Dirangkai Savitri Sastrawan – berdasarkan Notula dari BaleBengong oleh Iin Valentine
Pesta Baca 2019 oleh Taman Baca Kesiman layak diarsipkan dengan baik. Paramuda Bali membahasa buku favoritnya dengan argumentasi.
Sesi ini dimoderatori oleh Intan Paramitha, pembahasan buku Sumerhill School oleh seorang guru, Ady Apriyatna dan Arsipelago oleh saya, seorang kurator, berjalan cukup menarik dan pertanyaannya pun kemana-mana. Pembahasan dimulai dengan pemaparan buku oleh Ady, lalu oleh saya, dan kemudian dilanjut oleh diskusi bersama audiens yang hadir.
Ady memilih buku “Summerhill School; Pendidikan Alternatif yang Membebaskan”, yang ia dapat dari kawannya, Made Mawut. Made menawarkan buku tersebut dengan harapan akan memberikan rekomendasi untuk diterapkan di sini, mengingat bahwa Ady adalah seorang guru.
Ada beberapa hal yang sangat menarik di buku ini. Salah satunya, quote dari Neill, Kepala Sekolah Summerhill, “Saya lebih senang sekolah menghasilkan para penyapu jalanan yang bahagia dari pada sarjana yang sakit jiwanya.” Ady menangkap maksud dari quote tersebut, bagaimana pendidikan di sekolah-sekolah yang kita jumpai hari ini, banyak yang terlalu mendewakan kecerdasan intelektual atau IQ, tanpa mementingkan kecerdasan emosional atau EQ. Menurut Neill, EQ menjadi penting karena ketika mempelajari kecerdasan emosional, orang-orang akan lebih memiliki empati.
Ady melanjutkan, bahwa sekarang ini banyak sekali orang yang cerdas secara intelektual, tapi dia jarang memiliki empati. “Kayak misalnya Fadli Zon, Fahri Hamzah, dia kan cerdas. Yang saya tahu Fahri Hamzah kan dulu pernah bikin buku tentang skripsi, tentang bagaimana hegemoni pendidikan, gitu. Artinya dalam kecerdasan intelektual, dia kan orang yang sangat cerdas, tapi dia kurang punya rasa empati tentang isu-isu sosial yang ada. Justru malah menjadi orang yang bikin permasalahan juga di bangsa ini,” jelas Ady mengemukakan pandangannnya.
Buku ini juga mengajarkan untuk tidak menjadi egois, atau istilahnya disebutkan altruisme. Bagaimana pula sekolah itu tidak menjadi tempat yang egois terhadap siswa. Selain itu sistem pendidikan yang swakelola juga dihadirkan di sana. Tidak seperti di Indonesia yang semua masih terpusat. Summerhill ini menciptakan sistemnya sendiri, tidak hanya melibatkan orang-orang yang sudah dianggap dewasa saja, tetapi juga anak-anak yang akan berkecimpung dalam sistem itu. Ini merupakan pelajaran yang sangat demokratis sejak dini.
Hal menarik lainnya adalah, bagaimana Neill menganggap bahwa agama tidak penting untuk ditekankan dalam pelajaran, karena dalam praktiknya, pelajaran agama malah membuat ketakutan. Ady mengambil contoh situasi di Bali, bahwa banyak sekali keharusan-keharusan yang diajarkan dalam agama, tanpa diketahui sebabnya. Padahal banyak sekali yang perlu dipertanyakan. Mengapa kita harus melakukan atau tidak melakukan itu. Kadang-kadang agama itu lebih sering bersifat sharing ketaatan, daripada sharing tentang cinta.
Menyambung penjelasan dari Ady, Intan selaku moderator melanjutkan bahwa penulis buku Summerhill School ini adalah kepala sekolah pertama di sekolah tersebut. Ia berinisiatif untuk menuliskan bagaimana pengalamannya agar nilai-nilai yang ia terapkan di sekolah itu tidak hilang dan bisa diadopsi oleh orang-orang.
Summerhill School yang berdiri tahun 1921 adalah sekolah buangan untuk anak-anak nakal pada jamannya. Seperti, anak-anak yang broken home, anak-anak yang putus sekolah, yang dianggap membangkang, semuanya dimasukkan ke Summerhill, dan akhirnya mereka menemukan dirinya. Sebab sekolah ini membiarkan anak menjadi diri mereka sendiri tanpa ketertiban, tanpa arahan, anjuran, moral, dan agama. Mereka berhak menentukan pelajaran apa yang ingin mereka ambil tanpa ada batasan usia atau kelas. Semua anak pun tinggal di sana karena konsep dari sekolah ini adalah asrama.
Intan melanjutkan dengan sebuah pertanyaan bagaimana sistem tersebut bisa diterapkan di Indonesia? Ia juga mengungkapkan kegelisahannya terhadap sistem pendidikan seperti apa yang bisa diterapkan untuk anaknya. Menurutnya, sistem pendidikan formal terlalu seram, sementara untuk pendidikan alternatif seperti home schooling, dirinya mengaku belum siap.
Sesi berlanjut dengan pembahasan mengenai buku Arsipelago. Arsipelago, membahas tentang kerja arsip dan pengarsipan seni budaya Indonesia, yang ditulis oleh banyak penulis dan banyak pembahasan pula, seperti seni tari, seni musik, seni rupa, segala seni ada di sini. “Lalu apakah ketika berbicara tentang arsip, itu hanya sebatas kliping, arsip, ataukah sesuatu yang bisa ditemukan di museum, galeri? Atau sesuatu yang lebih luas dari itu?” Intan melempar pertanyaan.
Saya bergelut dengan seni rupa sejak SMA dan dengan adanya jarak dengan asal saya Bali dan Indonesia, seni rupa menjadi jembatan untuk terkoneksi lagi. Buku Arsipelago bukanlah buku yang mudah dibaca. Pertemuan saya dengan buku ini saat berkunjung ke IVAA (Indonesian Visual Art Archive) di Yogyakarta, yang merupakan pengarsipan cukup besar untuk seni visual. Arsipnya lengkap tentang karya-karya seniman Indonesia, katalog-katalog, bahkan arsip tentang pereupa perempuan yang masih tidak banyak ditemukan bisa ditemukan disana. Menurut saya, buku pembicaraan tentang pengarsipan tidaklah sesuatu yang umum dan di Indonesia sendiri untuk mempraktikannya agak sulit.
Saya merasa beruntung telah menemukan buku ini selepas menyelesaikan pendidikan S2 saya di London pada tahun 2015. Saat S1 Seni Rupa Murni Lukis, saya merasakan banyak ketidaktahuan tentang sejarah seni rupa di Indonesia. Walaupun banyak mendapatkan pengetahuan tentang sejarah seni rupa di Bali, tetapi seni rupa secara global pun diakuinya tidak dipelajari secara mendalam. Saat lanjut S2, tanpa disengaja masuk ke departemen Visual Culture, yang secara gamblang disebut budaya visual. Tapi tidak sekadar budaya visual saja yang ada di departemen itu. Disana tidak ada lagi pengkotak-kotakan kesenian. Semua dibahas: tari, gerak, audio juga, yang notabene bagi saya itu adalah hal yang baru.
Setelah saya pelajari, Visual Culture adalah perpanjangan dari sejarah seni rupa di sana. Di sana juga ada generasi-generasi yang dulu dijajah, seperti India, Karibia, Afrika. Beberapa dari mereka pun menjadi intelektual dan mulai menyadari bahwa selain mereka juga ada orang-orang yang memang asli dari sana yang juga menyadari kalau narasi-narasi yang tertulis dan hal-hal yang mereka pelajari secara sejarah pun tidak membicarakan apa yang ada di luar mereka. Ada kesenjangan representasi yang ternyata terkait sekali dengan sejarah seni, sejarah visual, yang mereka ketahui atau tidak ketahui. Jadi, Visual Culture ini mengumpulkan lagi narasi-narasi yang sempat terlupakan tapi fokusnya di kesenian. Visual Culture itu ada di antara pengkajian budaya dan studi media. Bisa dikatakan itu ranah pembahasan seni kontemporer.
Setelah membaca Arsipelago, saya merasa inilah Visual Culture di Indonesia sekarang. Ini adalah referensi yang bagus untuk dibaca karena membahas semua dan mencakup banyak disiplin kesenian. Seni rupa, tari, sinema, musik, tradisi, ada pula poster-poster Bali Tolak Reklamasi yang ditulis Gde Putra. Sangat beragam, seperti kesenian yang ada.
Yang mengagetkan bagi saya, adalah bagaimana seni tradisi terutama di Orde Baru, sempat ingin dihapuskan, pada satu tulisan tentang pengarsipan yang berfokus pada seni tradisi. Bagaimana kita dibesarkan, bagaimana kita ”harus berkehidupan modern”, hal-hal ”tradisi itu primitif”, padahal kan nggak gitu. Kita mungkin sangat beruntung, di Bali ini, seni tradisi masih tetap dijalankan, kalau di tempat lain belum tentu.
Lalu, dalam penutup buku itu, disebutkan bahwa tubuh menjadi salah satu hal yang dihighlight, dan tubuh itu adalah salah satu cara untuk mengarsipkan diri kita sendiri. Pengarsipan secara gamblang adalah mengoleksi ingatan-ingatan yang ada. Jika dilihat dari sisi orang yang mengarsip, bagaimana caranya menyambungkan pengarsipan terhadap orang-orang sekitar agar orang-orang lebih ingin tahu dan sadar bahwa arsip itu sangat penting, dan bisa saling mengingatkan ketika ada memori kolektif yang terlupakan.
Visual Culture saat ini adalah visual activism, seperti yang disebutkan di buku How to See the World karya Nicolas Mirzoeff. Bagaimana sekarang kita hidup dengan Instagram, dengan gampang bisa “berkoar-koar”. Saya jadi teringat dengan sesi di hari sebelumnya tentang perkataan Windu Senet, bahwa kita harus keluar dari anggapan “nak mule keto”. Menurut saya, salah satu caranya adalah melalui buku Arsipelago.
Pertanyaan-pertanyaan terhadap buku Sumerhill School dan Arsipelago pun beragam.
Diawali oleh Riang dari Solo, mempertanyakan bagaimana Arsipelago itu mencerminkan Indonesia. Saya lalu menyebutkan bagaimana seni itu luas dan beragam sekali, bahkan tradisi pun jika boleh dikatakan adalah kesenian. Dalam buku ini mereka pun sempat keliling dan mungkin belum semua tertuliskan – yang ditulis hanya Padang, Makassar dan Malang.
Kalau secara pemerintahan, memang ada perpustakaan, pengarsipan juga. Yang menarik adalah bagaimana, waktu ini Riyad, dari Bandung sempat mengisi sharing tentang sejarah kecil dan sejarah besar di Canasta Creative Space. Bagaimana sebenarnya sejarah kecil (individu) merefleksi apa yang terjadi saat itu. Ketika belajar sejarah di sekolah, hal itu kan tidak dibicarakan. Jadi di buku ini memberikan itu.
Lalu, lanjut ke Termana yang menanyakan tentang bagaimana buku Summerhill School mengkritisi sistem Pendidikan di Indonesia. Ady menyatakan bahwa buku ini memang sebagian besar mengkritisi sistem dan teknis Pendidikan. Bagaimana sekolah itu sekarang hadir menjadi sesuatu yang menakutkan. Itu adalah hal yang coba diubah oleh Neill melalui Summerhill. Di awal mendirikan sekolah tersebut, Neill pun sempat dikritik karena sekolah itu dianggap hanya untuk orang-orang bajingan. Namun Neill mampu mengubah itu.
Yang terjadi di Indonesia sekarang, sangat berbeda dengan Summerhill. Kalau di Indonesia, sistem itu dibuat oleh pusat, sementara di Summerhill, sistem itu dibuat oleh siapa saja yang ada di sekolah itu, termasuk murid bahkan tukang sapunya. Kemudian Neill juga mengkritik bahwa pendidikan sekarang, di mana pun, sudah dikooperasi dengan kepentingan kapitalisme.
Ady lebih senang menyebut buku ini sebagai sistem yang lebih manusiawi, sebab jika dikatakan pendidikan yang membebaskan, jika terlalu bebas juga tidak bagus.
Sistem ini bisa saja diterapkan kalau saja ada kesadaran politik yang dibentuk, seperti adanya Taman Baca. Jika untuk sekolah alternatif, bisa saja, tapi jika untuk melawan dan menghancurkan sistem yang sudah ada, sepertinya perlu banyak orang yang sadar dan berani.Karena kita ini ada di dunia yang menganggap ijazah itu segalanya. Padahal menurut Ady, keharusan memiliki ijazah adalah sebuah kesialan. Beberapa orang juga beranggapan kalau ijazah hanya sekadar hiasan dinding saja. Kemudian, yang ditawarkan dari buku ini adalah sesuatu yang alternatif. Coba saja orang-orang yang terlibat dalam sistem, mengubah mindset, apakah jika ada di posisi seorang anak, kita akan oke dengan sistem dan peraturan seperti itu?
Apalagi sekolah di Indonesia, anak-anak dipaksa untuk belajar 12 mata pelajaran, dipaksa untuk mengerti semuanya. Walaupun bekerja sebagai tenaga pendidik, Ady mengaku dia sendiri tidak sanggup untuk menguasai semua pelajaran itu. Sementara jika tidak bisa mencapai standar, akan dicap goblok. Padahal itu bisa menimbulkan trauma bagi mereka hingga akhirnya mereka tidak bisa berkembang. Kemudian sistem bagaimana sekolah itu hadir sebagai media perlombaan, bukan mencerdaskan.
Lalu pertanyaan dari Termana ke saya, menurutnya, permasalahan seni memang rumit. Tapi dalam konteks Bali, ketika pasca reformasi mungkin seni di Bali cukup menyeruak. Bali Tolak Reklamasi, seniman seperti Djamur, Pojok. Bagaimana arsip kebudayaan seni di Bali sebelum Orde Baru?
Saya mengaku kurang mengetahui. Mungkin secara individu ada. Secara buku, ada satu yang direkam dari 1800-an sampai 2010. Beberapa tercatat, seperti Made Wianta, Murni, dll. Sebenarnya ada komunitas-komunitas yang tercatat juga. Kalau di Bali sendiri saya kurang tahu siapa sebenarnya yang mengarsip secara kolektif. Malah ketemunya di IVAA. Kalau seniman Bali saat Orde Baru kan juga banyak berpameran di luar Bali. Jadi setahu saya, hanya sebatas katalog-katalog. Sementara kalau yang mengeksplor itu semua, mungkin bisa dihitung jari.
Intan menambahkan bahwa di halaman 54 buku Summerhill School menyebutkan bahwa tugas anak adalah untuk melakoni hidup dengan kehidupannya sendiri, bukan kehidupan yang menurut orang tuanya terbaik bagi anak, semua campur tangan dan etunjuk orang dewasahanya akan menghasilkan generasi robot. Dilanjutkan bahwa apa yang dibicarakan Ady, ada hubunganya dengan pembicaraan Windu Senet di hari sebelumnya, yang menyatakan ia baru menemukan jati diri di usia 24 tahun. Jadi, dari umur 0-24 tahun, ia merasa menjadi robot yang harus mengikuti sistem pendidikan.
Berlanjut ke pertanyaan Kalin dari Papua, untuk Ady, di buku Summerhill School disebutkan mengenai pentingnya kita punya EQ dan IQ, harus balance. Lalu disebutkan bahwa pelajaran agama tidak terlalu penting. Menurutnya ini kontradiksi. Kecerdasan emosional tidak akan punya dasar tanpa agama. Bagaimana menurut Ady?
Adi mempertanyakan kembali pada Kalin, apakah kepintaran emosional itu hanya bersumber dari agama? Ady kemudian mengingat kutipan dari Neill yang berbunyi, “Saya meyakini perkembangan emosional jauh lebih penting daripada kemajuan intelektual.” Untuk pendidikan agama itu sendiri, ada kutipan jadilah orang baik, maka kau akan bahagia. Neil menemukan sebuah konsep berbahagialah, maka kau akan menjadi hal yang baik.
Menurut Neill, agama cenderung melihat segalanya dari sudut pandang dosa dan tidak, sehingga menimbulkan pengkotakan. Menurut Ady, tergantung dari kaca mata yang mana. Jika pengajaran itu baik, sangat memungkinkan untuk menjadikan agama sebagai dasar kecerdasan emosional. Namun, sekarang ini malah agama dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan dan mencari kekuasaan. Hal seperti ini menurut Ady dapat menggangu kecerdasan emosional.
Saya menambahkan, walaupun saya belum membaca buku Summerhill, saya memberikan bayangan saat diri saya bersekolah di London, bahwa di pelajaran agama, tidak hanya mempelajari satu agama, tapi semua agama. Yang menarik adalah, setelah pemaparan dari guru ada diskusi setelahnya.
Lalu pertanyaan Kalin untuk saya, jika dibandingkan, menurut pengamatan Kalin, terutama dalam seni dan budaya, anak muda jaman sekarang terlalu terpengaruh dengan budaya luar. Menurut Savitri budaya apa yang seharusnya dibanggakan oleh anak muda sehingga kita tahu caranya bersikap untuk menghadapi budaya dari luar?
Saya menyatakan bahwa: Yang perlu dibanggakan, Indonesia ini kaya sekali.
Menurut saya yang krusial adalah insiden saat peringatan Hari Tari sedunia, terdapat insiden di Pontianak. Katanya hal itu adalah arahan dari bupatinya karena dia tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Kepala Program Studi Tari yang ada di sana. Padahal performance mereka yang dikatakan adalah seni tradisinya. Saya melanjutkan bahwa di Jawa juga banyak patung-patung Pandawa dirobohkan. Menurutnya hal itu sangat tidak masuk akal untuk dilakukan hanya karena garis keras suatu agama.
Secara individu, dari mana kita, sebenarnya kesadaran kita sampai mana untuk melanjutkan apa yang sudah kita dapatkan. Misalnya saya, orang bali yang lama di luar, saya sadar bahwa dirinya adalah orang Bali, jadi harus tahu lebih banyak lagi tentang Bali sebagai orang Bali. Sebab selama ini saya hanya membaca lewat bacaan-bacaan dari antropolog yang sudah ke Bali tahun 70-an.
Bali yang pariwisatanya sangat berjalan dan pemerintah yang sekarang ini mencari sisi Bali yang lain. Saya tidak sepenuhnya sepakat dengan itu. Menurut saya, justru bagaimana dengan teknologi sekarang, mungkin kita bisa memberikan sesuatu pada sesama. Bagaimana caranya kita mulai mendokumentasikan sesuatu, sehingga menjadi kesadaran kolektif yang bisa dibagi.
Intan menambahkan bahwa di buku Summerhill Neill menyebut bahwa aktivitas belajar buku tidak lebih penting dari bagaimana membangun kepribadian dan karakter. Berkali-kali pula disebutkan bahwa Summerhill ini adalah sekolah yang membebaskan, karena ia menekankan nilai pendidikan; ingin mencetak anak-anak yang selalu mencoba.
Dilanjut oleh Inong dari Universitas Warmadewa, pertama bertanya kepada Ady. Melihat dunia pendidikan hari ini, masing-masing orang punya minat sendiri-sendiri. Hari ini pendidikan lebih menekankan pada kecerdasan intelektual. Pendidikannya di luar negeri, sampai S2, S3, dan sebagainya. Dunia pendidikan dianggap segalanya. Namun percuma kalau kecerdasan emosional itu tidak ada. Kita dijauhkan dari ketajaman untuk melihat isu dan persoalan yang ada. Sebagai seorang guru, bagaimana dengan sistem hari ini, apakah guru mampu membangun budaya-budaya kecil atau pola-pola mengajar di sekolah, sehingga siswa itu cepat menemukan potensinya? Sehingga ketika kuliah, tidak ada lagi yang merasa salah jurusan.
Ady menyetujui pendapat dari Inong, bagaimana pendidikan sekarang diciptakan untuk menyokong konfigurasi kelas mapan dan kelompok dominan. Dan hal yang bisa kita lakukan adalah dengan berkumpul membuat komunitas dan berdiskusi. Hal pertama yang harus diketahui seorang guru adalah karakter siswanya. Parahnya, pada saat kuliah pun Ady sendiri tidak pernah diajarkan untuk menilai karakter anak.
Menurut Ady, guru lama sebaiknya dihapuskan saja, karena cara-cara pengajarannya yang cenderung “Orba”, dengan kesan yang “kebapakan” yang memang sengaja diciptakan pada masa Presiden Soeharto. Menurut Ady sekolah hadir sebagai rumah yang sebenarnya tidak perlu terlalu diatur bagaimana, dibebaskan saja asal tetap bertanggung jawab.
Lalu pertanyaan Inong ke Savitri, berkaitan dengan dunia pendidikan, mungkinkah kaca mata Savitri yang menggeluti dunia pendidikan, kira-kira sistem pendidikan hari ini, sudah mampu menanamkan kepercayaan diri anak-anak dengan seninya? Dan apakah sistem ini akan menggerus budaya atau kultur kita sediri sehingga anak-anak dibentuk untuk lebih mudah untuk mencintai budaya asing?
Saya menjawab, sayangnya seni ini hadir hanya sebagai keterampilan di sekolah. Perlu ada pengenalan lebih jauh tentang seni, mungkin tidak melulu di sekolah, namun bisa ke galeri-galeri atau museum juga. Memang harus ada semacam penyeimbangan. Agar seni tidak dilupakan, mari bersama-sama melakukan sesuatu, seperti workshop, dll. Seperti yang dilakukan CushCush Gallery dengan workshop Charcoal For Children, ada juga Rurung Gallery, mereka buat mural dan setelahnya ada workshop pula.
Berlanjut dengan pertanyaan Willyana kepada Savitri, apakah pengarsipan ini berhubungan dengan hak kaya intelektual atau tidak? Sempat mendengar sebuah kasus bahwa seseorang pernah mengambil foto karya dari I Ketut Made, seniman dari Ubud, lalu itu dihakpatenkan. Ketika Ketut Made akan pameran ke luar, ia mengalami masalah hukum karena karyanya telah dipatenkan orang lain.
Banyak orang Bali yang menganggap hak paten itu tabu, bahwa budayanya bukan tentang pengarsipan atau mematenkan karya. Misalnya ketika lukisan Kamasan ada di Ubud, orangnya merasa bangga pula ketika karyanya dijadikan contoh, sehingga karya itu dipandang sebagai kerja kolektif, bukan perorangan. Sangat susah mempelajari budaya arsip di Indonesia, karena budaya arsip kita sangat lemah. Ketika jaman dulu orang-orang mau membuat karya, itu bukan untuk diri sendiri tapi untuk persembahan. Makanya sering sekali jika ada karya yang bagus, yang keluar adalah nama penguasanya, bukan nama seniman atau arsiteknya.
Bagaimana Savitri melihat di ruang permasalahan itu? Karena Savitri sudah membaca Arsipelago, adakah pencerahan yang relevan tentang hal ini?
Saya menjawab, HAKI adalah hal yang problematik di Indonesia. Sementara untuk kolektif itu, saya juga mengaku bertanya-tanya, adakah kesadaran kolektifnya? Misalnya selama ini, contoh di seni rupa, kesadaran kolektif untuk suatu hal itu ada, namun saya baru menemukan itu belakangan. Ada kumpulan seniman dari Tampaksiring, Amarawati namanya.
Ada satu seniman yang bernama Ida Bagus Grebuak yang membuat patung di mana-mana, di sekitaran Tampaksiring. entah kenapa, karya Ida Bagus Grebuak ini tidak terlalu ditulis dan dibahas. Padahal karya-karyanya di tahun 1900 awal itu sudah sangat berbeda dari lainnya menggunakan teknik tradisi. Dan itu sekarang sudah ada di Belanda. Di pikiran kita, arsip itu kan suatu hal yang didokumentasi, diprint, ditumpuk dan ada di perpustakaan, di museum. Padahal sebenarnya kesadaran kolektif seperti Amarawati itu juga termasuk dokumentasi. Semoga menjadi arsip untuk ke depannya.
Pertanyaan Willyana kepada Ady, Bisa dibilang kalau Summerhill adalah budaya dari luar. Ada tidak budaya atau hal yang bisa diambil dari akar rumput?
Willyana berkaca dari kisah-kisah pewayangan seperti Mahabrata dan kisah lain. Di mana selalu meyajikan jahat dan baik, kalah dan menang. I Kakua dan I Lutung, Pan Balang Tamak yang curang dan ditertawakan saat mati. Tidak ada yang memberi imajinasi tentang kehidupan yang berbahagia jika bersama-sama, tanpa selalu harus ada yang dikalahkan. Dalam kehidupan sehari-hari atau di rumah, adakah yang mendekati cara berpikir di buku Summerhill itu?
Ady mengaku belum tahu apakah di lokal ada pengajaran yang seperti Summerhill. Namun Ady mengaku pernah ikut Youth Cultural Forum di Tenganan Karangasem, yang mana di sana memang ada praktik-praktik pengajaran lokal. Lebih memperlihatkan bagaimana masyarakat Tenganan akan melakukan kegiatan mereka. bertani, dan lain sebagainya.
Hal itu serupa dengan Samin di daerah Kendeng, bagaimana mereka tidak berkecimpung dengan pendidikan formal sekarang. tapi dengan pendidikan khusus berbau kelokalan agar lebih mengetahui apa sebenarnya kebutuhan mereka. Mungkin ada pula yang lain, namun belum disobyah ke khalayak ramai.
Terakhir dari Ruth yang mau menanggapi Ady. Summerhill mengingatkan tentang buku Manajemen Konflik Berbasis Sekolah. Jika Summerhill rujukannya adalah luar negeri, buku Manajemen Konflik Berbasis Sekolah rujukannya adalah Indonesia. Bahwa di Indonesia sebenarnya ada sekolah semacam Summerhill.
Hal menarik dari buku Manajemen Konflik Berbasis Sekolah adalah sebuah program kependidikan yang dianut oleh sekolah Sukma Bangsa di Aceh. Jika Summerhill menyasar anak-anak brandal, sekolah Sukma Bangsa ini menyasar anak-anak korban gempa Aceh yang mengalami syok dan di sana mereka dilatih secara emotional.
Jika berbicara tentang sistem pendidikan di Indonesia, sekolah Sukma Bangsa ini secara sepenuhnya menerapkan sistem swasta, tidak sepenuhnya bergantung pada sistem di atasnya. Mereka mengajarkan bagaimana menyelesaikan konflik dengan teman sebaya. kemudian ada juga kelas dan sekolah damai. Pada dasarnya Indonesia bisa mengadopsi sistem keilmuan semacam itu, tapi sangat sedikit orang yang terbuka dengan hal tersebut. Saran untuk Ady yang bekerja sebagai guru, penting untuk menerapkan hal-hal seperti di Sukma Bangsa ke sekolah-sekolah.
Ady menambahkan, di Jogja juga ada sekolah yang bernama Sanggar Anak Alam yang mirip dengan buku Summerhill School tapi lebih menekankan kearifan lokal.
Sebagai penutup, Ady berharap semoga sekolah kembali lagi menjadi tempat yang mencerdaskan, bukan tempat yang justru memperuncing kelas-kelas sosial. Semoga TBK pun tetap menjadi tempat idola yang mencerdaskan dan tempat yang enak untuk berdiskusi dan bercerita.
Dari saya, tentang Summerhill, dan berkaca pada Green School, sebenarnya ada hal yang bisa dilakukan untuk dunia pendidikan. Bahkan yang berbasis banjar.
Dalam masalah pengarsipan, memang hal yang tidak mudah dimengerti. Harapannya, dengan adanya media seperti sekarang, apalagi dengan adanya Instagram, kita bisa melakukan pengarsipan sendiri. Siapa pun bisa melakukan. Pengarsipan sangat penting dan harus aktif agar ingatan dan cerita itu tidak hilang. Jika ke depannya ada suatu konflik, dan orang bertanya kenapa itu bisa terjadi, ada arsip yang bisa dibaca. Saya juga berharap dengan adanya teknologi seperti sekarang, kita bisa terus menerus mengarsip. Karena story telling itu perlu sekali.
Intan menambahkan bahwa, buku-buku yang dibahas di sesi ini sangat penting untuk menambal hal yang masih bolong-bolong dalam sistem pendidikan Indonesia yang hanya text book saja.