Oleh Agus Wiratama
Kalau diingat-ingat, pertemuan ini bisa dikatakan sangat miris.
Kurang elok rasanya menceritakan hal ini. Tetapi sebagai catatan awal tahun Teater Kalangan, akan saya ceritakan juga bagaimana awal pertemuan saya dengan Teater Kalangan. Saya tersesat karena ketidaksengajaan meskipun sebenarnya kecintaan saya terhadap kesesatan ini mulai dipupuk sejak awal kuliah secara perlahan.
Ya, awalnya saya merasa kesepian. Bisa dikatakan pada saat itu saya “krisis eksistensi”.
Ketika itu saya sudah berada di ujung masa kuliah (masih sama seperti sekarang), terlebih ketika itu saya seperti tokoh aku dalam naskah Putu Wijaya yang berjudul “Matahari Terakhir”. Ditinggalkan oleh Nensi dan dipenjara oleh kesepian. Sepi karena teman-teman sudah mulai sibuk bergulat dengan tugas akhir kuliah. Sementara saya, sibuk mehibur diri.
Saya juga sudah renta di organisasi kemahasiswaan yang dulunya menjadi tempat mendapat eksistensi. Itulah lonjakan awal pertemuan saya dengan Teater Kalangan, meskipun orang-orang di dalamnya yang sudah saya kenal sejak menjadi balita di Kampus Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), tepatnya di Komunitas Cemara Angin.
Masa paceklik itu membuat saya bersemangat mengunjungi berbagai acara sastra dan teater di Singaraja. Sejak itu pula saya mulai belajar hidup di tengah-tengah ketersesatan dan keterasingan itu. Namun, secara perlahan semua berangsur-angsur menjadi tak asing.
Ternyata, masa paceklik itu mengantarkan saya bertemu dengan Teater kalangan yang memberi kesempatan untuk belajar mendengar orang ngobrol dengan topik yang asing, dan belajar menulis curhatan seperti sekarang.
Teater Kalangan juga telah mengantarkan saya bertemu dengan Komunitas Mahima yang akhirnya menjadi rumah. Rumah sekaligus tempat saya belajar menulis, dan belajar ngobrol, meskipun setiap tikar obrolan dibuka saya selalu mencari sudut mati yang sepi untuk diam. Di rumah belajar Komunitas Mahima, saya bertemu dengan Made Adnyana Ole dan Kadek Sonia Piscayanti.
Sutradara Teater Kalangan, I Wayan Sumahardika mengatakan saya “tersesat”, mendengar itu saya tertawa. “Daripada tersesat, kan lebih baik tersesat sekali” pikiran itu membuat saya pasrah “terdorong” (baca: diantar) untuk lebih mengenali pelaku-pelaku dunia tersebut. Ya, saya dipertemukan dengan orang-orang yang sebelumnya hanya saya kenal melalui pembicaraan.
Lantas, setelah pertemuan itu, saya merasa menjadi serpihan kecil yang mengambang di tengah lautan luas. Pembicaraan, lelucon, gerak-gerik tubuh orang-orang itu ternyata sangat asing. Sangat berbeda dari apa yang selama ini saya lakukan dan bayangkan.
Pertemuan-pertemuan ini seolah-olah seperti sangat teratur. Usai babak pertama sebagai penonton untuk beradaptasi, babak-babak selanjutnya saya bertemu dengan kelompok-kelompok teater di Denpasar sebagai pelaku. Orang yang diperkenalkan pertama dan terkadang menggertak saya kalau diam tak berkomentar di lingkaran adalah Jong. Setelah mengenal sosok ini, saya teringat iklan motor di media “Si gesit irit” absurd, susah dijelaskan. Sama seperti Suma dan Gede Gita.
Orang-orang inilah yang menanam banyak hal pada saya. Suma, selain mengantar saya untuk semakin tersesat, ia selalu meyakinkan saya untuk berani memiliki cita-cita. Saya selalu diingatkan. “Ikut berteater tidak harus menjadi aktor atau sutradara, tapi gunakan teater untuk menjadi apa yang kau inginkan,” katanya. Di sini saya baru sadar bahwa teater tak hanya soal sutradara, aktor, panggung, dan penonton. Teater lebih dari itu adalah sebuah jembatan untuk mencapai tujuan.
Gede Gita yang sering mengajak saya curhat dan membicarakan hal-hal yang terkadang tidak bisa saya pahami, sesekali juga dengan senang hati mau menemani saya untuk membicarakan tulisan saya dan menyadari kekurangan-kekurangan di dalamnya, selain mengingatkan saya pentingnya hidup bersama agar tidak merasa sendirian. Sementara pertemuan saya dengan Jong memang tak seintens pertemuan saya dengan Suma dan Gede Gita, tetapi dengan semangatnya yang selalu berkobar itu, semakin mantaplah saya untuk yakin akan hal yang ingin saya dapatkan dari teater.
Pertemuan akhirnya berlanjut pada pertemuan dengan beberapa teman-teman dari Teater Angin dan Teater Orok. Pertemuan-pertemuan seperti ini akhirnya membuat saya tidak merasa sendiri lagi. Dan yang terpenting, saya tidak berpikir tentang “Nensi” lagi.
Pada beberapa proses, saya lebih banyak bertugas sebagai tim produksi, dan pernah juga sebagai properti. Tetapi, pada Wisata Monolog Teater Kalangan yang berlangsung Desember tahun lalu, saya menjadi salah satu aktor. Di situ saya mendapat hal-hal baru lagi.
Sebenarnya, pada diskusi-diskusi kecil, hal-hal itu pernah dibicarakan, tetapi ketika saya merasakannya secara langsung, hal-hal itu menjadi benar-benar baru. Di situ saya belajar subteks, kesadaran tubuh, kesadaran ruang, dan alasan berteater. Lalu, pada proses itu berlangsung, saya rasanya ingin menyerah saja, sebab saya tak mampu memahami teks.
Diri saya sendiri memang susah untuk saya pahami. Sangat bertentangan. Sebab pada satu sisi saya ingin belajar, tapi di sisi lain saya dengan mudah ingin menyerah, terlebih ketika melihat kemampuan teman-teman saya yang sudah jauh melampaui kemampuan saya.
Ketika melihat kiri-kanan, semua sudah menancapkan tiang pondasi untuk berdiri, sementara tiang saya sendiri tak mampu terbangun dengan kokoh. Situasi seperti inilah yang membuat saya selalu ingin menyerah.
Tetapi, saya tak bisa kembali. Ini benar-benar ketersesatan. Apabila saya kembali, saya akan merasa asing di dunia seperti sebelum bergabung Teater Kalangan. Mungkin juga apabila kembali hal itu malah akan membuat saya menjadi arogan karena telah mencicipi teater dengan setengah-setengah.
Jadi, pilihan saya adalah bertahan di sini dan terus belajar di lingkaran ini. Sama seperti program teater kalangan yang telah tersusun untuk tahun 2018, saya pun sudah menyiapkan target tahun ini. Sederhana, saya tidak ingin terus-merus berada di sudut mati setiap obrolan dibuka. Ya, pada tahun ini saya harus bisa ngobrol, bukan pendengar saja, tentunya selain memperkokoh pondasi untuk identitas saya di lingkaran ini.
Umur saya masih sangat muda di dunia seperti ini, maka orientasi itu terus berlangsung hingga saat ini. Namun, itulah proses. Dalam hal ini saya selalu mendapat sesuatu yang baru meskipun bila ditanya “apa saja yang kau dapat?” saya akan menjawab secara tertatih-tatih. Apa daya, daya serap yang tak terlalu tinggi membuat atrisi informasi lebih tinggi ketimbang yang mampu ditampung. Namun, sadar dengan kemampuan yang terbatas membuat saya selalu bersyukur bisa bergabung di Teater kalangan yang telah membuat saya tidak merasa sendirian dan memperkenalkan banyak hal-hal baru. [b]
Biodata Penulis
Agus Wiratama lahir di Pengembungan, 19 Agustus 1995. Asal Br. Pengembungan, Desa Pejeng Kangin, Gianyar, Bali. Kini menetap di Singaraja untuk menempuh S1 di jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha). Berproses dan mengenal sastra pertama kali di Komunitas Cemara Angin. Sempat menjadi wakil kepala suku Komunitas Cemara Angin periode 2015/2016.
Mulai belajar menulis di Komunitas Mahima. Sempat berproses dengan Teater Kampung Seni Banyuning, UKM Teater Kampus Seribu Jendela, dan Teater Ilalang SMA LAB Undiksha. Cerpennya meraih juara harapan dalam lomba penulisan cerpen HMJ Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha se-Bali. Kini, sembari mengejar cita-cita jadi cerpenis, ia nyambi jadi aktor dan tim produksi di Teater Kalangan.
Comments 1