Efek Rumah Kaca salah satu band indie favorit saya.
Mendengar salah satu lagunya, “HILANG”, ingatan saya melayang ke masa 1997 – 1998, saat banyak aktivis dihilangkan (?). Tahun-tahun itu, saya hanyalah seorang karyawan seperti orang lain pada umumnya.
Saya hanya bisa mengikuti perkembangan dari televisi dan cukup hanya bisa merenung dalam hati tanpa bisa berbuat apa-apa untuk sekadar bersimpati pada mereka yang hilang karena diculik.
Saya berasumsi bahwa mereka yang hilang pastinya sudah dibunuh. Sebab hingga sekarang belum jelas jejak keberadaan mereka dan dari pihak yang berwenang pun belum pernah menyampaikan sesuatu tentang keberadaan mereka.
Hal ini cukup aneh. Indonesia memiliki badan intelejen yang sudah diakui sangat mumpuni dalam melacak kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan terhadap negara. Namum, mencari aktifis yang hilang sepertinya mereka tidak sanggup.
Maka tidaklah mengherankan kalau banyak orang beranggapan bahwa para aktivis itu diculik dan dibunuh untuk kemudian dihilangkan jejaknya.
Meskipun situasinya tidak segawat 1998, sejumlah kriminalisasi, intimidasi, dan fitnah terhadap para aktivis Bali Tolak Reklamasi belakangan ini membawa ingatan saya kembali ke tahun itu. Memang pola-pola penculikan maupun penghilangan nyawa seperti era 1998 an itu terlalu riskan jika hendak diterapkan saat ini, tapi dalam hal ini saya melihat pola yang sama pada perlakuan negara terhadap rakyatnya.
Ketika negara merasa terdesak dan tidak punya jawaban terhadap tuntutan rakyatnya maka mereka akan cenderung reaktif serta selalu melihat akibatnya bukan mencoba mencari penyebab akar sebuah persoalan. Bodohkan atau kurang kritis kah mereka?
Hal ini tidak terlepas dari perselingkuhan yang mesra antara kekuatan modal (pengusaha) dengan kekuatan birokrasi (penguasa) yang didukung kekuatan senjata (aparat). Kekuatan kapitalah yang membuat mereka bodoh dan mengabaikan amanat yang seharusnya mereka laksanakan.
Sejarah Kelam
Yang menjadi pertanyaan, mengapa cara-cara Orde Baru tetap dipakai padahal waktu dan zaman sudah berubah? Ya, zaman boleh berubah, ‘pemain’ boleh berganti, tapi pola permainannya tetap sama.
Polanya tidak jauh-jauh dari intimidasi dan pembungkaman.
Berkaca dari sejarah, cikal bakal dari pola seperti ini tentu tidak lepas dari sejarah kelam ketika pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto harus diawali dengan tindak kekerasan dengan isu kudeta oleh PKI yang merupakan justifikasi bagi militer di bawah kepemimpinan Pak Harto untuk menumpas pihak-pihak lawan.
Intinya pondasi negara dilandasi oleh kekerasan dan sejak itu terjadi indoktrinasi bahwa setiap tindakan yang menentang (kebijakan) penguasa adalah subersif dan harus ditumpas. Dan, seperti kita ketahui, peristiwa G30S PKI sampai kini masih tetap misteri dan tidak jelas bagaimana kronologisnya dalam penjelasan sejarah.
Pemerintahan yang didasari kekekerasan dan kebohongan akan selalu mengulangi pola yang sama untuk melawan rakyatnya sendiri. Dalam banyak hal mereka memang berhasil. Tapi dalam kasus pembungkaman terhadap gerakan BTR, mereka sepertinya salah tingkah dan secara tidak langsung membuka aib mereka sendiri baik lewat pernyataan maupun lewat tindakan.
Lucunya bukan berupa tindakan kekerasan dari rakyat yang membuat mereka kikuk, melainkan kreativitas. Ini tentu di luar perhitungan mereka. Namun mereka selalu berusaha memancing agar pihak rakyat membalas dengan kekerasan namun mereka tidak berhasil. Rakyat Bali punya cara sendiri untuk melawan.
Permainan boleh sama oleh para pemain berbeda, namun sepertinya pola apa saja yang dipakai tidak bisa meredam gerakan BTR yang justru malah semakin membesar. Panjang umur perlawanan! [b]