Oleh Wayan Sunarta
Membaca sejarah seni rupa Bali adalah membaca bagaimana tangan-tangan kekuasaan memegang peranan penting dalam pembentukan teks (wacana) dan citra yang dibangun dan dilemparkan ke ruang publik. Kekuasaan dalam hal ini bisa dikaitkan dengan peranan puri (raja), patron (pelukis ekspatriat), pemilik modal dan akses pasar, serta media massa. Untuk kepentingan tertentu, peranan tangan-tangan kekuasaan seringkali melahirkan sejarah yang tidak adil, tidak objektif dan komprehensif, serta lebih banyak menguntungkan pihak-pihak tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
Lebih dari lima dekade Ubud dengan Pita Maha telah mencecoki dunia seni rupa melalui mitos besarnya sebagai pusat kelahiran seni lukis modern Bali. Ubud telah memosisikan diri—melalui sentuhan penulis-penulis asing—sebagai sejarah tunggal dengan meniadakan sejarah kantong-kantong seni lukis modern Bali lainnya. Tentu keterbatasan pembacaan yang berakibat pada ketidakadilan sejarah tidak bisa semata-mata ditimpakan kepada Ubud, yang memang terbukti memiliki andil yang tidak kecil dalam perkembangan seni lukis modern Bali.
Yang perlu disesalkan adalah betapa minim ulasan, kritik, atau teks sejarah yang membahas komunitas seni lukis di luar kekuasaan Pita Maha. Misalnya, sepanjang pengetahuan saya, belum ada penulis seni rupa Indonesia yang secara serius meneliti dan mengkaji komunitas pelukis Sanur—oleh pengamat asing diberi sebutan “Sanur School”—yang diyakini telah berkembang sejak awal tahun 1930-an (bersamaan dengan gerakan Pita Maha). Keberadaan pelukis-pelukis Sanur tahun 1930-an hanya disebut sepintas lalu dalam beberapa buku terbitan luar negeri (lebih bernuansa antropologis) yang ditulis para peneliti asing.
Tulisan ini mencoba membaca kembali mitos Ubud (Pita Maha) sebagai titik mula kelahiran seni lukis modern Bali. Kemudian pembacaan ini akan dikaitkan dengan keberadaan Sanur School yang bisa dianggap sebagai lempengan sejarah yang hilang (atau sengaja dihilangkan), yang sejatinya juga memiliki nilai penting dalam sejarah kelahiran seni lukis modern Bali.
Dari Pita Maha ke The Young Artist
Kelahiran seni lukis modern Bali (atau Bali Baru) tidak bisa dilepaskan dari peranan penting Rudolf Bonnet (Belanda) dan Walter Spies (Jerman). Kedua pelukis ini telah menetap di Ubud sejak pertengahan 1920-an, Spies tiba tahun 1926 dan Bonnet tiba 1928. Kedua pelukis ekspatriat ini banyak bergaul dengan seniman-seniman lokal, terutama pelukis dan pematung. Tidak jarang Bonnet dan Spies berkunjung ke rumah pelukis untuk menyaksikan secara langsung bagaimana pelukis tersebut bekerja.
Bonnet dan Spies melihat bakat-bakat luar biasa yang dimiliki para pelukis Ubud. Namun ironisnya mereka menganggap melukis bukan sebagai karir, melainkan hobi atau pekerjaan sambilan, setelah pekerjaan pokok sebagai petani beres. Mereka melukis tanpa pretensi apa-apa, tanpa pernah mempertimbangkan peningkatan mutu, selain juga tidak adanya kritikan atau analisa atas karya-karya mereka. Seringkali mereka melukis hanya untuk memenuhi permintaan turis. Menyadari hal itu, Bonnet dan Spies mencemaskan pengaruh industri pariwisata—yang saat itu baru memulai denyutnya—akan menghancurkan mutu karya mereka menjadi lukisan kodian, penjiplakan dan pemenuhan selera pasar.
Dari beberapa kali kunjungan ditambah pergaulan yang cukup intens dengan beberapa pelukis lokal, Bonnet dan Spies mendapat kesimpulan, bahwa perlu sebuah wadah kondusif untuk mengumpulkan dan membina mereka menjadi pelukis-pelukis tangguh di kemudian hari. Atau paling tidak karya-karya mereka bisa dikenal secara luas lewat pameran-pameran di luar negeri.
Menyadari pengaruh buruk pariwisata terhadap perdagangan hasil seni yang seringkali merugikan senimannya (agaknya inilah idealisme awal Pita Maha), Bonnet dan Spies mencoba melobi penguasa Ubud untuk ikut memerhatikan masalah yang dianggap serius itu. Di luar dugaan, penguasa Ubud yang juga mencintai seni lukis, Cokorde Gde Agung Sukawati, sepakat dengan pemikiran Bonnet dan Spies. Maka pada tahun 1935, mereka mendirikan perkumpulan pelukis dan pematung Bali yang diberi nama “Pita Maha.”
Sebelum Pita Maha berdiri, pelukis-pelukis Ubud, Pengosekan, Penestanan, Peliatan dan Batuan, banyak menggarap tema-tema pewayangan yang bersumber pada epos Ramayana dan Mahabarata. Kiblat mereka adalah seni lukis wayang Kamasan yang terkenal itu. Mereka menganggap penting lukisan wayang karena berkaitan dengan hiasan-hiasan keagamaan di pura, puri atau tempat-tempat yang dihormati/disucikan lainnya. Orientasi utama mereka berkesenian adalah ngayah (kerja tanpa pamrih) untuk kepentingan pura dan tentu juga puri (raja).
Pada jaman melukis wayang, mereka hanya mengenal 5 jenis warna saja, yang diolah sendiri dari bahan-bahan yang mudah didapat di alam bebas. Misalnya, warna merah diperoleh dari olahan akar pohon khusus, warna biru dari tumbuh-tumbuhan tertentu, warna kuning dari sejenis tanah liat yang disebut atal, warna oker dibuat dari bahan-bahan mineral, warna hitam dari jelaga, dan warna putih dibikin dari tumbukan tulang babi. Dari warna pokok ini mereka bisa membuat warna hijau dengan mencampur kuning dan biru, atau warna coklat yang merupakan campuran merah dan hitam. Alat-alat yang dipergunakan melukis pun masih sangat tradisional. Mereka menggunakan penelak, sepotong bambu kecil yang diruncingkan untuk membuat kontur lukisan. Untuk menyapukan warna yang fungsinya mirip dengan kuas, mereka menggunakan penuli, sepotong bambu yang salah satu ujungnya ditumbuk hingga lunak.
Tema pewayangan telah menjadi tema kolektif mereka. Kisah Ramayana dan Mahabarata yang diwariskan turun temurun lewat pembacaan sastra di daun lontar begitu mengendap dalam ruang jiwa mereka. Hal ini diperkuat lagi dengan pementasan wayang kulit yang menjadi hiburan umum dan sarana pendidikan budi pekerti masyarakatnya. Jadi dapat dimaklumi, ketika menulis sastra atau melukis pun yang keluar dari alam imajinasi mereka adalah dunia pewayangan.
Pita Maha sebagai wadah interaksi bagi pelukis dan pematung Ubud, Penestanan, Pengosekan, Peliatan, Batuan dan Kamasan, telah menjadi gerakan pembaharuan dalam seni lukis Bali. Dalam Pita Maha, pelukis-pelukis yang kebanyakan berusia muda tersebut dibimbing mengenal perspektif seni lukis modern, seperti anatomi, komposisi, teknik pewarnaan, penggunaan alat-alat baru, bahkan sampai pada penggalian tema yang lebih mengutamakan kebebasan kreativitas individu (di luar kisah pewayangan).
Secara perlahan seni lukis Bali yang tradisional saat itu diarahkan menjadi lebih modern dengan membuka cakrawala para pelukisnya. Tentu maha guru yang paling berpengaruh dalam masa pembentukan awal itu adalah Bonnet dan Spies dengan koleganya Cokorde Gde Agung Sukawati yang bertindak sebagai pengayom. Bisa dikatakan bahwa Pita Maha merupakan organisasi seni lukis modern pertama yang lahir di Bali (bahkan di Indonesia) dengan struktur organisasi yang jelas dan jumlah anggota puluhan orang.
Banyak anggota Pita Maha yang kini telah dianggap sebagai maestro seni lukis Bali. Untuk menyebut sekedar contoh adalah Anak Agung Gde Sobrat, Anak Agung Gde Maregeg, Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus Nadera, I Gusti Nyoman Lempad, I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Made Baret, I Gusti Made Deblog, Made Widja, Made Djata, Ida Bagus Made Djatasura, I Wayan Gerudug, Anak Agung Gde Raka Puja, Ida Bagus Made Togog.
Bonnet dan Spies secara tidak langsung telah menularkan pengaruhnya pada pelukis-pelukis muda anggota Pita Maha. Pengaruh ini tumbuh subur, juga disebabkan kecenderungan pelukis Bali yang mudah meniru (mungkin bakat bawaan) sesuatu yang dianggap baru, berbeda dan aneh. Atau bisa jadi semacam bentuk penghormatan terhadap guru. Bahkan dalam kehidupan seniman Bali pernah berkembang suatu nilai kebanggaan bila karya-karya mereka mampu ditiru orang lain dan mempunyai pengaruh luas. Tentu saja hal ini bertentangan dengan konsep seni lukis modern yang mengutamakan kreativitas individu. Sebagai contoh, beberapa karya Sobrat yang bertema suasana pasar dan tari-tarian sangat kental kena pengaruh gaya lukisan Bonnet, baik dalam hal pewarnaan, komposisi maupun teknik melukis manusia dengan anatomi plastisnya. Begitu pun dengan karya Maregeg banyak terkena pengaruh lukisan Spies yang bernuansa surealis.
Pita Maha di bawah bimbingan Bonnet dan Spies telah membuat revolusi besar bagi tema-tema seni lukis Bali (Ubud) pada waktu itu. Tema pewayangan, mitologi, cerita-cerita rakyat tidak lagi menjadi perhatian khusus para pelukis, meski beberapa pelukis masih bertahan dengan tema tersebut atau bermain di dua tema. Mereka ramai-ramai melukis kehidupan sehari-hari, seperti suasana pasar, tari-tarian, ngaben, orang pergi ke sawah, suasana menanam padi, menenun. mengembalakan sapi/itik, piodalan di pura, adu ayam, dan sebagainya. Tema kehidupan sehari-hari seakan membawa kenikmatan tersendiri bagi pelukisnya karena menampilkan kehidupan dan alam yang sangat akrab dengan mereka.
Meski telah mengalami perubahan tema, namun tradisi kolektif membubuhkan ornamen dalam lukisan belum bisa ditinggalkan sepenuhnya. Ornamen atau corak dekoratif masih tetap dipertahankan. Komposisi penuh juga masih terlihat pada karya-karya mereka. Perspektif dan permainan cahaya kurang begitu diperhatikan. Namun bisa dilihat pewarnaan dengan gradasi halus, dari gelap ke terang. Setiap detail digarap dengan teliti. Misalnya, kalau melukis pohon, setiap helai daunnya dilukis dengan cermat satu per satu.
Gaya melukis seperti ini kemudian dikenal dengan gaya Ubud yang hingga kini masih tetap bertahan. Karya-karya Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus Nadera dan Ketut Tungeh sangat kuat mencerminkan gaya ini. Beberapa anggota Pita Maha masih belum bisa melepaskan diri dari kebiasaan melukis kisah pewayangan, meski pewarnaan dan komposisi sudah terkena pengaruh modern. Dapat disebutkan di sini Gusti Ketut Kobot (Pengosekan) yang masih tekun melukis wayang, meski sesekali juga melukis tema kehidupan sehari-hari.
Selain Ubud, Desa Batuan juga telah berkembang menjadi salah satu kantong seni lukis dengan gaya Batuan-nya. Gaya Batuan terkenal dengan ciri khas bidang yang penuh sesak dengan objek-objek cerita rakyat atau pun kehidupan sehari-hari. Kebanyakan latar belakang lukisan menggunakan warna hitam, warna hijau kelam untuk pepohonan dan merah tua kecoklatan untuk gambar manusia, memberikan kesan suasana magis yang menakutkan. Tokoh-tokoh pelukis Batuan antara lain Ida Bagus Made Togog, Made Widja, Made Djata, Ida Bagus Made Djatasura, I Tomblos dan beberapa pelukis muda yang tetap setia dengan gaya Batuan. Beberapa pelukis Batuan juga menjadi anggota Pita Maha dan terkena pengaruh gaya lukisan Bonnet dan gaya Ubud.
Pita Maha mampu mengakomodasi pertumbuhan seni lukis gaya Kamasan, Ubud dan Batuan. Selain itu juga berkembang kegiatan seni ukir, seni pahat dan pandai emas. Seiring perjalanan waktu, Pita Maha bukan hanya memberi pengaruh modern pada pelukis-pelukis Ubud dan sekitarnya, melainkan juga memasarkan dan memperkenalkan karya-karya mereka melalui pameran-pameran di luar negeri. Namun, sekitar tahun 1942, usaha Pita Maha terhenti total akibat pengaruh Perang Dunia II yang sedang berkecamuk hingga ke Indonesia. Bahkan Bonnet dan Spies (tewas dalam perang) menjadi tawanan Jepang
Pada tahun 1946, Bonnet kembali ke Ubud dan mulai lagi menghimpun para pelukis dalam wadah baru bernama “Golongan Pelukis Ubud.” Organisasi ini menyerupai Pita Maha, hanya saja semua anggotanya pelukis. Golongan Pelukis Ubud yang beranggotakan sekitar 50-an pelukis tekun mengadakan pameran bersama di beberapa kota penting di Indonesia, seperti Yogyakarta, Jakarta dan Medan. Anggota Golongan Pelukis Ubud ini antara lain: Wayan Turun, I Regig, Nyoman Madya, A.A Raka Puja, Dewa Putu Bedil, dan beberapa pelukis lainnya.
Mengingat semakin banyaknya pelukis-pelukis baru yang bermunculan serta kepentingan menyelamatkan karya-karya masterpiace pelukis Bali, Bonnet dan Cokorde Gde Agung Sukawati sepakat membangun sebuah museum khusus seni lukis dan patung. Maka pada tahun 1953 proyek pembangunan Museum Puri Lukisan mulai dilaksanakan dengan mengambil lokasi di Ubud. Tahun 1958 Bonnet kembali ke Belanda karena situasi politik di Indonesia yang tidak menguntungkan. Sepeninggal Bonnet, kegiatan Golongan Pelukis Ubud tidak terdengar lagi, meski para pelukisnya terus berkarya seiring kegiatan pariwisata yang makin berkembang. Tahun 1972 (hanya 4 bulan) Bonnet kembali lagi ke Ubud untuk menuntaskan pembangunan Museum Puri Lukisan.
Pada tahun 1961 di Desa Penestanan muncul kelompok seni lukis baru yang menamakan diri “The Young Artist” di bawah bimbingan dan pengaruh Arie Smith, seorang pelukis Belanda yang telah menjadi warga negara Indonesia dan menetap di Ubud. Gaya seni lukis ini terkenal dengan dekorasinya yang khas, naif, menggunakan kontur tegas dan penuh dengan warna-warna cerah. Tema yang mendominasi masih seputar kehidupan sehari-hari.
Anggota The Young Artist kebanyakan pelukis berumur 12 tahun yang berasal dari Desa Penestanan. Setiap minggu Arie Smith mengumpulkan para muridnya yang berjumlah sekitar 40-an orang. Anak-anak tersebut diberikan cat dan kertas dan dibiarkan melukis sesuka hati mereka. Pelukis ini percaya bahwa yang terpenting dalam pendidikan seni adalah memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk menumpahkan ekspresi sebebas-bebasnya. Dan hasilnya sungguh di luar dugaan. Anak-anak tersebut melukis sesuai dengan alam imajinasi mereka sendiri. Anggota The Young Artist yang paling menonjol adalah Munduk, Geberig, dan Mudru. The Young Artist ikut memperkaya perkembangan seni lukis modern Bali.
Sanur School
Sanur sampai sekarang hanya dikenal sebatas sebagai salah satu objek wisata pantai yang menarik dan ramai. Kalaupun Sanur dikenal karena seni lukisnya biasanya orang akan merujuk pada pelukis Belgia, Le Mayeur, yang menetap di pinggiran pantai Sanur bersama istrinya yang cantik, Ni Polok. Kini rumah Le Mayeur yang asri dan sejuk itu oleh pemerintah dijadikan museum yang khusus menyimpan karya-karya Le Mayeur. Museum tersebut juga menjadi salah satu daya tarik Sanur selain pantainya.
Sanur sebagai salah satu kantong dan pusat perkembangan seni lukis modern di Bali seakan luput dari pengamatan para sejarawan dan penulis seni rupa Indonesia. Seni lukis Sanur telah ditengggelamkan oleh mitos seni lukis Ubud dengan kebesaran nama Pita Maha-nya. Padahal Van der Tuuk, seorang peneliti linguistik dari Belanda, pernah menyebutkan bahwa tradisi melukis dan membuat wayang begitu besar dan hampir tersebar di seluruh wilayah Bali, seperti di Kamasan (Klungkung), Sanur (Badung), Ubud, Singaraja, Bangli, Karangasem, Kerambitan (Tabanan), dan beberapa daerah lainnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Sanur sejak dulu telah dianggap salah satu kantong seni lukis.
Dibandingkan Ubud, Sanur merupakan wilayah yang terlebih dahulu berinteraksi dengan orang asing (Belanda). Pada tahun 1906, ketika ekspedisi Belanda menyerang Kerajaan Badung (dikenal dengan perang Puputan Badung) pasukan Belanda mengambil titik pendaratan dan penyerangan dari pantai Sanur. Penyerangan ini dilakukan Belanda dengan alasan bahwa kapal Sri Komala milik Belanda dirampas setelah terdampar di pantai Sanur. Perampasan ini berani dilakukan rakyat Bali karena pemberlakuan Hak Tawan Karang, yang salah satu ketentuannya berbunyi bahwa kapal beserta isinya yang terdampar di wilayah kerajaan Bali merupakan hak milik kerajaan beserta rakyat Bali.
wah, luengkap bli… gud gud