Melati (bukan nama sebenarnya) sudah hampir tiga minggu mengalami sulit tidur. Ia menghabiskan malam dengan bermain internet. Di media sosial, ia kerap kali terlibat obrolan yang tak jarang memicu debat kusir. Dalam sehari, ia bisa menulis puluhan status. Hingga teman-temannya bertanya-tanya apa gerangan yang menimpa dirinya. Ada juga yang mengolok-olok dirinya dengan sebutan gila.
ODGJ atau orang dengan gangguan jiwa menggunakan internet? Banyak orang yang menganggap hal tersebut mustahil, mengingat stigma yang melekat pada ODGJ semisal “Tak normal”, “Gak bisa ngapa-ngapain”, “Tak punya masa depan”, “Terbelakang” dan stigma lainnya yang berhubungan dengan disabilitas.
Bagus Utomo, Pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) menulis, ungkapan seperti “ODGJ kok bisa Facebook-an?” yang sering ia baca di media sosial, khususnya ketika ada berita kasus hukum terkait ODGJ. Baginya, hal tersebut menandakan kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia soal kesehatan jiwa.
“Ini merupakan salah satu contoh stigma yang paling besar terhadap orang dengan gangguan jiwa,” tulisnya.
Ia menjelaskan, yang disebut ODGJ bukan hanya mereka terlantar di jalan atau yang dipasung. Ada yang masih punya keluarga yang peduli. Ada yang sudah berobat rutin da nada yang belum. Ada juga yang sudah stabil tapi belum bisa beraktivitas dan belum bisa bekerja.
“Ada juga ODGJ yang telah pulih, berfungsi, dan bisa bekerja. ODGJ mengalami berbagai macam gangguan jiwa misalnya gangguan depresi, gangguan bipolar, gangguan skizofrenia, gangguan kepribadian, gangguan kecemasan, masalah adiksi, dan gangguan mental organik,” terang Bagus Utomo.
Seperti halnya Melati. Ia menggalami gangguan skizofrenia, jatuh-bangun dalam pengobatan. Terkait penggunaan internet, ia punya pengalaman kurang mengenakan ketika aktif di media sosial. Membaca beberapa postingan, dirinya merasa postingan tersebut bertujuan menyindirnya. Lalu ia membuat postingan balasan dengan maksud menyindir balik, dengan kata-kata menyakitkan dan kasar. “Perang komentar” pun menjadi biasa baginya. Pada akhirnya ia memblokir atau unfollow akun-akun yang dianggapnya lawan dan musuh.
“Akhirnya teman yang dulunya bersimpati dan peduli pada saya jadi menjauh dan berkurang karena tingkah laku saya yang dianggap menyebalkan,” katanya.
Setelah kejadian itu, oleh pacarnya, Melati disarankan beristirahat dan dilarang menggunakan media sosial karena kondisi mentalnya sangat tidak stabil, yang menyebabkan dirinya sering memicu permusuhan-permusuhan baru dengan orang-orang di media sosial.
I Gusti Rai Putra Wiguna, psikiater Klinik Utama Sudirman Medical Centre Denpasar menyebut, ODGJ dari spectrum yang paling ringan hingga spectrum yang paling berat, mempunyai hak untuk menggunakan internet, sebagai sumber informasi, wadah bersosialisasi. Hanya saja tentu penggunaan internet bisa berisiko, apabila masih dalam keadaan fase akut dan bergejala berat.
Ia mengatakan, ada beberapa kasus ODGJ yang sedang mengalami relapse atau gejala kekambuhan sering kali melakukan hal-hal yang disesali di kemudian hari, misalnya ada pasien bipolar yang sedang mengalami relapse mencaci-maki temannya, merasa ada yang berkomplot mencelakakan dirinya. Ada juga yang mengalami waham kebesaran, merasa bahwa dirinya kenal dengan banyak pejabat atau ingin mencalonkan diri sebagai presiden.
“Ketika sudah ditangani, aktivitas di media sosial tentu akan disesali di kemudian hari bagi yang bersangkutan. Bagi masyarakat yang tidak memahami bahwa itu gejala gangguan jiwa lalu ada yang merasa tersinggung, bahkan membawa hal itu ke ranah hukum atau justru menjadi bahan olok-olok dari warganet. Tentu itu memprihatinkan,” jelas pria yang akrab disapa dokter Rai.
Terlepas dari itu, sambungnya, internet di sisi lain sangat bermanfaat. Banyak kelompok-kelompok dukungan bagi ODGJ untuk saling berbagi pengalaman, suka-duka mereka, dan saling menguatkan dalam hal kepatuhan minum obat, termasuk juga bagi caregiver atau keluarga yang mendampingi ODGJ dalam masa pemulihan.
“Juga, untuk mendapatkan berbagai informasi dan edukasi tentang apa yang mereka alami, bagaimana penanganan kekambuhan, termasuk upaya-upaya mandiri sebagai pelengkap pengobatan yang ODGJ jalani,” katanya.
Bisa dibilang, internet ibarat pisau bermata dua di tangan ODGJ. Satu sisi ia bisa banyak membantu ODGJ, tetapi di sisi lain ia bisa menjadi sumber masalah bagi ODGJ ketika misalnya menulis komentar yang membuat orang lain tersinggung dan marah seperti apa yang dilakukan Melati.
Penggunaan internet juga bisa menjadi pemicu kekambuhan. Melati mengatakan, jangankan bagi ODGJ yang belum pulih, ODGJ yang telah pulih pun kadang bisa terpicu dengan postingan orang di media sosial.
“Menurut saya, ODGJ yang aman bermedia sosial adalah yang bisa mengendalikan emosi dirinya. Bukan sekedar pulih saja,” pungkasnya.
Ia setuju jika ada yang mengataakan penggunaan media sosial oleh ODGJ tak selamanya buruk. Karena ODGJ sendiri bisa menyuarakan hak-haknya yang terkadang masih mengalami ketimpangan sosial.
“Seperti dalam pekerjaan misalnya. Saya pernah menyuarakan ketidakadilan mengenai tidak adanya jalur afirmasi khusus penyandang disabilitas mental di beasiswa populer negeri di Twitter. Dan tahun ini Alhamdulillah, suara saya didengar dan sekarang sudah ada afirmasi jalur disabilitas mental,” ujar Melati.
Baginya, media sosial itu seperti lautan yang isi orangnya bermacam-macam. Apalagi jika bergabung di komunitas umum yang bukan khusus penyandang disabilitas mental.
“Tentu beberapa orang tidak paham dengan kekurangan kita. Maka dari itu alih-alih ODGJ mengontrol semua orang, ODGJ juga harus bisa mengontrol dirinya sendiri dari hal-hal yang men-trigger dirinya di media sosial,” tandas Melati.
Dokter Rai memberi saran bagi ODGJ, pandai-pandailah memahami dan memperhatikan diri, sebagai bentuk relapse prevention programme, atau program pencegahan terjadinya kekambuhan. Dengan cara lebih memahami tanda-tanda awal termasuk hal-hal yang bisa mencetuskan terjadinya relapse atau gejala kekambuhan.
“Ketika kita mengetahui tanda-tanda tersebut sudah terjadi, seperti sulit tidur, mudah marah, emosi yang terganggu, curiga berlebihan, sebaiknya segera membatasi penggunaan media sosial dan internet. Baru setelah ODGJ kembali pulih, bisa bebas kembali menggunakan internet,” sebutnya.
Jika kesehatan fisik bergantung pada makanan yang dimakan, imbuhnya, kesehatan jiwa bergantung pada seberapa banyak informasi yang kita cerna. Jadi sangat baik apabila konsumsi informasi yang kita baca atau tonton misalnya dalam sehari bervariasi.
“Itu bertujuan agar kita tidak terlalu larut atau obsesif pada satu jenis berita yang dapat memicu terjadinya relapse pada ODGJ,” tukas dokter Rai.
Menurutnya penggunaan internet yang inklusif, dalam hal ini penyandang disabilitas yang didalamnya termasuk ODGJ yang termasuk disabilitas psikososial sangat baik dilakukan. Di satu sisi, mungkin akan muncul risiko pada ODGJ karena kurang memahami penggunaan internet termasuk didalamnya media sosial yang baik sehingga memicu kekambuhan dan mempermalukan diri di media sosial.
“Pada sisi lain, hal itu bisa menjadi bahan bagi masyarakat untuk bisa lebih memahami dari kejadian-kejadian yang ada, masyarakat menjadi tahu dan memahami gangguan jiwa dan tidak lagi mengolok-olok, atau terbawa dan mempermasalahkan apa yang dilakukan ODGJ ke ranah hukum,” jelas dokter Rai.
Jika pun dibawa ke ranah hukum, katanya, kita tahu bersama ODGJ tidak mampu mempertahankan dan mempertanggungjawabkan tindakannya di depan hukum.
“Namun saya percaya, dengan kampanye internet sehat yang lebih masif dan dibarengi edukasi kesehatan mental di masyarakat, maka tentu saja penggunaan internet bagi ODGJ akan membuat kemajuan bagi pemulihan mereka sehingga mampu kembali bersosialiasi dan diterima kehadirannya di masyarakat,” demikian dokter Rai.