaian massal pada tahun 1960-an.
“Orang tua saya punya power, dilirik saja harus mau apalagi diminta. Istri trakhir adik kelas saya,” ujar salah satu anak laki-lakinya dalam satu scene film ini. Selain karena terkenal menakutkan, Tuaji juga sering meminjamkan uang pada warga misalnya untuk biaya upacara.
Lima istrinya yang masih hidup mengaku sudah bisa hidup dimadu. Dua orang di antaranya malah bersaudara kandung.
Babak kedua adalah tentang kekerasan. Bagian ini paling banyak disorot di dua pemeran poligami yakni I Wayan Sadra dan Darma. Bahkan ada adegan mediasi yang dilakukan Agung Alit, bos Sadra dan Luh Putu Anggreni, pengacara dan aktivis perempuan. Mediasi agar aktivitas kekerasan dalam rumah tangga ini bisa dihentikan.
Anggreni mengatakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memang difokuskan pada mediasi. “Kekerasan domestik juga tinggi di bali. Hubungan pria dan wanita masih terjadi ketimpangan,” kata perempuan ini.
Dalam adegan di film ini, pada Sadra, Anggreni mengingatkan kekerasan domestik kini sudah masuk ruang publik. Kekerasan tak hanya fisik juga penelantaran seperti tercantum dalam UU KDRT.
“Poligami ini seperti sekadar bermain tak sesuai asas keadilan dalam UU. Memang ada 3 alasan hukum suami bisa poligami seperti memiliki penyakit tertentu dan tidak bisa punya anak. Tapi ini tidak adil sebagai alasan. UU Perwakinan ini sudah sangat tak adil dan diskriminatif pada perempuan,” paparnya.
Anak laki-laki Sadra juga diminta pendapat mengenai kekerasan oleh bapaknya. “Pengen pegang tangannya saat mukul,” kata Komang pasrah.
“Saya merasa diri saya kasar. Nanti kalau saya mati biarkan mati di bale sendiri,” isak Sadra bergetar.
Babak ketiga adalah tentang anak-anak. Adegan pembukanya adalah ketika Darma diminta mengenalkan, mungkin ada sekitar 8 anak di bawah 15 tahun di sebuah pantai di Gianyar. Darma bertanya pada 2-3 anak karena lupa namanya.
Darma yang penghasilannya dari penyedia jasa keamanan dan judi tajen mengaku berpoligami adalah takdirnya. Merujuk pada bapaknya yang beristri empat.
Beberapa anak Darma mengaku malu. “Tidak mau seperti bapak. Untung istrinya semua kerja. Tapi saya senang melali sama bapak, diajak ke tajen punya banyak teman dan pengalaman,” kata salah seorang anak laki-laki.
Kadek, anak laki-laki pertama Darma juga mengaku pernah punya pengalaman buruk mendapat stigma karena bapaknya punya banyak istri. “Dikira saya juga demen memitra (senang berselingkuh),” katanya.
Angle berikutnya adalah tentang ketabahan dan kebebasan.
Diperlihatkan perasaan para istri melewati suka dan duka ini. Hanya ada satu istri yang memilih berpisah yakni istri pertama Darma. Ketika menikah, Darma nyentana atau ikut keluarga istrinya ini.
“Tidak mau anak perempuan saya seperti saya. Ubah keturunanmu saya tahu betapa sakitnya dimadu,” kata salah seorang istri. “Pernah ingin pulang tapi tak berani cerai karena kasihan anak. Di rumah juga diejek nanti. Status biar tetap dipertahankan,” sebut yang lainnya.
“Women lost if women get divorced, they lost everyhing children, inheritance, all belong to the husband,” sebut Degung Santikarma, antropolog dan salah satu pewawancara di film ini.
Menurut pria dosen di Amerika ini, stigma janda adalah pengganggu kehidupan rumah tangga. Itu status buruk tak hanya di Bali. “Ini masalah kompleks seperti prostitute demi nama baik keluarga dan nama baiknya sendiri. Bisa disebut heroic act dalam beberapa hal,” tambahnya lagi tentang kondisi istri yang dimadu.
Anggreni mengatakan poligami harus dihapus dan UU Perkawinan direvisi. Pimpinan adat menurutnya bisa menolak menandatangani persetujuan nikah.
Anggreni mengatakan poligami harus dihapus dan UU Perkawinan direvisi. Pimpinan adat menurutnya bisa menolak menandatangani persetujuan nikah. “Prajuru tidak bisa menikahkan, kalau tanpa izin istri (untuk kawin lagi) bisa diproses hukum,” ingatnya.
Aspek perlawanan perempuan memang belum nampak dalam film ini. Para istri hanya menyampaikan perasaan terluka. Padahal di beberapa kasus ada perlawanan terhadap poligami seperti menolak kawin, dan lainnya.
Awalnya para istri terekam dengan wajah sumringah. Mereka seolah senang dinikahi suaminya. Kemudian di sisa waktu akhir wajah-wajah ini berubah pedih, sakit hati, dan geram. “Dia nikah lagi saat bayi saya baru berumur 11 hari,” ujar Suciati, istri ke-5 Made Darma.
Sementara Suliasih dan Rasti, istri kedua dan ketiga malah shock ketika bertemu dan harus menikah dengan calon pria yang sama.
Ninik S. Mahar dari Field Manager Indonesia Elemental Production yang membuat film ini menyebut kekuatan yang ditampilkan para istri luar biasa. “Awalnya kami ingin membuat film tentang perempuan korban kekerasan 98 tapi terhambat subjek,” katanya saat diskusi film yang difasilitasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Bali. Kemudian memilih topik tentang perempuan Bali karena sejak 96, sutradaranya Robert Lemelson berkarya di Bali.
Film ini dikerjakan hampir 7 tahun oleh tim lokal di Bali dan Los Angeles. “Film ini ditonton di Amerika untuk penggalian dana dan disumbangkan untuk organisasi di Bali,” tambah Ninik. Menurutnya ini bukan kampanye anti poligami hanya alat untuk perubahan lebih baik. “Biar lebih sensitif pada isu perempuan dan anak,” jelasnya.
Ni Nengah Budawati dari LBH APIK Bali mengatakan film ini sudah diperlihatkan pada mahasiswa dan tokoh masyarakat di Bali. Salah satunya sebagai penyadaran untuk menghentikan lingkaran kekerasan dampak pernikahan poligami.
Trailer dan detail lain di bitterhoneyfilm.com. [b]
Comments 5