Deburan ombak mengisi keheningan malam di Celukan Bawang.
Satu per satu sampan dengan nyala lampu menepi. Mereka disambut beberapa rekannya yang kemudian membantu mendorong sampan hingga sampai ke atas pasir.
“Zonk… malam ini zonk.” Kalimat itu keluar dari nelayan yang selepas magrib telah mengisi pantai di Bali bagian utara itu.
Kalimat kekecewaan akibat tidak ada ikan bisa dijala. Tak ada rezeki untuk dibawa pulang setelah seharian tidak melaut akibat cuaca yang tidak bersahabat.
Malam semakin larut. Cahaya benderang di pantai pun perlahan padam. Menyisakan benderang pembangkit listrik yang masih sibuk memindahkan batubara dari kapal tongkang ke dalamnya.
Sementara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang terus memproduksi pundi-pundi rupiah, nelayan malam itu harus kembali pulang tanpa ikan yang bisa dijual.
Nelayan-nelayan ini seolah sedang terjepit di antara cuaca ekstrem yang membatasi ruang gerak mereka melaut dan ikan-ikan yang seolah enggan mampir ke pinggir semenjak keberadaan PLTU.
Sebuah tanda tiba-tiba muncul dari dua buah sampan yang beriringan ke timur. Keduanya menjauhi PLTU dan pantai tempat nelayan Celukan Bawang biasa menambatkan perahu. Tanda itu membuat sekelompok nelayan lain yang sedari tadi menunggu berlarian menuju sampan yang bergerak perlahan semakin ke timur. Mencari posisi strategis untuk memojokkan kerumunan ikan. Lalu mereka menariknya.
Aekitar sepuluh laki-laki masuk ke dalam air. Menerobos ombak yang malam itu cukup tinggi. Mereka mengerahkan tenaganya untuk menarik jala.
Jala terus ditarik di tengah gulungan ombak. Sampan yang sebelumnya menebar jalan perlahan menepi. Mematikan lampu dan ditarik ke pantai. Sementara sampan lain masih terang dengan cahaya lampu dari mesin diselnya. Berusaha menjaga keseimbangan agar tetap bisa mengarahkan ikan tidak keluar dari jala yang sudah ditarik.
Jala semakin menepi dan dibawa ke pantai. Sebuah blek (ember cat 16 kg) datang menghampiri. Ember itu menjadi alat ukur berapa jumlah ikan yang bisa mereka tangkap malam itu.
Tak ada yang tahu seberapa banyak dan apa isi jala. Ikan-ikan kecil yang berkilau terkena cahaya lampu di permukaan bisa jadi tidak sebanyak ketika mereka berenang bergerombol mendatangi dan mengikuti sumber cahaya. Susahnya jala ditarik bisa jadi akibat arus gelombang. Bukan karena penuh oleh ikan yang berhasil dijala.
Dengan harap-harap cemas sekelompok nelayan tersebut membuka jala. Gemerlap ikan terlihat memantulkan cahaya senter salah seorang nelayan. Tampak selah polo, cotek saling berhimpitan di antara lele pantai lebih mendominasi karena ukuran mereka yang besar.
“Ikan jelek semua..” Salah seorang nelayan yang telah basah kuyup oleh air laut berteriak. Kecewa.
Kekecewaan itu timbul setelah melihat jumlah ikan masuk ke dalam jala tidak seberapa. Nantinya ikan tersebut harus dibagi ke semua yang ikut menangkap. Kekecewaan yang timbul karena sedari pagi mereka belum berani melaut akibat cuaca yang sedang tidak bersahabat.
Ikan-ikan dari jala dipindah kedalam blek. Tidak penuh. Ikan yang oleh nelayan disebut lele pantai (lele laut) disingkirkan. “Hati-hati. Sengatannya bisa bikin pingsan,” kata salah seoarang nelayan mengingatkan rekannya.
Lele pantai nantinya dibuang. Selain tidak laku dijual juga berbahaya. Bisa menyengat pengunjung yang melewati senja dengan mandi di pantai Celukan Bawang.
Hanya selah polo dan cotek yang dibiarkan dalam blek. Salah seorang pemuda yang ikut menarik jala mencoba mengaduk-aduk blek. Mendapati beberapa ekor cumi dalam timbunan ikan. Lumayan mengobati rasa kecewa dan berhasil membuatnya sedikit tersenyum.
“Udah. Bagi aja.” Ivan, nelayan yang tadi menebar jala berkata.
“Tidak. Dijual saja untuk beli rokok,” rekannya mengusulkan.
“Bagikan saja,” Ivan menjawab usulan rekannya.
Jumlah tangkapan yang hanya satu blek serta jenis ikan yang bercampur membuat harganya jatuh dan tidak seberapa. Sementara jumlah anggota yang ngoncor cukup banyak. Jika dijual, uang yang dibagi pun tidak akan seberapa. Jadi menurut Ivan lebih baik dibagi ikan saja.
“Ini tidak ada hasil namanya. Kalau orang sini bilangnya aebean, artinya hanya cukup untuk mebe (lauk),” rekan Ivan yang malam itu ikut ngoncor menjawab ketika disinggung terkait tangkapan mereka malam itu.
“Dahulu sebelum ada ini (PLTU) bisa mencari ikan sampai ke sana (area PLTU).” Ivan menceritakan pengalamannya, asap rokok keluar dari bibirnya. Tatapannya jauh ke arah gemerlap PLTU yang kini berdiri, memaksa menjadi tetangganya.
Lelaki yang sejak kecil telah menggantungkan hidup dari hasil laut ini sangat merasakan dampak keberadaan PLTU. Ivan mengatakan kini dia dan rekan-rekan nelayannya harus berlayar lebih jauh untuk mendapatkan ikan. Kadang-kadang ada ikan mau ke pinggir, tetapi itu sangat jarang terjadi. Tidak sebanyak dahulu. Hanya sewaktu-waktu ada ikan yang mau kepinggir.
“Tidak seperti dulu, jika dulu sekalinya ikan ke pinggir bisa sampai harus dikeringkan,” lanjut Ivan.
Ikan-ikan kecil seperti selah polo, selah gerang, cotek dan bandrangan memang akrab dengan nelayan Celukan Bawang. Ikan-ikan yang ditangkap dengan cara ngoncor begitu melimpah. Bahkan para nelayan pernah merasakan hasil tangkapan hingga memenuhi tiga mobil pikap pengangkut ikan.
Ivan pernah harus mengeringkan ikan kecil hasil tangkapannya karena melebihi kebutuhan pasar.
Namun, sayangnya, jangankan kembali ke masa-masa ketika hasil tangkapan begitu melimpah hingga sampai harus dikeringkan, bisa mendapat beberapa blek ikan selah polo akan sangat berarti bagi nelayan Celukan Bawang. Harga ikan selah polo yang bisa mencapai Rp 700.000 per blek tentu sangat berarti bagi para nelayan. Terutama ketika mereka tidak bisa melaut lebih jauh akibat cuaca tidak bersahabat.
Sayang melimpahnya hasil laut bagi warga Celukan Bawang kini tinggal nostalgia romantis. Ikan-ikan kecil yang biasanya bisa didapatkan dengan mudah seolah melintas pun enggan.
Ivan dan rekan-rekan satu kelompoknya melangkah menyusuri pantai yang gelap. Membawa satu blek campuran ikan selah polo dan ikan cotek yang berhasil dijala. Kelompok mereka satu-satunya kelompok yang cukup sabar dan beruntung menemukan kerumunan ikan kecil. Nelayan lain telah pergi meninggalkan pantai Celukan Bawang. Pulang dengan kenyataan tak ada ikan bisa dioncor dan harapan semoga cuaca besok memungkinkan untuk melaut lebih jauh.
Matahari bersinar cukup terik walau hari belum berada di tengah. Angin bertiup kencang. Perahu-perahu tertambat dipantai. Hanya beberapa perahu tampak kecil di lautan. Kelabu muram.
Baidi sedang duduk di teras rumah. Dua ekor burung di sangkar masing-masing menggantung di atas teras.
“Cuaca masih ekstrem. Belum berani untuk melaut jauh ke tengah,” kata Baidi ketika ditanya apakah dia melaut dini hari tadi. “Hanya di pinggir saja mencari tongkol. Itu pun hanya dapat beberapa ekor,” lanjut ketua kelompok nelayan Bakti Kosgoro itu.
Lebih lanjut dia menceritakan. Ketika cuaca buruk seperti saat ini, nelayan tidak berani melaut terlalu jauh ke tengah. Kalaupun melaut paling hanya mencari ikan tongkol di pinggir. Keselamatan menjadi alasan utama nelayan. Gelombang dan angin kencang bisa saja menghantam mereka ketika memaksakan melaut lebih dalam.
Pada situasi seperti ini selain mencari tongkol yang juga tidak seberapa jumlahnya, ngoncor menjadi pilihan. Cara ini secara turun temurun dilakukan nelayan untuk bisa tetap mendapatkan ikan-ikan kecil yang datang ke pinggir perairan Celukan Bawang.
Ikan-ikan seperti selah polo, selah gerang, ikan cotek dan bandrangan banyak muncul di wilayah perairan Celukan Bawang. Mereka akan muncul bergiliran. Banyak dan tidak pernah kosong,
“Sekarang ikan-ikan itu naiknya di Sanggalangit. Kalau dulu-dulu ikan-ikan itu biasa naik di sini.” Baidi menceritakan susahnya menangkap ikan-ikan kecil sasaran nelayan ngoncor.
Ngoncor merupakan cara menangkap ikan dengan sistem berkelompok. Satu kelompok sekitar sepuluh orang. Satu-dua sampan akan berangkat menggunkan penerangan dari mesin disel. Mereka akan melihat apakah ada ikan kecil mengerubungi penerangan yang digantung di ujung sampan. Sampan akan berputar sepanjang pesisir. Mencari di mana gerombolan ikan berada. Berlayar perlahan berputar-putar dengan mata terus memperhatikan permukaan air laut yang diterangi lampu.
“Dulu yang ngoncor pakai petromaks. Namun, sejak sekitar tahun 2013 satu dua kapal mencoba pakai lampu dengan disel karena minyak tanah susah dan mahal. Sekarang semua sampan pakai lampu dengan disel. Selain untuk ngoncor juga pergi ke tengah,” kata Baidi menerangkan sumber cahaya yang digunakan dalam ngoncor.
Setelah sampan pengoncor menemukan ikan, baru kemudian jala ditebar. Anggota kelompok yang lain akan bersiap menarik dari bibir pantai. Sementara jala ditarik dari bibir pantai, sampan bergerak perlahan. Seolah menggiring ikan untuk terus mengikuti lampu dan masuk ke dalam jala.
Jala terus ditarik hingga akhirnya sampai di pantai. Butuh banyak orang dan tenaga besar untuk menarik jala di tengah gulungan ombak besar.
Ikan yang berhasil terperangkap di jala kemudian dibagi. Setengah untuk pengoncor, sampan dengan penerangan bergerilya mencari ikan. Sebagian lagi dibagi oleh masing-masing orang yang ikut menarik jala.
Sayangnya keberadaan PLTU Batubara yang berada di area tangkapan nelayan mengurangi jumlah ikan yang bisa ditangkap dari mengoncor. Selain karena garis pantai yang mengecil akibat keberadaan bangunan dan dermaga kapal tongkang PLTU, titik lokasi berdirinya PLTU merupakan tempat di mana ikan-ikan kecil biasanya berada. Semenjak keberadaan PLTU, otomatis jumlah ikan tersebut berangsur-angsur berkurang.
“Malam Jumat kemarin masih dapat 4 blek,” kata Baidi. “Tapi dua malam kemarin tidak ada ikan yang datang,” lanjutnya.
Selah gerang yang malam Jumat kemarin masih bisa ditangkap, dua malam setelahnya praktis lenyap. Hanya satu kelompok pengoncor berhasil menjala. Itupun hanya satu blek yang bercampur dengan lele laut. Jumlah yang relatif sedikit untuk dijual kemudian dibagi oleh anggota kelompok pengoncor.
Ketika kapal-kapal nelayan Celukan Bawang tertahan di pantai akibat cuaca tidak bersahabat, kapal tongkang memuat batubara terus keluar masuk perairan wilayah tangkapan mereka. Kapal-kapal itu memasok bahan bakar demi keberlangsungan PLTU Batubara yang beberapa tahun terakhir menjadi tetangga tak diundang.
Debu batubara yang tertiup angin jatuh ke perairan ketika dipindahkan dari tongkang ke dalam PLTU. Sisa-sisa itu kemudian menghitamkan air. Ketika arus sedang bergerak ke arah timur, secara otomatis dia memasuki area pesisir timur wilayah tangkapan nelayan.
Nelayan menduga itulah penyebab ikan-ikan kecil seperti selah polo dan selah gerang tidak lagi melimpah di pesisir wilayah tangkapan mereka.
Ikan-ikan yang sebelum keberadaan PLTU Celukan Bawang begitu mudah didapat dengan ngoncor kini seolah menjadi ikan langka. Sering kali nelayan hanya berputar-putar dengan lampu tanpa berhasil menemukan ikan yang mereka sasar. Ikan kecil yang dahulu menjadi andalan nelayan Celukan Bawang ketika cuaca ekstrim yang membuat mereka tidak bisa melaut ke tengah, kini pun tidak ada lagi. Seandainya ada itu tidak akan sebanyak dahulu.
Bagi nelayan Celukan Bawang setiap ikan yang didapat merupakan rezeki. Sayangnya rezeki seolah semakin ke tengah lautan, menjauh dan enggan menepi. Semakin susah diraih. Semakin tidak menentu. Dan ketika cuaca kemudian menjadi kendala, rezeki yang bisa mereka tangkap pun semakin sedikit.
“Biasanya tidak pernah seperti ini. Selalu ada saja ikan ke pinggir. Habis selah polo datang selah gerang, setelahnya datang cotek, cotek habis diganti bandrangan,” Baidi menceritakan.
Lelaki yang telah bertahun-tahun menjadi nelayan di Celukan Bawang ini merasakan sekali bagaimana susahnya mencari ikan saat ini. Saat cuaca tidak bersahabat, mencari ikan di pinggir menjadi pilihan aman untuk tetap memnuhi kebutuhan keluarganya.
“Dahulu di PLTU itu tempat ikan-ikan mati (titik mati),” Baidi mengenang.
Lokasi dermaga PLTU Celukan bawang merupakan titik mati bagi ikan. Nelayan akan menggiring ikan-ikan kecil menggunakan lampu, kemudian menebar jala dan menarik jalanya dari pantai yang kini telah telah menjadi dermaga sibuk dengan tongkang batubara.
Baidi, Ivan dan nelayan Celukan Bawang lain telah merasakan bagaimana PLTU Celukan Bawang berbahan batubara telah merusak hasil tangkapan ikan dan menyerobot ruang penghidupan mereka ketika kebutuhan semakin hari semakin meningkat. Nelayan tradisional dibuat terjepit. Antara cuaca yang semakin tidak bisa diprediksi nan ekstrem dan area tangkapan yang semakin sempit. Mau tidak mau mereka harus berlayar semakin ke tengah dengan biaya dan risiko yang terus bertambah.
Itulah salah satu alasan kenapa mereka kemudian membulatkan tekad untuk menolak pembangunan PLTU Celukan Bawang (berbahan bakar batubara) tahap kedua. [b]