Kalau ada kredit seperti motor pasti lebih gampang.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali sedang merancang Peraturan Gubernur (Pergub) Bali tentang energi bersih. Targetnya, Bali bisa mandiri energi ketika kebutuhan energinya terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan turis.
Hingga pertengahan Mei lalu, Pergub ini sudah selesai dibahas oleh tim ahli energi Gubernur Bali. Draf itu kemudian dibahas Bagian Hukum Pemrov Bali sebelum nanti diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memastikan keselarasannya dengan peraturan lebih tinggi.
“Target kami, Juni nanti Pergub ini sudah bisa disahkan,” kata Ida Bagus Setiawan, Kepala Seksi Teknik Energi dan Ketenagalistrikan, Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral (Disnaker ESDM) Provinsi Bali.
Menurut Setiawan, secara substansi, Pergub ini sesuai dengan arahan Pak Gubernur Bali dan misi Pemprov Bali untuk mewujudkan Bali yang bersih dan hijau.
Rancangan Pergub tentang Energi Bersih itu terdiri dari 31 pasal. Dia mengatur tentang sumber, pengelolaan, pengusahaan, koservasi, pengembangan, pendanaan, bahkan insentif dan disinsentif. Pergub Energi Bersih nantinya menjadi pedoman dalam menjamin pemenuhan semua kebutuhan energi secara mandiri, berkeadilan, dan berkelanjutan di Bali.
Pada dasarnya, sumber energi bersih dalam Pergub ini ada dua yaitu energi bersih terbarukan (EBT) dan tidak terbarukan.
Untuk EBT yang akan dikembangkan meliputi sinar matahari, air, angin, panas bumi, dan biomassa. Selain itu ada pula biogas, sampah kota, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, serta bahan bakar nabati cair. Adapun sumber energi tak terbarukan hanya satu yaitu gas alam.
Dalam hal penyediaan EBT, Pergub ini mengatur usaha pemenuhan kebutuhan pembangkit listrik dan non-listrik. Penyediaan EBT dilakukan antara lain melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB), dan bahkan bahan bakar nabati.
Semua pembangkit dari sumber-sumber energi bersih terbarukan itu akan dibuat baik dalam skala besar maupun skala kecil. Selain untuk kebutuhan listrik, sumber-sumber energi itu juga untuk keperluan non-listrik, seperti sampah kota dan bahan bakar nabati.
Untuk energi bersih tak terbarukan berupa gas akan diwujudkan antara lain melalui pembangunan sistem logistik gas berupa infrastruktur terminal penghubung gas alam cair di kawasan industri Bali utara dan terminal gas alam cair di Bali Selatan. Ada pula pembangunan pembangkit tenaga listrik berbahan bakar gas alam dan pembangunan sistem jaringan gas alam.
Menurut rancangan Pergub itu, pengusahaan energi bersih nantinya anak dilaksanakan pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah (BUMN/BUMD), swasta, usaha kecil mikro dan menengah (UMKM), koperasi, dan atau desa adat.
Mulai Tahun Depan
Perihal konservasi, sebagaimana diatur dalam rancangan Perda Energi Bersih Pasal 20, meliputi perencanaan dan pengoperasian sistem efisien energi. Sebagai contoh, konservasi energi pada pengembangan bangunan hijau dilakukan dengan cara menyeimbangkan energi pemakaian dengan yang dihasilkan (zero energy building).
Detail pengembangan bangunan hijau itu antara lain melalui pengembangan arsitektur bangunan daerah tropis, penggunaan material ramah lingkungan, alat kelistrikan dan transportasi dalam gedung yang hemat listrik, dan instalasi panel atap surya.
Secara teknis, pengembangan bangunan hijau itu misalnya, kewajiban memasang instalasi panel atap surya minimal 25 persen jika bangunan itu luasnya minimal 500 meter persegi. Dia bisa saja berupa kompleks industri, rumah, perumahan, apartemen, dan fasilitas umum lainnya. Adapun bangunan milik pemerintah wajib memasang instalasi panel atap surya minimal 30 persen dari luas atapnya.
Pemasangan instalasi panel atap surya itu wajib dilakukan pada tahun depan, 2020, untuk bangunan baru. Bangunan lama paling lambat sudah menerapkan energi bersih dua tahun setelahnya.
Sebagai dorongan, Pemerintah Daerah akan memberikan insentif kepada pihak yang menerapkan energi bersih. Insentif itu, misalnya, piagam penghargaan, publikasi, pengurangan pajak bumi dan bangunan sesuai kewenangan, dan atau kemudahan akses pendanaan pengelolaan energi bersih.
Terhadap mereka yang tidak berhasil dalam penyediaan, pengelolaan, dan pengembangan energi bersih, Pemerintah Daerah akan memberikan sebaliknya, disinsntif berupa surat peringatan, publikasi, atau tidak dimasukkan ke dalam daftar penyedia terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Bertahap
Saat ini, penggunaan energi listrik di Bali 30 persen dari Pembangkit Listri Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang yang berbahan batu bara. Ada pula kabel laut dari Jawa atau Jawa Bali Crossing yang juga dari PLTU berbahan batu bara di Jawa. Sisanya dari bahan bakar minyak atau sebagian kecil PLTS dan mikrohidro.
Ida Bagus Setiawan mengatakan konsumsi yang ada saat ini secara bertahap akan beralih ke energi bersih. Misalnya, penggunaan bahan bakar minyak dan batu bara. Namun, peralihan itu tidak bisa langsung dilakukan begitu saja,
“Kalau ingin beralih dengan cepat, yang bisa diimplementasikan dengan cepat tentunya gas,” ujar Setiawan.
Peralihan ke gas itu nantinya hanya sementara. Ke depan, Setiawan melanjutkan, penyediaan energi bersih itu dilakukan pula dengan revitalisasi pembangkit, pengembangan di Bali selatan, maupun peningkatan energi terbaruka. Misalnya PLTA mikrohidro di Buleleng.
Potensi lain yang bisa didorong lebih cepat, menurut Setiawan, adalah penggunaan panel atap surya. Dia mencontohkan kantor Gubernur Bali saat ini sudah menggunakan panel surya dengan daya 158 kwp. “Efisiensi pembayaran listriknya bisa sampai 25 persen tiap bulan,” katanya.
“Kalau bisa didorong ke industri dan komersial, penggunaan energi fosil pasti bisa berkurang,” kata alumni S2 Penginderaan Jauh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
Meskipun demikian, menurutnya, perlu kajian lebih lanjut bagaimana tahapan transisi dari energi fosil ke energi bersih. Selain secara infrastruktur perlnya kesiapan jaringan juga harus ada dukungan dari pihak lain, seperti PLN, Pertamina, dan Indonesia Power.
“Harus ada win-win solution,” kata Setiawan.
Setiawan optimis, dalam enam bulan ke depan revitalisasi pembangkit dari batu bara ke gas bisa terwujud. Adapun pembangunan jaringan instalasi gas, sebagai pengganti batu bara, bisa terwujud dua tahun mendatang. Jaringan itu akan dibangun di Bali bagian utara dan selatan.
Mendapat Apresiasi
Bagi Agung Putradhyana, lahirnya Pergub Energi Bersih layak mendapat apresiasi sebagai usaha konkret mewujudkan energi bersih di Bali. “Itu menarik karena belum ada daerah lain di Indonesia yang punya Pergub serupa,” kata praktisi energi alternatif yang akrab dipanggil Gung Kayon ini.
Menurut Gung Kayon, kita perlu mengubah cara pandang terhadap energi kotor fosil yang dituding menjadi penyebab kerusakan lingkungan, termasuk perubahan iklim. “Ini kondisi krisis sehingga kita perlu menyikapi dengan pola pikir krisis, tidak lagi hal-hal politis,” ujarnya.
Gung Kayon menambahkan lahirnya Pergub Energi Bersih di Bali akan memberi kesempatan agar kebijakan energi bersih lebuh terstruktur. Isu ini pun nantinya akan menjadi isu publik.
Perihal akan adanya sejumlah tantangan atau dampak, misalnya penyesuaian infrastruktur, menurut Gung Kayon itu pasti akan terjadi. Karena itu, pihak-pihak yang nantinya terlibat, katakanlah bank sebagai sumber pembiayaan untuk mendukung pembangunan infrastruktur energi bersih terbarukan, harus membuka diri.
“Kalau bank bisa membiayai kredit energi bersih, seperti kredit motor, maka pembangunan energi bersih akan bisa lebih masif,” katanya. [b]
Catatan: artikel ini pertama kali terbit di Mongabay Indonesia.