Oleh: Khairullah Thofu
Pengabdi Bantuan Hukum YLBHI-LBH BALI
Indonesia hanya memiliki 3% cadangan batubara dunia, namun eksplorasi batubara terus menerus dilakukan. Saat ini Indonesia merupakan negara nomor satu pengekspor batubara di dunia. Ironisnya sekitar 20% rakyat Indonesia belum akses terhadap listrik dari negara. Mereka adalah rakyat Indonesia yang tinggal di pedalaman, tempat-tempat terpencil dan ratusan pulau pulau kecil di pelosok nusantara.
Batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO3, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi partikel halus (PM2.5). Masyarakat ilmiah dan medis juga telah mengungkapkan bahaya kesehatan akibat PM2.5 dari emisi udara tersebut. PLTU Batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen. Jelas sangat berbahaya bagi kelanjutan kehidupan masyarakat dan lingkungan, akan tetapi Indonesia justru menargetkan pembangunan PLTU secara besar-besaran untuk memenuhi target pasokan energi listrik sebesar 35 ribu MW pada tahun 2019.
Sementara itu, dengan dampak besar lingkungan yang dihasilkan oleh pembakaran batubara untuk energi listrik bertentangan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH), di dalamnya telah diatur dengan jelas bahwa pembangunan tidak boleh mementingkan kepentingan investor semata. Pembangunan juga wajib mempertimbangkan kehidupan sosial masyarakat, flora dan fauna karena itu sangat berkaitan dengan kelangsungan sebuah kehidupan
Pemerintah daerah Provinsi Bali mengklaim diri sebagai daerah clean and green namun melaksanakan pembangunan PLTU di Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng yang telah dan akan dilaksanakan dalam tiga tahap. Kapasitas Tahap I 1 x 380 dan rencana awal Tahap II sebesar 190 MW tapi di tambah kapasitasnya menjadi 2 x330[1] serta masih terdapat kemungkinan penambahan kapasitas.
Bali merupakan tujuan pariwisata dengan karakteristik pariwisata budaya dan alam, seiring dengan fakta itu, pemerintah daerah sebaiknya mempertimbangkan kondisi alam Bali dalam setiap pembangunan. Seperti yang diatur dalam Permen LH No. 5 tahun 2012 tentang jenis rencana usaha atau kegiatan yang wajib Memiliki AMDAL, pembangunan pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan dasar batubara wajib memiliki AMDAL. Dan dalam proses AMDAL tersebut peran serta masyarakat sangat penting mualai dari proses konsultasi publik hingga diterbitkannya izin lingkungan masyarakat harus mengetahui secara jelas mengenai penerbitan dan tujuan dari setiap bentuk usaha yang akan di laksanakan di wilayah mereka[2], hal ini untuk meminimalisir terjadi nya cacat proseduran dan penyalahgunaan pemanfaatan lingkungan oleh segelintir orang hanya di dasarkan terhadap kepentingan ekonomi pribadi semata, dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk mengkontrol mengawasi dari awal setiap rencana usaha karena lingkungan merupakan Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan akses lingkungan bersih,sehat dan nyaman[3]
Saat ini selain di Bali, di Indonesia terdapat puluhan PLTU Batubara tersebar dan beroperasi di Indonesia, melepaskan jutaan ton polusi setiap tahunnya. Dari waktu ke waktu PLTU tersebut mengotori udara kita dengan polutan beracun, termasuk merkuri, timbal, arsenik, kadmium dan partikel halus namun beracun, yang telah menyusup ke dalam paru-paru masyarakat.
Seperti judul di atas, pembangkit listrik dengan bahan dasar batubara sebenarnya mengalami persoalan mulai hulu hingga hilir, dari proses pertambangan sampai pada proses pemindahan PLTU dari kapal dan pengolahannya sehingga menjadi energi listrik.
HULU
Pembebasan lahan menjadi persoalan seiring dengan intensifnya pembangunan batubara secara nasional. Dalam kebijakan percepatan pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah hari ini, Pembangunan PLTU menjadi prioritas untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi dan investasi asing ke Indonesia. Sehingga pemerintah kemudian mendorong UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum digunakan dalam pembangunan PLTU ini dengan skema campur tangan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dalam hal ini adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pemasok tunggal kebutuhan listrik nasional, dan dalam Inpres Nomor 6 tahun 2013 energi listrik termasuk dalam kategori pembangunan, untuk itu artinya pengadaan tanah bisa didorong guna pembebasan lahan dalam setiap pembangunan PLTU yang sangat merugikan masyarakat. Sehingga kemudian terjadi konflik dan gelombang penolakan dari masyarakat atas pembangunan PLTU yang dikarenakan masyarakat merasa dirugikan oleh pembahasan lahan tersebut meskipun terdapat ganti rugi.
Bila kita telaah kembali, ganti rugi tersebut tidak menyelesaikan persoalan dan kelangsungan kehidupan bagi masyarakat yang notabene adalah petani maupun nelayan. Selain itu, pembangunan PLTU membutuhkan sumber air yang begitu banyak sehingga dibangun berdekatan dengan pantai dan mengakibatkan kerusakan ekosistem laut serta pengolahan limbahnya akan menimbulkan dampak kerugian secara ekonomi kepada masyarakat nelayan, misalnya seperti yang terlah terjadi di PLTU Jepara.
Proses pertamabangan batubara atau eksplorasi batubara di banyak daerah mengalami dampak yang luar biasa misalnya di Kalimantan, penambangan batubara menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap tanah, sumber air, udara dan juga membahayakan kesehatan, keamanan dan penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pertambangan. Menurut studi yang dilakukan Yayasan Hijau Damai Indonesia atau dikenal sebagai Greenpeace Indonesia pada 2014 lalu, sepanjang 3000 km atau sebanyak 45% sungai di Kalimantan Selatan berpotensi tercemar limbah berbahaya dari konsesi tambang. Belum lagi bekas tanah pertambangan tidak bisa lagi difungsikan kegunaannya baik untuk pertanian dan perkebunan karena kualitas tanah sudah tidak lagi produktif untuk dilakukan kegiatan tersebut, dan aliran sungai yang tercemar tesebut sangat berbahaya karena tingkat keasaman air di daerah konsesi lahan pertambangan sangat tinggi, artinya tidak bisa dijadikan konsumsi sehari-hari termasuk pengairan lahan pertanian.
HILIR
Proses pemindahan batubara dari kapal tongkang melalui jety itu seringkali menimbulkan dampak lingkungan terutama banyak batubara yang berjatuhan ke laut dan sangat mengganggu kehidupan ekosistem laut, dengan kandungan batubara yang berbahaya, pada saat proses beroperasi PLTU di berbagai daerah menimbulkan kebisingan dan mengganggu kehidupan masyarakat meskipun dalam peraturan radius area PLTU dan pemukiman warga adalah sejauh 5 km, akan tetapi asam yang ditimbulkan dari produksi batubara itu sendiri berbahaya karena mengikuti arah angin.
Polusi udara adalah pembunuh senyap, menyebabkan 3 juta kematian dini (premature death) di seluruh dunia, dimana pembakaran Batubara adalah salah satu kontributor terbesar polusi ini. Polusi udara menyebabkan peningkatan risiko kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harvard Univerity tentang dampak polusi udara PLTU Batubara di Indonesia terhadap kesehatan. Hasil penelitian mengungkap angka estimasi kematian dini akibat PLTU Batubara yang saat ini sudah beroperasi, mencapai sekitar 6.500 jiwa/tahun di Indonesia. Penelitian serupa juga dilakukan di berbagai negara Asia lainnya.
PLTU Batubara adalah mesin penebar maut, PLTU mengeluarkan polusi yang membunuh, meracuni udara, menyebabkan gangguan kesehatan dan kerugian yang luas untuk pertanian, perikanan, lingkungan, dan perekonomian masyarakat. Partikel-partikel polutan yang sangat berbahaya tersebut, saat ini mengakibatkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa pertahun di Indonesia. menunjukkan penyebab utama dari kematian dini termasuk stroke (2.700), penyakit jantung iskemik (2.300), kanker paru-paru (300), penyakit paru obstruktif kronik (400), serta penyakit pernafasan dan kardiovaskular lainnya (800). Estimasi angka tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 15.700 jiwa pertahun seiring dengan rencana pembangunan PLTU Batubara baru.[4], Artinya persoalan Batubara ini memeiliki persoalaan yang komplek terhadap keberlanjutan banyak kehidupan di Provinsi Bali. Khususnya di wilayah Celukan Bawang Kabupaten Buleleng yang menjadi lokasi pembangunan PLTU, telah terjadi penurunan kualitas kehidupan masyarakat baik dalam aspek lingkungan sosial, ekonomi maupun kesehatan.
Sebagai wilayah yang secara geografis adalah wilayah celuk maka otomatis ikan menjadi sumber kehidupan di wilayah ini. Sebelum PLTU dibangun di wilayah ini ikan begitu melimpah, satu kelompok nelayan saja pada tahun 2012 saat PLTU masih dalam proses konstruksi mampu menghasilkan 29,297 ton dalam setahun meskipun menurut masyarakat nelayan saat itu sudah terjadi penurunan dibanding sebelum ada konstruksi PLTU Celukan Bawang. Ketika tahun 2015 awal PLTU Celukan Bawang beroperasi hasil tangkapan nelayan turun sangat drastis dan hanya menghasilkan tangkapan sebesar 2,722 ton[5], ketika hasil tangkapan menurun otomatis penghasilan warga yang notabene bergantung kepada laut dan perikanan akan semakin menurun artinya telah terjadi penurunan kualitas kehidupan masyarakat.
Belum lagi dalam aspek pertanian/perkebunan karena mayoritas pertanian ada pada perkebunan di wilayah tersebut yaitu perkebunan kelapa dan hasil catatan warga masyarakat yang memiliki perkebunan kelapa yang ada di tapak operasi PLTU Celukan Bawang yang biasanya dalam setahun bisa panen 4 sampai 6 kali sejak operasi PLTU menurun hanya dalam kisaran 2 kali panen dalam setahun. Di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit, persoalan berikut munculnya persoalan kesehatan masyarakat sekitar PLTU terutama anak-anak dan penduduk lanjut usia yang rentan sekali terkenak dampak ISPA yang diakibatkan udara yang kotor dari hasil produksi PLTU batubara. Karena kandungan yang hasil pemakaran batubara itu mengandung merkuri, timbal, arsenik, kadmium dan partikel halus namun beracun, yang sangat Berbahaya terhadap kesehatan masyarakat dalam sebulan warga bisa 6 kali untuk melakukan pemriksaan kesehatan akibat saluaran pernapasan dan ini menambah beban secara ekonomi kepada masyarakat, dengan sejumlah persoalan tersebut apakah pembangunan harus mengamini hak-hak dasar masyarakat untuk mendaptkan akses kesehatan itu, pengelolaan lingkungan seharusnya tidak hanya didasari atas aspek ekonomi saja sehingga pengelolaan lingkungan hanya menguntungkan segelintir kelompok akan tetapi harus mempertimbangkan ada struktur sosial yang sudah mapan yang tidak bisa dirusak hanya atas terminologi kepentingan ekonomi.
Lingkungan harus dibahas secara holistik tidak bisa parsial, karena di dalam lingkungan itu terdapat sendi-sendi kehidupan masyarakat secara luas, flora dan fauna, budaya, sumber penghidupan masyarakat secara umum yang tidak bisa dikorbankan, dan harus dijaga keberadaannya sampai antargenerasi untuk sebuah kehidupan yang berkelanjutan.
[1] AMDAL Tahap 1 dan Tahap II untuk Pembangunan PLTU Batubara di Celukan Bawang
[2] Permen LH no 17 tahun 2012 tentang pedoman keterlibatan masyarakat dalam analisis mengenai dampak lingkungan dan penerbitan izin lingkungan serta PP 27 Tahun 2012
[3] UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkupan Hidup
[4] Data Greenpeace Indonesia dan Harvard University
[5] Data Pendapatan Kelompok Nelayan