Film The Woven Path untuk pertama kalinya diputar di Bali.
Sebelumnya, film dokumenter itu sudah diputar di Jakarta pada 10 Mei 02019. Kali ini mereka melanjutkan perjalanan film berjudul lengkap The Woven Path: Perempuan di Tana Humba itu di Bali dan Sumba pada Juli ini.
Pemutaran dilakukan Tanakhir Films bekerja sama dengan Jatijagat Kampung Puisi dan Rumah Sanur di Denpasar, Bali. Adapun di Sumba diadakan bersama Masyarakat Kampung Adat Raja Prailiu dan Masyarakat Kampung Praiyawang, Kampung Adat Raja Rende di Sumba Timur, dan SMAN 1 Waikabubak di Sumba Barat pada 19-26 Juli 2019.
Pemutaran disertai diskusi terbuka untuk umum dan tidak dipungut bayaran.
The Woven Path: Perempuan Tana Humba adalah dua film pendek dokumenter terbaru produksi Tanakhir Films. Sutradaranya Lasja F. Susatyo dengan produser Mandy Marahimin. Film didanai Ford Foundation ini adalah film dokumenter kelima dari Lasja F. Susatyo.
The Woven Path (10 menit) merupakan dokumenter puitis tentang dua puisi bertema Ibu. Karya ini ditulis dua penyair generasi berbeda, Diana Timoria dan Umbu Landu Paranggi. Sementara Perempuan Tana Humba (30 menit) bercerita tentang tradisi dan budaya di Sumba dan dampaknya terhadap perempuan.
Film ini terbagi dalam tiga babak, yaitu Marapu, Belis, dan Perkawinan. Melalui babak Marapu, kita mengikuti rangkaian upacara yang dilakukan di Sumba. Mulai dari ritual perkawinan hingga ritual kematian. Melalui rangkaian ritual tersebut, penonton diharapkan dapat memahami betapa pentingnya tahapan-tahapan ritual tersebut bagi masyarakat Sumba.
Dalam babak Belis, kita akan mengikuti secara detail apa yang disebut belis, mas kawin dalam bahasa Sumba. Sistem yang terjadi lebih dikenal sebagai sistem jual beli. Dalam sistem ini perempuan menjadi hak dari keluarga pengantin laki-laki setelah pemberian belis pengantin. Melalui babak ini kita akan melihat bagaimana pengaruh belis terhadap posisi perempuan Sumba dalam keluarga dan masyarakat.
Babak Perkawinan merupakan babak yang menunjukkan bagaimana ritual perkawinan dijalankan di Sumba. Juga apa dampaknya bagi peran perempuan dalam keluarga. “Saya ingin mengangkat tema perempuan dalam adat tradisi di Sumba (timur) hari ini. Terutama kaitannya dengan belis (mahar) dan perkawinan yang kerap masih sangat memberatkan,” ungkap sutradara film The Woven Path: Perempuan Tana Humba, Lasja F. Susatyo.
Tak Terelakkan
Perubahan dan perbaikan tak terelakkan, seiring kemajuan zaman. Namun, menurutnya perbaikan harus dilakukan dengan bijaksana karena tatanan satu berpengaruh terhadap tatanan kehidupan lainnya. Film ini bermaksud membagi pengalaman para ibu Sumba dan mengangkatnya dalam puisi mengenai perempuan, ibu, dan Ibu Pertiwi.
“Saya selalu cinta dengan Tana Humba. Alamnya, tenunnya, masyarakatnya, dan budayanya. Jadi ketika Lasja mengajukan ide film ini, saya langsung menyetujuinya. Harapan saya film ini bisa menunjukkan betapa indahnya Sumba, dan juga membuka diskusi tentang posisi perempuan di sana,” jelas Mandy Marahimin sebagai produser.
Film ini didukung oleh Nur Hidayat sebagai sinematografer, Wawan I. Wibowo sebagai editor, Thoersi Argeswara sebagai penata musik, Satrio Budiono sebagai penata suara, dan Olin Monteiro sebagai peneliti. Selain itu, film ini juga melibatkan Jefri Nichol dan Aurora Ribero sebagai pembaca puisi.
Film ini juga didukung oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Film ini diharapkan dapat menggugah kesadaran dan memulai dialog mengenai isu peran perempuan dalam tradisi dan masyarakat.
Setelah di Bali dan Sumba, film The Woven Path: Perempuan Tana Humba akan diputar keliling ke sekolah-sekolah dan komunitas-komunitas budaya dan film di wilayah lain di Indonesia.
Tanakhir Films didirikan pada 2013 oleh dua produser, Mandy Marahimin dan Nicholas Saputra. Rumah produksi audio-visual ini memproduksi konten orisinil untuk bioskop, TV, dan website. Tanakhir Films telah memproduksi satu film panjang, “Cinta Dari Wamena” (2013), dan menjadi production service untuk “Ada Apa dengan Cinta 2” (2016).
Selain itu, Tanakhir Films banyak memproduksi dokumenter, baik berdurasi pendek maupun panjang. Satu dokumenter panjang yang telah diproduksi berjudul “Semesta” (2018) yang bercerita tentang tujuh climate warriors yang beraktivitas melawan dampak perubahan iklim berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Sementara salah satu dokumenter pendek yang telah diproduksi, “A Man with 12 Wives” (2017) telah ditayangkan di NHK World.
Saat ini Tanakhir Films tengah menyiapkan sebuah dokumenter panjang berjudul “My Big Sumba Family”, dan dua film fiksi panjang berjudul “Crocodile Tears” dan “Puno: Letters To The Sky”. Khusus untuk “Crocodile Tears”, film yang akan diproduksi pada 2020 ini telah terpilih ke dalam program La Fabrique di Cannes Film Festival dan Torino Feature Lab. [b]