Oleh Luh De Suriyani
Perdagangan satwa langka penyu ditenggarai saat ini mulai marak di Indonesia, termasuk Bali, untuk konsumsi dan diperjualbelikan. Pada Januari ini saja yang berhasil ditangkap tiga kasus perdagangan dari dan ke Bali dengan jumlah 67 ekor penyu laut beragam jenis yang dilindungi.
“Para pelaku mengaku telah melakukan hal yang sama beberapa kali. Ini bisa puncak gunung es, dan berindikasi kembali maraknya perdagangan penyu dan satwa liar lain,” ujar IB Windia Adnyana, peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dalam Semiloka nasional tentang strategi mengatasi kembalinya wabah peradagangan penyu di Hotel Nikki, Denpasar beberapa waktu lalu.
Windia memaparkan sedikitnya selama 9 tahun terakhir ini terdapat 42 kasus penyeludupan, di antaranya tiga kasus berhubungan dengan nelayan Hainan, China. Sementara 36 kasus berkaitan dengan perdagangan di Bali.
“Pasar penyu masih besar di Bali. Maraknya kembali penyeludupan penyu apakah karena kevakuman hukum oleh aparat,” tanyanya.
Lemahnya penegakan hukum ini dibenarkan Puspa Dewi Liman, Deputy Director for Program and Evaluation Ministry of Forrestry. Pihaknya mengalami sejumlah kendala dalam proses penindakan dan pengawasan penyeludupan satwa liar.
Di antaranya kurangnya keterampilan forensik petugas, koordinasi lintas intitusi, rendahnya moral aparat kehutanan dan penegak hukum, serta pemberian sanksi hukum yang tidak memberi efek jera.
“Proses penindakan juga memprihatinkan. Sejak 2003, kasus yang tidak mendapatkan vonis hukum lebih dari 50%,” ujar Puspa.
Ia merinci, pada 2003 dari 10 kasus penyeludupan penyu di Indonesia, hanya 2 yang mendapat vonis hukum. Sementara 2004, dari 8 kasus, satu pun tak ada yang disidangkan. Pada 2006, dari 20 kasus, tertinggi selama enam lima terakhir, hanya 7 yang mendapat vonis pengadilan. Demikian juga tahun-tahun selanjutnya.
Terakhir pada 2008, dari 8 kasus hanya empat yang divonis.
“Case trekking kehutanan juga tidak bagus jadi kesulitan memantau proses tindak lanjut penindakan hukumnya,” tambah Puspa.
Puspa menambahkan, kasus penyundupan penyu dan satwa liar lain juga makin marak di lintas negara.
“China adalah salah satu pasar terbesar konsumen penyu. Ironisnya setelah kami telusuri pihak bea dan cukainya, tidak ada data penyu ilegal yang masuk ke China. Ini yang menyulitkan penyidikan juga,” kata Puspa.
Karena itu, ia mengapresiasi keluarnya peraturan hukum baru dari pemerintah Indonesia, yakni UU No 5 tahun 2009 terkait ratifikasi convention against transnational organized Crime (UNOTC).
“Kejahatan kehutanan satwa liar bisa menjadi pencucian uang,” katanya.
Dalam workshop ini nanti akan diumuskan protap pemberkasan hukum kasus penyeludupan penyu untuk memudahkan aparat hukum menindak.
Mulai 2009, World Wild Fund (WWF) Indonesia juga memberikan reward untuk sejumlah petugas hukum yang menunjukkan prestasi dalam penyelidikan perdagangan penyu.
Keempat petugas yang mendapat award adalah AKBP Sugeng IR, Kapolres Sinjai, Sulsel, AKP Putu Suara Dinata (Polair Bali), AKP IB Dedy Januartha (Kasat Reskrim Dompu), dan AKBP Bagus Giri Basuki (Kapolres Dompu).
“Pemberian award, ini sebagai apresiasi dan memotivasi petugas,” ujar Wawan Ridwan, Direktur Program Kelautan WWF Indonesia.
Selanjutnya WWF berencana memberikan Enforcement Tribute Award dalam bentuk uang jika keempatnya konsisten dan juga bagi pihak lain yang dapat melakukan penindakan secara tuntas. [b]
Versi Bahasa Inggris ada di http://www.thejakartapost.com/news/2009/03/13/poor-law-enforcement-fans-sea-turtle-trade.html-0