Pada dini hari yang ditelan sepi.
Dalam kamar kecil yang menjadi sarang segala susah dan senang. Saya mengirimkan pesan kepada seorang teman, ‘”Aku baru tahu, kalau kesedihan itu paralel. Satu kesedihan akan mengantarkan kamu kepada satu kesedihan lainnya yang semula telah disimpan rapi.’’
“Sepertinya aku paham,” jawab teman itu.
Sudah menjadi rahasia segala umat semesta, jika manusia risau dan sedih maka manusia kerap sulit tidur. Ibu saya pernah berkata, “Berbahagialah kamu jika kamu bisa tidur dengan baik’’. Sungguh teramat benar. Kebahagian juga bersinergi dengan kualitas tidur, tampaknya.
Saya sering bertanya pelan-pelan sekumpulan pertanyaan ini; apakah setengah penduduk dapat tidur pulas saat pandemi ini? Apakah mereka bermimpi ditelan naga hitam atau dikejar pocong? Apakah mereka terbangun dan merasa keram di setiap otot? Ataukah sebagian manusia mengeluh sakit kepala belakangan ini?
Kemudian sebentar aku menarik napas mencoba memejamkan mata. Lalu, suara dari isi kepala saya berkata, “Sebagian penduduk bumi tidak sempat berpikir tentang tidur karena mereka berperang tentang isi periuk esok hari.
Ini mengerikan sekali. Sulit menuliskannya.
Sejak Maret hingga Juli ini, sudah sekian puluh kali saya mencoba menuliskan bagaimana pengalaman secara langsung berhadapan dengan pandemi ini di rumah sakit. Namun, sekian kali juga saya gagal membahasakannya dengan baik. Konfrontasi perasaan kacau ini bukanlah sebuah proses yang dapat dibahasakan, setidaknya hingga beberapa detik lalu.
Bahkan, saat ini, ketika kalian membaca apa yang akan saya ceritakan, sejujurnya ada semacam tumpukan perasaan kecewa, tak berdaya, nyaris putus asa yang sulit untuk diceritrakan. Sehingga, rasanya, mungkin saja bahwa tulisan ini suatu hari nanti tak lagi cukup membahasakan kecamuk rasa ini.
Tapi baiklah. Mari kita coba. Berbahasa dengan jujur dari hati, semoga mampu menyentuh hati.
Begini situasinya, seperti kalian berada pada satu dunia yang asing, suram, cepat dan dekat dengan maut. Sebenarnya, saya juga tidak ingin menulis kata ‘’maut’’ karena itu tampak seperti tiada harapan sama sekali. Sebenarnya harapan selalu ada, tapi wujudnya agak sulit belakangan.
Begini, suatu sore sehabis yoga peregangan otot, sambil mengais keringat, ponsel pintar saya bergetar, “Wak, kau tahu, dokter itu akhirnya berpulang. Putri dan istrinya masih di ruang ICU dengan alat bantu nafas. Aduh sedih’. Pesan seperti itu menjadi amat sering singgah. Agak gila membayangkan beberapa orang yang kau kenal tiba-tiba pergi.
Itulah maut. Sebuah ketiadaan dan ketidakberdayaan.
Pada suatu siang yang terik, sinar matahari menembus segala lorong rumah sakit, dedaunan dari pohon-pohon besar di sekitar rumah sakit berjatuhan. Seorang rekan dokter, memanggil pelan dari jarak sekitar tiga meter. Dia dengan wajah panik dan mata merah berkata, “Mba, kamu tahu kan pasien yang aku rawat di ruang A, tiba-tiba sesak, ternyata hasil periksa swabnya positif. Aku baru saja diberikan kabarnya. Mba, aku harus dirumahkan. Mba, bagaimana ya anak dan suami ku?, Mba, kamu mau enggak bantu aku? Tolong rawat pasien ku yang lain ya, kasihan juga, tolong ya mba, jangan dekat – dekat mba.”
Pilu
Dialog semacam ini menjadi teramat sering terjadi. Dari Maret hingga Juli, saya belum menemukan formula untuk tidak terkejut dengan isi pesan atau dialog berjarak begini.
Sayup-sayup, kadang ada rasa syukur. Untung saja diri ini belum berkeluarga dan hidup sendiri saat pandemi begini. Apakah tidak gila membayangkan bahwa tubuhmu adalah sumber kuman yang mampu membahayakan orang-orang yang kau cintai.
Beberapa rekan dokter saya dengan berat hati sejak Maret terpaksa menyewa rumah berbeda dengan keluarga mereka. Ini menjadi sangat banyak. Bahkan, agak pilu, saat bulan puasa kemarin beberapa teman dokter terpaksa berbuka dan sahur seorang diri karena harus pisah rumah dengan suami ataupun istri mereka.
Akan sedikit saya gambarkan situasi rumah sakit. Mengapa sedikit? Karena saya tidak pernah ingin kalian memikirkan dengan keras apa yang tidak perlu kalian pikirkan dengan keras. Sudah sepatutnya, manusia mengambil tugasnya masing-masing.
Di awal pandemi, rumah sakit memang tampak sepi dan lengang karena banyak orang takut ke rumah sakit. Juga banyak rumah sakit menunda pelayanan elektif, sehingga rumah sakit hanya untuk kasus emergensi. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah penularan dan memutus mata rantai penyebaran.
Namun, seiring waktu, mustahil rumah sakit terus membatasi diri. Sehingga saat ini, beberapa rumah sakit pusat berada dalam keadaan sesak dengan banyak pasien. Jauh lebih banyak dari beberapa minggu lalu. Beberapa teman saya yang juga bertugas di rumah sakit pusat lain kerap mengeluh, “Wah mengapa makin ramai?, wah kapan ini berakhir?”
Sebenarnya kami bosan dan lelah sekali. Bosan bukan sebagai dokter, tapi bosan dengan segala kejutan yang kami peroleh setiap harinya. Bayangkan saja, kamu mengenal orang-orang dengan baik. Mereka tertawa dan bekerja lalu esok harinya, mereka harus istirahat dan membatasi diri dari siapapun. Dan kemudian, kamu terus berpikir bahwa tempatmu bekerja dan belajar adalah tempat yang paling tidak aman, yang bisa membawamu pada keadaan yang tak terbayangkan.
Saya tidak ingin bercerita lebih banyak tentang rumah sakit. Percayalah, jika kalian bisa melihat sesuatu terdalam dari hati saya, saya tidak keberatan sama sekali dengan tugas ini. Sungguh. Saya tidak bisa mengatakan sepenuhnya rumah sakit adalah tepat yang mengerikan. Sejujurnya, jika kita saksama melihatnya, di sinilah, di rumah sakitah, saya melihat banyak harapan.
Mungkin agak bias, karena saya menghabiskan lebih banyak jam di rumah sakit. Maaf jika bias. Saya sering melihat tim berpakaian robot, melintas lorong khusus. Dari kejauhan perawat tersebut masih melambaikan tangannya karena kami saling kenal. Pernah juga, saat saya akan masuk ke ruang tersebut, perawat menghentikan saya, “Dok, saya semprot sekali lagi kacamatanya, agak berembun nanti dokter menabrak pintu.’’
Saya ingin tertawa, tetapi juga terharu. Di masa ini, cinta mewujud dalam bahasa paling sederhana yakni tindakan. Sungguh.
Sesekali, saat pulang bekerja, saya berjalan kaki, mendengar lagu-lagu dari pemutar musik. Sambil melihat jalan, saya berpikir, bagaimana dan kapan ini berakhir? Lalu, suara klakson mobil dan motor memotong lamunan dan pertanyaan.
Saya kerap mampir ke toko serba ada dan membeli air minum kaya vitamin C, sambil melafalkan doa agar tubuh kuat dan sehat selalu. Kemudian, saya akan mengirim pesan kepada teman-teman dokter, “Kalian sudah minum vitamin C?’’
Hal-hal sederhana nan kecil begitu, percayalah merupakan daya juang untuk melanjutkan hari. Saya sudah mengubur sementara dengan baik-baik tentang impian pergi ke negara yang jauh di bulan Oktober nanti dan mempresentasikan penelitian saya pada forum internasional. Saya juga sudah menyimpan rapi, tentang impian pulang kampung ke negeri di balik danau dan tidur selama dua belas jam di kamar kayu.
Saat ini bertahan hidup dan sehat adalah berkah luar biasa.
Mawas Diri
Saya tidak suka mengeluh dan jika saya menceritakan bahwa hari-hari kami nan berat maka rasanya saya akan menambah beban kalian. Namun, rasanya, setiap kita harus mawas diri & menjaga kelakuan agar rumah sakit tidak kolaps. Agar tenaga kesehatan masih sanggup dan berdiri dengan tenaga cukup dalam memberikan pelayanan yang terbaik. Agar setiap kita pelan-pelan berjalan pada ujung pandemi dan saling memeluk penuh rindu.
Malam-malam yang tiba belakangan ini rasanya agak lebih panjang. Setelah mengerjakan tugas, saya kerap memutar lagu Simon and Garfunkel, agak sedih. Dalam lamunan sambil membersihkan wajah, saya sering bertanya, bagaimana jika seandainya saya seorang warga Selandia Baru? Atau, bagaimana jika segala ketegasan dan ketelitian di sana dibawa ke sini?
Lalu, iklan dari pemutar musik daring kembali menyadarkan. Itu lamunan si domba merindu jadi serigala. Mustahil.
Kita semua bisa marah, bisa frustasi, bingung, apapun sikap dalam merespon bencana dan perubahan. Itu adalah hal normal. Namun, jika segala kebingungan ini berlanjut dan semakin menjadi, maka rasanya kemarahanmu meletup mendekati kulminasi. Kamu akan merasa tak berdaya ketika tetanggamu yang renta bercerita bahwa listrik tiba-tiba naik dan bahwa subsidi tidak pernah ia rasakan.
Kamu pun semakin merasa nestapa, saat kamu mendengar bahwa banyak tenaga kesehatan yang lembur bahkan belum mendapatkan insentif padahal mereka ini adalah orang yang mempertaruhkan segalanya. Rasa marahmu semakin menjadi ketika ada lomba yang berhadiah ratusan miliar, dan banyak lagi segala yang tidak seharusnya tapi terus terjadi.
Ini letak kegelisahan yang tak kalah hebatnya dengan kegelisahan kapan ini berakhir yakni bahwa banyak keputusan jauh dari memberi rasa aman.
Orang-orang tersebut tentu akan berdalih, ekonomi adalah segala yang juga penting. Betul memang. Bahwa Korea Selatan tidak pernah melakukan pembatasan dan kita juga harus bisa. Namun, orang-orang ini lupa, bahwa disana pemeriksaan swab dilakukan masif dan mudah diakses sehingga penemuan kasus menjadi lebih cepat dan banyak. Tapi, menggerutu tidak baik. Mengomel juga tak menyelesaikan masalah. Lalu, kita bagaimana?
Jika saya bilang mari kita berdoa pada semesta agar virus menghilang tiba-tiba, maka, jika kalian mengenal saya secara pribadi sebaiknya kalian panggil nama saya tiga kali. Mungkin saya mengalami gegar otak. Yang harus kita lakukan adalah melanjutkan hidup sebisa dan sekuat yang kita mampu sesuai protokol kesehatan.
Hidup memang tidak adil. Di lain tempat segelintir orang berteriak rindu naik pesawat dan liburan sedangkan di lain posisi sebagian besar orang mulai gelisah tentang nasib periuk, kredit roda dua, harga beras yang melesak, tagihan listrik yang mencekik leher.
Namun, seorang teman yang saya kasihi pernah berkata, “Keadilan itu tidak punya tempat yang luas di muka bumi. Kebenaran juga tidak bisa sederhana di semesta yang rumit ini, tapi cinta kasih merupakan obat paling murah dan mungkin yang bisa kita lakukan setiap hari.’’ Kata-kata tersebut menambah kesedihan berparalel pada banyak kesedihan dan ketidakadian lainnya.
Duh, kita malang sekali.
Bergerak Penuh Kasih
Jika hari ini kalian harus pergi bekerja ke pasar, ke warung atau kemana pun, jangan lupa pakai masker, cuci tangan dan jika kalian harus berkumpul jagalah jarak sekitar dua meter satu sama lain. Jangan lupa hindari keramaian yang tak perlu. Juga mandilah dengan baik sehabis dari luar agar mata rantai penularan terputus dan perlahan kita berjalan pada akhir.
Saya tidak ingin kita pesimis. Itu bukan sikap yang diperlukan saat ini. Saya ingin kita saling bergerak penuh kasih dan peduli satu sama lain setiap harinya, bahkan jika keadaan tampak tak berujung. Apalagi, jika kita masih muda. Jangan sekalipun surut asa kita menatap masa depan. Karena segalanya adalah sementara, pun kepedihan. Pandemi ini mengajarkan kita banyak hal. Mempersiapkan kita untuk masa depan yang semakin sulit diprediksi. Dan yang paling penting pandemi ini mengajarkan kita kerapuhan apa-apa yang pernah tampak begitu adidaya.
Kita harus belajar menemukan sumber hidup yang lebih ramah pada lingkungan, sistem yang merata dan kolektif juga cara hidup yang lebih membumi.
Pandemi ini adalah kesempatan bagi kita semua untuk melakukan hal biasa dengan semangat yang luar biasa. Bahkan dengan cara ini, kita akan mengubah dunia. Dunia setelah pandemi tidak akan pernah sama. Percayalah. Orang-orang juga menunjukkan wajah aslinya saat ini, dan, kita punya pilihan bagaimana kita memilih hari esok.
Ingatlah pada yang memegang ucapannya. Ingatlah baik-baik pada yang tidak menepati janjinya. Simpanlah baik-baik karena ketika pandemi ini usai, bersama kita akan membentuk tatanan yang lebih baik. Ingat sejauh ini kita bergerak kolektif.
Dengan banyak cinta, rindu pada nasi babi guling dan sinar matahari di kamar tidur di Denpasar, segera kita berjumpa. [b]