Pesta Baca 2019 di Taman Baca Kesiman juga mengarsipkan pesan dua penulis yang wafat namun meninggalkan jejak buah pikirnya yang abadi. Jejak Langkah dan Kala, Waktu, dan Kematian.
Marmar membahas karya Ida Bagus Made Dharma Palguna, bukunya berjudul Kala, Waktu dan Kematian. Palguna adalah intelektual Bali yang sangat rendah hari, meski selama hidupnya sudah menghasilkan 23 karya. Ia lahir 10 Januari 1962 dan meninggal pada 27 Oktober 2017. Studi S1 di Fakultas Satra Universitas Udayana, kemudian S2 dan S3 di Leiden, Belanda.
Marmar merespon salah satu buku dari dua seri tentang Pengantar Mati Cara Bali, terbit 2008. Buku Kala: Waktu dan Kematian adalah buku seri pertama dan yang kedua adalah Semana Santaka.
Sementara Lisa Ismiandewi, auditor fair trade mempresentasikan buku Pramoedya seri ketiga berjudul Jejak Langkah. Buku Jejak Langkah ini sempat dilarang. Terbit pertama tahun 1985, waktu itu Pram menjadi tahanan rumah.
Apa kaitan Pramoedya dengan Ida Bagus Made Palguna? Skripsi Palguna tentang Pramoedya yakni buku Bumi Manusia. Waktu itu Palguna masih mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Udayana, pada zaman orde baru ketika semua orang masih melarang, susah mendapat buku Pram, tapi ia dengan berani menjadikan skripsi. Palguna pernah bertemu langsung dengan Pramoedya. Ia menjadi salah satu orang yang disayangi Pram.
Lisa Ismiandewi memilih buku Jejak Langka, buku ketiga dari tetralogi Pram. Ia baru membaca Pram sejak 2018. Buku ini pertama membahas Minke. Yang dilihat adalah sisi humanis Minke yang jatuh cinta pada Ang San Mei, yang digambarkan oleh Pram sebagai gadis cantik tapi penyakitan. Lisa melihat dia sangat mengagumi kecantikan yang tidak kosong. “Saya sebagai perempuan sangat mengagumi tokoh ini bahwa melihat perempuan tidak hanya dari fisik, tapi kualitas,” respon Lisa.
Ang San Mei meninggal dan Minke dipecat dari sekolah kedokteran, sampai akhirnya ia memulai organisasi koran dan majalah dengan biaya sendiri. “Nah, itu yang saya pelajari adalah bagaimana ia memulai korannya sendiri dengan biaya sendiri. Saat itu kebetulan ketika saya memulai bisnis Dewi Umbi ini saya sedang membaca buku Jejak Langkah ini,” lanjut Lisa yang mengajak ibu-ibu mengolah umbi-umbian sebagai pangan alternatif. Ia mengaku belajar dari Minke. Bagaimana rasanya ditolak oleh customer, bagaimana rasanya menghubungi kelompok ibu-ibu yang mau nggak mau bekerjasama sama bisnis umbi-umbian, atau petani-petani umbi dan petani gula. Proses berorganisasi, proses mengenal, belajar mengelola perasaan ketika ditolak pihak yang diajak bekerjasama.
Ketiga, buku ini juga bercerita tentang organisasi dan syarikat perdagangan Islam. Lisa belajar tentang perdagangan, bercermin dengan diri sendri, karena ketika memasuki dunia aktivis, ia memandang bisnis sebagai hal tabu. Misalnya banyak bisnis yang tidak peduli dengan lingkungan. Lalu apakah bisa seorang aktivis memulai bisnis? “Di sini saya belajar bagaimana bisa membuat bisnis yang ramah lingkungan, sebagai seorang bisnis bisa dengan yang lokal dan peduli lingkungan,” lanjut perempuan muda ini.
Selanjutnya buku ini juga membahas tentang bagaimana melawan para penguasa. Para penguasa yang di zamannya menguasai gula. Di buku ini juga disebutkan tentang monopoli, tentang boikot. Minke rela berkorban.
Marmar tentang Kala, Waktu, dan Kematian
Bagaimana asal-muasal Marmar Herayukti, musisi, arsitek ogoh-ogoh, dan pengurus adat ini membaca buku Ida Bagus Made Dharma Palguna? “Ceritanya tidak jauh-jauh dari Taman Baca, waktu itu ketika saya ngobrol dengan Jik Alit. Jik Alit bilang, ada buku untuk saya. Waktu itu saya dibawain buku, dan salah satunya buku ini, dan semuanya itu buku Ida Bagus Made Dharma Palguna,” paparnya.
Sekitar 3 bulan setelah diberikan buku ini, ia diajak membahasnya di Pesta Baca. Ia merasa ini bukanlah hal yang kebetulan, dari diberikan buku ini, lalu berkesempatan bertemu Palguna. Setelah acara bedah buku, pertemuannya dengan Palguna, penulis ini meninggal. “Jadi buku ini adalah kenangan dari beliau. Saya rasa semua buku dari Dharma Palguna patut untuk saya ikuti. Saya rasa itu adalah pesan khusus untuk saya sendiri,” lanjutnya.
Sesi diskusi diisi pertanyaan beragam topik. Misalnya soal fair trade di komoditas gula aren.
Lisa menyebut fair-trade susah untuk dilokalkan. Ia mengenal gula aren sejak 2016. “Saya tertarik karena saya pernanh mencicipi rasanya dan sehat,” ujarnya. Tentang umbi-umbian juga bagus pengganti nasi. Hingga muncul niat untuk mengobinasikan bisnis ini. “Saya melihat kalau gula dibiarkan seperti ini, jarang sekali orang-orang mau membeli. Lalu ketika diubah menjadi permen, dan bagaimaana memberikan nilai tambah pada umbi dan gula aren ini,” papar Lisa.
Menurutnya ini bisnis yang baru. Ia bekerja sendiri, riset, dan memberikan nilai tambah pada umbi dan gula aren.
Sementara itu Guna mengajukan dua pertanyaan pada Marmar. Kenapa harus menjadikan sastra sebagai filosofi dalam berkarya? Apa yang bisa kita pelajari dari anak-anak dan waktu?
Marmar menyebut sastra adalah sesuatu yang tertulis, sebuah cara pandang yang ditulis lalu bisa dibaca. “Saya bukan penulis, tapi saya ingin menuliskan sesuatu dalam bentuk karya. Saya tidak ingin mencetak buku tanpa isinya. Itu sama seperti saya. Dalam hal berkarya setiap detiknya saya gunakan untuk tidak menyia-nyiakan waktu,” tuturnya.
Merespon kematian, Marmar mengatakan kita diberi jatah hidup dalam bentuk fisik. Tapi kalau kita tidak gunakan secara baik, maka jatah ini akan berkurang setiap detiknya bahkan akan dipersingkat. Kaitannya dengan anak-anak, siapa yang bisa selamat atau bisa bernegosiasi dengan sang kala atau kematian ini adalah orang-orang yang menjalankan swadarmanya. “Tidak seperti kita yang banyak keinginan. Anak-anak akan melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang diinginkan dan berguna untuk dirinya sendiri,” ujarnya.
Sementara itu Sani bertanya tips membaca, melewati waktu tanpa menyalahkan diri sendiri. Marmar menganggap apa yang ia lewati adalah berproses. Agar bisa enak membaca menurutnya hal yang berat. “Kita butuh kesiapan, saya harus mempersiapkan diri untuk membaca sesuatu. Kalau ingin membaca buku ketahui dulu apa yang dibaca, pilih wantu dan siapkan energi yang tepat untuk membaca, ketahui apa yang kita butuhkan dari buku itu,” urainya.
Ia menyontohkan saat mabuk pernah merepotkan banyak orang dan diri sendiri. Ia mengutip kalimat dalam buku, bahwa kematian bukanlah ketakutan yang antiklimaks. Kematian adalah tujuan, bagaimana kematian itu ada gunanya. Ia percaya kematian kehendak yang di atas, dan apa yang kita lakukan sehingga kematian itu terjadi.
Dari dua buku yang dibahas, Arda bertanya apa yang kurang disetujui dari buku itu.
Menurut Lisa, Jejak Langkah ini tebal, alurnya membuat emosi naik turun. “Yang saya tidak setuju dari buku ini, kenapa dia berjalan sendiri menghadapi masalah dan menanggung beban sendiri, dia tidak menceritakan dengan istrinya. Yang saya sayangkan kenapa Minke mengklaim dia menanggung beban sendiri,” sebutnya. Sementara bagi Marmar, tak ada yang membuatnya berbeda pandangan karena ia belajar banyak tentang konsep hidup dari buku Palguna.
Rai, peserta diskusi lainnya bertanya soal ogoh-ogoh, tentang styrofoam, dan apakah ada kreativitas ogoh-ogoh yang menggambarkan konflik sosial? Marmar berkeyakinan, ogoh-ogoh menjadi media yang bisa mengena setiap tahunnya. Kadangkala bantuan untuk ogoh-ogoh, bisa permudah dari segi dana tapi merusak kreativitas. “Ada atau ngga ada bantuan untuk ogoh-ogoh, digunakan sebaik-baiknya. Buatlah ogoh-ogoh sesuai yang diperlukan. Buatlah ogoh-ogoh yang tidak foya-foya,” harapnya. Sastra bisa membuat Marmar berubah. Begitu juga Lisa. Terkait pelarangan buku, Marmar beri ide untuk siasati sedikit. Jika dilarang membaca buku di pasaran, akses buku itu di luar pasar.
Sementara ide dari Lisa, berbagi dengan teman. “Tidak boleh berhenti membaca, buku adalah nutrisi untuk pikiran. Setidaknya dalam sehari kita membaca,” ujarnya.