Sesuai dengan judul yang saya tuliskan di atas, tulisan ini memang ditujukan untuk para pemilik mobil. Khususnya pemilik mobil yang tidak memiliki garasi dan memarkirkan mobilnya di badan jalan. Sebagai pengguna sepeda motor yang baik dan budiman, saya cukup terganggu dengan begitu banyaknya mobil yang terparkir di badan jalan. Sepertinya apa yang saya katakan juga pembaca lihat dan alami di setiap harinya. Lalu sampai kapan fenomena ini akan terus berlangsung?
Mobil: Sebuah Kebutuhan Hingga Pemenuhan Status Sosial
Bagi saya, mobil adalah moda transportasi yang berfungsi memindahkan orang dari satu lokasi ke lokasi lain dengan berbagai kenyamanan yang ditawarkan. Tapi, di sisi lain mobil juga menjadi bentuk pencapaian dan dapat meningkatkan status sosial seseorang. Semakin mahal mobilnya, semakin tinggi pula status sosialnya. Hal ini dapat dipandang lewat Teori Hirarki Kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Dalam teori tersebut, Maslow menyebutkan bahwa hirarki kebutuhan adalah teori tentang motif manusia dengan cara mengklasifikasikan kebutuhan dasar manusia dalam suatu hirarki, dan teori motivasi manusia yang menghubungkan antara kebutuhan-kebutuhan dengan perilaku umum.
Maslow sendiri menyebutkan bahwa manusia akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan yang paling dibutuhkan sesuai dengan waktu, keadaan, dan pengalaman dirinya dalam mengikuti suatu hirarki. Ia menggolongkan kebutuhan manusia menjadi lima kebutuhan dasar, yakni: kebutuhan fisiologis, keamanan (safety), dimiliki dan cinta (belonging and love), harga diri (self esteem), dan kebutuhan aktualisasi diri.
Kebutuhan fisiologis termasuk ke dalam kebutuhan primer untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis manusia seperti oksigen, makanan dan minuman. Kebutuhan keamanan (safety) bisa diartikan sebagai kebutuhan terhadap rasa aman, kemantapan, perlindungan, bebas dari rasa takut, kecemasan, dan kekalutan—hal ini juga melibatkan cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki di dalamnya. Kebutuhan dimiliki dan cinta adalah kebutuhan untuk diterima keberadaannya dalam satu lingkungan tanpa membedakan satu hal apapun. Kebutuhan harga diri merupakan kebutuhan individu untuk diakui keberadaannya oleh pihak lain. Terakhir, kebutuhan aktualisasi diri yang lebih mengacu pada kebutuhan terhadap perwujudan diri. Kebutuhan ini biasanya dapat dipenuhi jika empat kebutuhan sebelumnya sudah terpenuhi.
Berdasar uraian di atas, kepemilikan kendaraan dalam hal ini adalah mobil dapat diklasifikasikan ke dalam kebutuhan atas rasa aman (safety) atau kebutuhan atas harga diri (self esteem). Mari bahas satu per satu, kepemilikan mobil dapat disebut sebagai pemenuhan atas rasa aman ketika seseorang memang menjadikan mobil sebagai alat atau jasa yang dapat menghadirkan rasa aman. Aman dari teriknya matahari, derasnya hujan, hingga melindungi diri benturan dari kendaraan lain yang dapat menimbulkan cedera. Namun berbeda ketika seseorang menjadikan mobil sebagai alat atau jasa yang memberikannya rasa percaya diri atau dengan kata lain dapat meningkatkan status sosialnya, maka mobil tersebut dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan atas harga diri. Lalu, apakah dengan memarkirkan mobil di badan jalan adalah sebuah cara untuk menghadirkan rasa aman atau terpenuhinya kebutuhan atas harga diri?
Parkir di Badan Jalan dan Konsekuensinya
Mungkin pertanyaan di atas dapat terjawab pada bagian ini. Mungkin mobil akan memberikan rasa aman dan nyaman kepada seseorang saat dalam perjalanan, tapi saat mobil terparkir di badan jalan, apakah pemilik mobil akan merasa aman untuk meninggalkannya? Saya yakin tidak. Rasa was-was pasti akan selalu menghinggapi si pemilik mobil. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi di jalan? Risiko mobil terserempet hingga tertabrak kendaraan lain yang sedang melintas bisa saja terjadi—hal tersebut tentu saja memberi rasa tidak aman kepada si pemilik mobil dan si pengguna jalan. Hal ini dikarenakan mobil yang terparkir di badan jalan tersebut pasti mengganggu pengguna jalan lain.
Lalu, apakah dengan memarkirkan mobil di badan jalan dapat meningkatkan status sosial? Tentu saja tidak. Justru hal sebaliknya akan menimpa si pemilik mobil. Mungkin saja omongan miring seperti “Beli mobil bisa, tapi buat garasi gak bisa. Dasar orang kaya baru!” atau “Enggak bisa mikir? Sebelum beli mobil, harusnya siapkan garasi dulu!” bisa saja diterima si pemilik mobil. Hal ini tentu tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan atas harga diri yang dimaksud. Apalagi si pemilik mobil berpotensi melanggar hukum—selain sanksi sosial, sanksi dari negara pun menanti si pemilik mobil.
Parkir sendiri merupakan keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan oleh si pengemudi. Apabila parkir dilakukan pengemudi di badan jalan, maka perlu dilihat kembali apakah badan jalan tersebut diperuntukkan untuk parkir atau tidak yang dinyatakan lewat rambu lalu lintas/marka jalan. Mengingat bahwa badan jalan adalah salah satu ruang manfaat jalan yang merupakan jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan yang peruntukkannya demi kepentingan umum. Berangkat dari penjelasan tersebut, dapat disampaikan bahwa setiap orang tidak diperbolehkan memanfaatkan ruang jalan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dengan berkurangnya kapasitas jalan dan berkurangnya kecepatan lalu lintas. Badan jalan dapat dijadikan tempat parkir atau berhenti hanya dalam keadaan darurat saja.
Lantas aturan apa yang dilanggar jika seseorang memarkirkan mobilnya di badan jalan? Perilaku tersebut berpotensi melanggar pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan.”
Sanksinya juga sudah dijelaskan pada pasal 62 ayat 3 yang berbunyi:
“Terhadap Kendaraan Bermotor yang berhenti atau Parkir bukan pada tempatnya dapat dilakukan penindakan sebagai berikut: a. penguncian ban kendaraan bermotor; b. pemindahan kendaraan dengan cara penderekan ke fasilitas parkir yang sudah ditetapkan atau ke tempat penyimpanan kendaraan bermotor yang disediakan oleh Pemerintah Daerah; c. pencabutan pentil ban kendaraan bermotor.”
Parkir di pinggir jalan juga dianggap dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi rambu lalu lintas dan marka jalan. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah dijelaskan sanksinya, yakni pada pasal 275 yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan dan atau denda paling banyak Rp250.000.”
Perlu saya dan anda pahami bersama bahwa jalan adalah fasilitas publik yang pemanfaatannya tentu demi kepentingan publik. Bukan demi kepentingan perseorangan atau kelompok. Penggunaan badan jalan sebagai tempat untuk memarkirkan mobil pribadi tidak bisa dipungkiri adalah tindakan yang dilakukan demi kepentingan sendiri dan mendatangkan kerugian kepada orang lain.
Jalan yang semestinya dapat memperlancar sirkulasi aktivitas, terhambat karena puluhan mobil pribadi terparkir di badan jalan. Pemandangan ini dapat disaksikan setiap hari di salah satu ruas jalan di Kota Denpasar. Pemilik mobil dengan santai dan tanpa rasa bersalah selalu memarkirkan mobilnya di badan jalan, dan itu dilakukan setiap hari. Pertanyaannya, kemana aparat penegak hukum? Apakah beberapa pasal yang saya sebut tadi hanya sekumpulan kata tanpa konsekuensi bagi si pelanggar? Atau memang saya dan anda harus menunggu sanksi sosial berjalan untuk menyadarkan si pemilik mobil untuk membuat atau menyewa garasi sebagai tempat mobilnya beristirahat? Atau mungkin ada solusi lain? Silakan beri pendapat kalian.