Oleh Arief Budiman
Posting saya di Bale Bengong dan blog saya mengenai Memoar Dr Djelantik mendapat respon dari Ir. A.A Oka Saraswati M.T. Hal yang menarik perhatiannya dalam tulisan Horst Jordt, Presiden Walter Spies Society Jerman ini adalah petikan ungkapan spontan -dan barangkali emosional- dari direktur RS Sanglah untuk mengajukan nama Dr Djelantik sebagai nama untuk mengganti nama RS Sanglah.
Saudara Ir. A.A Oka Saraswati M.T. mengingatkan kembali agar mempertimbangkan usulan tersebut dan mengajukan nama yang menurutnya lebih pantas yaitu Prof. dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah disebabkan curriculum vitaenya. Usulan tersebut disampaikan dalam emailnya kepada saya berikut biografi Prof. dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah. Dalam biografi tersebut kemudian saya ketahui bahwa Ir. A.A Oka Saraswati M.T. adalah salah seorang anak dari Prof. dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah.
Namun disebabkan keterbatasan saya dalam memenuhi permintaan mengajukan nama tersebut, saya merasa perlu menyampaikan beberapa hal yang mendasari pemuatan tulisan tersebut.
Pertama, tulisan tersebut pokoknya adalah sebuah memoar bagi seseorang yang baru meninggal lebih tepat lagi seorang budayawan Bali.
Kedua, tulisan Horst Djordt tersebut secara kronologis sangat menarik dan memiliki dramatisasi. Tentu saja kita harus meliahat pertautan emosi Horst dan Dr. Djelantik yang dapat kita rasakan dalam tulisan tersebut. Atas seijinnya pula tulisan itu termuat.
Namun setelah melihat adanya diskusi dalam dimensi lain mengenai hal ini (baca di dendemang.wordpress.com beserta komentar lainnya) maka saya merasa perlu sharing mengenai hal ini sehingga permintaan Ir. A.A Oka Saraswati M.T. dapat dfasilitasi oleh orang yang lebih tepat.
Saya kira kita semua sependapat bahwa ungkapan Direktur RS Sanglah tersebut baru sebatas wacana yang belum tentu diperkenankan oleh yang berwenang. Salam.. [b]
Saya tidak melihat adanya suatu dramatisasi dari tulisan Horst Djordt ini.
Dalam mem-forward suatu tulisan tentunya kita juga patut menilai makna dan dampak dari tulisan tsb.
Sebagai mana ditulis: “Dr. Djelantik menulis riwayat hidupnya dalam otobiografi “The Birthmark – The Memoirs of a Balinese Prince” ”
Ini autobiography yg ditulis sendiri. Apakah ada ahli sejarah yg dapat memisahkan “his story” dan “history”? Memperjelas “grey area” yg ditulis Budayawan Muda di blog nya.
PB
saudara arief budiman,
Informasi awal saya kirim ke redaksi/penunggu balebengong. Saya juga mendapat alamat e-mail anda dari penunggu. Saya juga mengirim biodata ayah, siapa tahu mau dibuatkan tulisan juga. Ternyata baru saja saya terima berita (krn penunggu balebengong baru habis libur panjang lebaran) bahwa bapak anton penunggu balebengong akan menulisnya dalam bentuk narasi. Bila tulisan tersebut dimuat dan isinya masih seutuhnya maka sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Di bale bengong saya mengomentari bahwa perubahan nama RSUP Sanglah menjadi RSUP dr Djelantik tidaklah benar untuk saat ini. Karena saat ini sedang diadakan nominasi untuk pemberian nama tersebut dari oleh Tim Pengkaji Perubahan Nama RSUP Sanglah Denpasar. Adapun nomor suratnya adalah sbb: Surat dari Tim Pengkaji Perubahan Nama RSUP Sanglah Denpasar nomor : RSUP/KP.01.02.09/481 perihal permohonan Biografi/Biodata. Dan menurut hemat saya, saya tidak mengusulkan nama ayah tapi kalau ada yang mendukung saya akan mengacungkan tangan untuknya. Ayah adalah perintis berdirinya RSUP pada saat perpindahan bagian kebidanan dari RS Denpasar/RS Wangaya ke RSUP Sanglah tahun 1956.
Rupanya Budayawan Muda sudah melarang tanggapan atas tulisan di blog nya. Jadi saya tulis di sini saja selama masih diijinkan. Ini murni karena keingintahuan saya yg belum terjawab.
Di tulisan berjudul “Fakta Kepulangan Dr AAM Djelantik” Budayawan Muda menulis: “Termasuk Dr Djelantik yang merupakan dokter Indonesia pertama yang meraih gelar dokternya di Belanda ”
Comment: Apakah yg dimaksud dokter keturunan Bali pertama yg meraih gelar dokter di Belanda? Saleh Mangundiningrat telah memperoleh gelar Doktor (S3) di bidang Kedokteran di Universitas Amsterdam di tahun 1929 (bukankah ini strata dokter yg lebih tinggi yg diperoleh saat dr Djelantik baru berusia 10 th?). Memang dokter umumnya (Indisch Arts) diperoleh di Stovia, sebagaimana umumnya dokter2x pejuang lainnya di Indonesia.
Sumber: Prof Dr dr Moh Saleh
Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa. Jakarta: Gramedia, 2006
Apakah tidak ada priyayi Indonesia lainnya yg menempuh studi kedokteran di Belanda selain dr Djelantik??
Ttg surat Ngurah Rai: apakah kontroversi surat ini nantinya akan menjadi seperti Supersemar?
Menurut saya: membedah buku2x autobiography (ditulis sendiri) dr Djelantik dapat menjadi bahan disertasi S2/S3 Sejarah (mumpung masih banyak narasumber sepuh yg masih hidup), supaya generasi muda kita dapat menghayati sejarah secara benar.
Yg masih haus akan sejarah
P B
Name and email address as stated
Saya nemu tulisan ini nih di Bali Discovery:
GOOD-NIGHT, SWEET PRINCE
Anak Agung Made Djelantik: 1919-2007. A Fierce Intellect and Moral Warrior in the Person of One of the Most Gentle of Men.
Dr. Anak Agung Made Djelantik passed away on the 4th September, 2007, in Denpasar, Bali at a hospital he helped to found, following a long illness. His death is mourned throughout the island of Bali and around the world as he was a beloved figure over generations.
A son of the last King of Karangasem, and born in 1919, he was the first of the Balinese Princes to leave the privileges of a royal life to study abroad, in Holland, where, during WW11, he gained his degrees in medicine at Amsterdam University. By the end of WW II, he had fallen in love with a brilliant Dutch girl, Astri Henriete Zwart, and they married in Holland.
Dr Djelantik and Astrid traveled to many countries to suppress malaria and other infectious diseases, becoming the World Health Organization’s malaria expert. During the course of their married life, which ended with the death of Astrid in 1997, the couple raised 5 children who survive together with 13 grand children.
On his return to Bali, in 1980, he continued his medical practice and involved himself in many community projects: a public library in Renon; support for performing arts; co-founded the Indonesian Dance Academy in Denpasar and wrote several books. His published works include: Balinese Paintings (Estetika); and two autobiographies Memoirs of a Balinese Prince (Periplus), and Against All Odds (Saritaksu) – illustrated with his own paintings.
Dr. Djelantik was the Director of the Sanglah General Hospital from 1961-1968; founding Dean of the Udayana University Medical School from 1962-1965; Head of the Bali Health Department from 1958-1968 and a lecturer at Indonesian Arts Institute (ASTI) from 1966-1968. Working with the World Health Organization, he served in a variety of overseas posts from the late 1960s until his retirement in 1980.
On August 15, 2006, President Susilo Bambang Yudhoyono bestowed a gold star with the Bintang Budaya Pramana Award – the highest honor for contributions to art and culture from the Republic of Indonesia.
In a country known for its non-confrontasi, Dr. Djelantik fought the abasement of Balinese religion and tradition engendered by touristic stereotypes, winning the status of elder statesman for his televised denouncement of the sham Balinese wedding ceremony of Mick and Bianca Jaggar.
In a lifetime spanning 88 years, I Made Djelantik saw his country jump from that of an isolated medieval culture to that of the 21st century of the World Wide Web. He quietly absorbed such tremendous changes without damage to his central vision.
Dr Djelantik combined a luminous innocence that informed a profound wisdom, and his dedication and capacity for healing was remarkable.
On Thursday, September 13, 2007, the remains of Dr. Djelantik were cremated in a makingsan di gni ceremony at a cemetery in Amlapura attended by family and 11 Balinese priests.
Requiescat In Pace – Dr. Anak Agung Made Djelantik, 1919-2007
http://www.balidiscovery.com thanks James Murdoch, an author and long-time resident of Bali, for contributing to this article.
Sdr. Saraswati. Terima kasih atas informasinya.
Mbak Maya:
Terima kasih telah memindahkan seluruh tulisan di Bali Discovery ke sini :). Sebenarnya cukup berikan link nya saja.
Inti tulisan itu didasarkan atas autobiography (mungkin controversial) yg telah menjadi topik diskusi selama ini.
Akibat tulisan yg panjang lebar dipindah ke sini, mohon dua pertanyaan sederhana saya di atas tidak ketutupi 🙂
Lagi mengenang Saleh Mangundiningrat. Tahun 1929 sudah Doktor (Bidang Kedokteran) lho dari Universitas Amsterdam. (Saat dr Djelantik baru berusia 10 tahun)
Masih menunggu koreksi tulisannya Budayawan Muda nih.
P B
yukzzzz…….berantem..
hoahemmmm….ngantuk.
adakah yang benar2 memikirkan dengan benar bangsa ini??
Saya rasa sangatlah indah berdiskusi, berbeda pendapat dan berdebat melalui tulisan. Bahkan di negara2x maju, anggota parlemen pekerjaannya tiap hari berdebat. Begitulah mereka memikirkan bangsanya.
Kalau di negara kita, umumnya perbedaan pendapat dapat dilanjutkan dgn tindakan2x yg anarkis ataupun menguap/mengantuk 🙂
Semoga dgn pertanyaan2x dan diskusi2x di blog ini dapat meningkatkan kualitas bangsa kita.
PB
Mas Arif, saya sudah coba trackback tapi gagal.
Berikut saya informasikan tulisan terbaru saya:
Visi Kebangsaan Dr AAM Djelantik