Teks Astarini Ditha, Foto Anton Muhajir
Singgah ke pantai Batu Bolong Canggu, bagi saya tak ada kesan istimewa.
Sama, tak jauh beda dari banyak narasi dan opini khalayak yang mewartakan ironi pantai-pantai di Bali. Ironi yang menyajikan dualisme fungsi pantai antara penunjang tradisi sekaligus kebutuhan pariwisata. Mari lihat pesisir pantai-pantai yang membentang di kaki pulau: Kuta, Sanur, Seminyak, Legian, Canggu, dan seterusnya.
Jumat siang itu, salah satu Banjar di Dalung sedang melakukan ritual penyucian di pura dekat pantai. Di sebelah timurnya para peselancar sedang menjajal ombak, tiga turis asing ber-wisata kuda, tiga turis bersama guidenya duduk di bangku-bangku restoran, seorang lelaki yang sedang menyedot air laut untuk keperluan akuarium, seorang turis Asia yang sedang memotret laut, dan para penawar jasa yang sudah siaga.
Tapi saya tidak sedang membahas soal pantai dengan dualismenya yang menjadi ironi itu. Saya akan membahas obrolan singkat dengan Wayan, warga Canggu yang berbisnis penyewaan papan selancar di Pantai Batu Bolong. Ketika ia berkomunikasi dengan pasangan turis yang lewat, ketika ia terbiasa membaca perilaku para pelancong, juga bicara soal tanah bangunan restoran yang dikontrak bule. Adanya vila-vila dan tempat-tempat semacam retreat di kawasan itu.
Sejak kapan kemudian masyarakat Bali familiar dengan adanya rumah inap sementara macam hotel atau villa juga bar-bar dan kafe-kafe yang menghuni pesisir pantai di Bali. Atau cerita soal tanah-tanah yang dikontrak orang asing untuk berbisnis di Bali. Aktivitas yang berkaitan juga dengan “perdagangan”.
Narasi yang biasa. Hanya saja saya ingin sedikit berkunjung ke pustaka yang merujuk pesisir pantai sebagai “cikalnya suatu peradaban” melalui interaksi orang-orang lintas teritori. Budaya, semacam kebiasaan di pesisir pantai dan implikasi dari interaksi.
Pada zaman kerajaan-kerajaan dulu, interaksi antara pendatang dan penduduk setempat utamanya karena aktivitas perdagangan. Lalu mulai menyentuh akulturasi, mulai ada penyebaran pengetahuan, soal agama, pengobatan, seni, dan sebagainya.
Peradaban Pesisir kemudian menjadi tinjauan akademis untuk melacak suatu keterkaitan, peradaban bersama yang lahir dari interaksi pesisir. Misalnya buku Adrian Vickers tentang Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Dia mengambil contoh cerita-cerita Panji yang ada di Jawa, Thailand, Melayu juga di Bali. Gagasannya: menelusuri soal perangkulan dan perubahan, dengan konsep masa silam dan masa kini.
Interaksi di pesisir pantai diyakini melahirkan adanya “peradaban”. Ya, Pesisir pantai yang merekam sejarah suatu peradaban, suatu kebudayaan yang lahir dari interaksi antara orang-orang lintas teritori.
Melalui Interaksi yang intens. Para pendatang membawa tradisi – perilaku masing-masing, mengajarkan ilmu-ilmu, seni, terjadi intrik-intrik sosial politik dengan penguasa setempat dll yang sungguh memperkaya ragam kehidupan masyarakat setempat. Keragaman yang menyentuh segala aspek; ekonomi, budaya, sosial dan sebagainya.
Keragaman yang menyuguhkan banyak cerita tentang suatu zaman. Zaman ini misalnya, yang dibilang jaman global yang sudah jauh modern, canggih, dan megalomania. Zaman ketika teks-teks memuat soal invasi, ironi dan tragedi di Bumi Bali. Yang sebentar lagi entah akan menjelma jadi pulau berstigma apa.
Sekali lagi hanya tentang interaksi, pesisir pantai dan suatu riwayat. Tidak ada tendensi yang menabukan pergaulan global. Suatu tempat menyimpan riwayatnya, yang merekam jejak-jejak peradaban manusia di jamannya. Kelak mereka barangkali jadi saksi, soal transisi kehidupan yang terjadi pada masyarakat di zamannya. [b]