Dengan sekuat tenaga, Hamdani melemparkan pakan ikan ke keramba.
Begitu pelet-pelet jatuh ke air, ikan-ikan pun langsung naik ke permukaan. Air berkecipak ketika ikan-ikan kakap yang siap dipanen itu saling berebut makanan pada Kamis, 10 Mei 2018 lalu.
Dibantu karyawan lain, Kepala Bagian Pembesaran di PT Bali Barramundi, itu kembali mengambil pelet dari karung, memindahkan ke ember, lalu melempar pelet-pelet itu lagi ke dalam keramba. Ikan-ikan kembali berebutan.
Keramba tempat Hamdani dan temannya memberi pakan petang itu adalah salah satu dari 29 keramba milik PT Bali Barramundi, perusahaan budi daya ikan di Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Lokasinya di pantai utara Bali berjarak sekitar 40 km di utara Singaraja, ibu kota kabupaten di bagian utara Bali ini.
Selain bertugas memberi pakan, Hamdani juga mengawasi kesehatan ikan. Tiap hari, dia dan karyawan lain memeriksa ikan-ikan tersebut dengan cara menyelam. “Jika ada yang mati, ikan yang mati langsung diambil agar tidak menular ke ikan lainnya,” katanya.
Hamdani menambahkan, saat ini perusahaan tempat bekerjanya itu semakin memperhatikan aspek kesehatan ikan-ikan yang mereka budidayakan.
PT Bali Barramundi memulai usahanya sejak 2012 dengan empat keramba. Dalam enam tahun mereka sudah berkembang menjadi 29 keramba, dengan 18 keramba perawatan (nursery) dan 11 keramba untuk pembesaran (grow up). Mereka juga memiliki tempat pembenihan (hatchery) tak jauh dari lokasi tersebut.
Perusahaan budi daya ini memasok ikan kakap dan kerapu ke pasar domestik, seperti restoran dan hotel di Bali, maupun ekspor terutama ke Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Proporsinya kurang lebih sama: masing-masing 50 persen.
Tak semata bisnis, selama setahun terakhir, PT Bali Barramundi juga mulai memperhatikan aspek lain yaitu sosial dan lingkungan. Perubahan yang mereka lakukan, misalnya, dengan membuat tempat pengelolaan sisa ikan rucah di pantai.
“Sebelumnya, kami membuang sisa ikan rucah begitu saja ke laut karena sebenarnya memang tidak berbahaya juga untuk lingkungan laut,” kata Dharma Manggala, Manajer PT Bali Barramundi.
Ikan rucah adalah ikan jenis kecil-kecil yang biasanya jadi makan ikan yang dibudidayakan. Dari sebelumnya dibuang begitu saja ke laut, kini sisa ikan rucah itu dikelola ke semacam tangki pembuangan (septic tank) agar tidak langsung ke laut. “Karena standarnya memang mengatur demikian,” Dharma menambahkan.
Standar FAO
Standar yang dimaksud Dharma merupakan standar sesuai prinsip Seafood Savers, landasan antar-pelaku usaha (business-to-business) perikanan agar berkelanjutan. Seafood Savers mengacu pada standar Kode Perilaku Perikanan yang Bertanggungjawab (CCRC) dari Badan PBB untuk Pertanian dan pangan (FAO).
Standar ini diturunkan menjadi dua sertifikasi ekolabel. Marine Stewardship Council (MSC) untuk perikanan tangkap di laut lepas dan Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk perikanan budi daya.
WWF Indonesia menginisiasi program Seafood Savers sejak sembilan tahun lalu. Organisasi lingkungan ini bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan perikanan tangkap maupun budi daya agar mereka menerapkan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan sesuai standar FAO tadi. WWF Indonesia mendampingi agar mereka bisa mendapatkan sertifikat ASC maupun MSC.
Menurut Imam Musthofa, Pemimpin Program Bentang Sunda dan Perikanan WWF Indonesia, pada dasarnya standar MSC dan ASC itu menekankan pada pentingnya bisnis perikanan memerhatikan aspek lingkungan dan sosial. Untuk standar MSC, misalnya, ikan yang ditangkap harus memperhatikan ketercukupan di area penangkapan.
“Ikan yang masih kecil harus dibiarkan hidup,” kata Imam.
Contoh lain, lanjutnya, cara penangkapan tidak boleh berdampak buruk pada ekosistem, misalnya terumbu karang dan padang lamun. “Selain itu, harus ada tata kelola yang baik (good governance) dalam bisnis mereka, baik itu lewat masyarakat, pemerintah, ataupun komunitas,” ujar Imam.
Saat ini ada 17 perusahaan perikanan di Indonesia menjadi anggota Seafood Savers, terdiri dari sembilan perusahaan perikanan tangkap, enam perikanan budi daya dan dua pembeli (grosir dan ritel).
Pada 2017 – 2018, dua anggota Seafood Savers dari perikanan budi daya berhasil mendapatkan sertifikasi ekolabel perikanan berkelanjutan ASC. Mereka adalah tambak windu binaan PT Mustika Minanusa Aurora seluas 115 hektar di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara dan 18 tambak udang vanamei seluas 9 hektar binaan PT Tiwandi Sempana di Probolinggo, Jawa Timur.
Laut ini bukan warisan nenek moyang yang bisa kita apakan saja, tetapi alam yang harus kita wariskan pada anak cucu.
Membantu Usaha
Bagi perusahaan yang bergabung, program Seafood Savers membantu mereka untuk lebih mematuhi standar yang telah ditentukan. Begitu pula PT Bali Barramundi yang baru bergabung sejak tahun lalu.
Menurut Dharma, mereka pun segera melakukan beberapa perbaikan. Selain lebih memerhatikan kesehatan ikan dan pengelolaan sisa ikan runcah untuk pakan, mereka kini juga membuat toilet terapung sebagaimana disyaratkan.
“Biayanya lumayan, sampai Rp 200an juta, karena terbuat dari fiber agar bisa mengapung,” kata Dharma.
Dari sisi sosial, PT Bali Barramundi kini juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial di desa tempat mereka berada. Mereka membuat balai untuk kelompok nelayan, memperbaiki jalan desa, bahkan menyumbang untuk masjid di desa dengan jumlah penduduk muslim cukup banyak itu.
Dharma mengatakan kesediaan perusahaannya terlibat dalam program Seafood Savers pada awalnya memang karena permintaan konsumen. Namun, seiring waktu, dia mengaku jmakin menyadari bahwa bisnis memang seharusnya tak semata mencari untung tetapi juga memperhatikan lingkungan dan sosial.
“Kalau laut tercemar, kita juga yang salah dan rugi karena ikan bisa mati. Laut ini bukan warisan nenek moyang yang bisa kita apakan saja, tetapi alam yang harus kita wariskan pada anak cucu kita nanti,” katanya. [b]
Catatan: tulisan ini juga diterbitkan Mongabay Indonesia.
Toilet apung itu buat pekerja di perusahaan budi daya ikan, kan?