Inilah artefak yang menunjukkan kesetaraan itu mewujud.
Pembahasan terkait perempuan di Indonesia sepertinya tidak akan pernah ada matinya. Mulai dari perilaku buruk yang sering mereka hadapi dan peran-perannya yang tidak dapat kita sepelekan keberadaannya menjadi topik hangat yang selalu diperbincangkan di tengah kalangan masyarakat.
Anggapan bahwa perempuan memiliki kondisi fisik yang lemah, lembut, dan halus telah menjadi stigma yang mendarah daging secara turun menurun di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan ruang lingkup serta aktivitas perempuan sering kali menjadi terbatas. Segala bentuk perjuangan yang menyangkut asas kesetaraan serta keadilan bagi kaum perempuan telah dilayangkan oleh berbagai aktivis.
Sebagai seorang yang tumbuh dan besar di Bali, saya sadar betul bagaimana kentalnya budaya patriarki yang berkembang di pulau ini. Di beberapa kesempatan hal ini menimbulkan kesan bahwa kaum perempuan terlihat lebih lemah dan tidak berdaya jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Permasalahan ini kemudian membawa saya pada sebuah perenungan, bagaimanakah keadaan sosial masyarakat pada masa Bali Kuno dalam memandang sosok perempuan?
Apakah perempuan pada masa tersebut terkekang dan hanya dapat bekerja sesuai dengan perintah laki-laki semata? Atau bahkan perempuan memiliki kedudukan yang setara pada masa tersebut? Timbul banyak sekali pertanyaan di benak saya akan hal ini, dari rasa keingintahuan tersebut secara perlahan saya mulai mengumpulkan data-data arkeologis yang dapat berbicara sekaligus memberikan gambaran tentang kondisi masyarakat pada masa tersebut.
Prasasti sebagai salah satu data artefaktual menjadi pilihan tepat dan akurat untuk menjawab keresahan yang saya rasakan. Boechari (dalam Prihatmoko, 2017: 118) menyebutkan bahwa prasasti sebagai sumber tertulis merupakan maklumat resmi yang dikeluarkan oleh raja pada masa pemerintahanya, sehingga kredibilitas dari suatu prasasti tidak dapat kita diragukan. Sebagai data tertulis, prasasti mencatat berbagai kejadian yang terjadi pada masa dibuatnya. Melalui adegan yang terekam melalui media tulisan tersebut saya menemukan beberapa hal dalam prasasti masa Bali Kuno yang memberikan gambaran terkait “keperempuanan”.
Melalui pencarian ini, setidak-tidaknya saya telah berhasil mengumpulkan empat buah data prasasti yang akan dijadikan sebagai data primer untuk menjawab keresahan saya sebelumnya. Prasasti pertama adalah prasasti Dawan, prasasti ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu tahun 975 Saka. Dalam prasasti tersebut menuliskan istilah wanigrami untuk saudagar perempuan dan wanigrama untuk saudagar laki-laki. Hal tersebut menunjukan adanya suatu bentuk kesetaraan yang berkembang pada masa tersebut.
Istilah wanigrami menjadi penanda bahwa kaum perempuan memiliki posisi dan kedudukan yang sama dalam hal perdagangan. Bahkan, kedudukannya sebagai seorang saudagar memberikan kesan bahwa kaum perempuan pada masa Bali Kuno memiliki ruang lingkup yang bebas dalam menentukan pilihan, pilihan yang dimaksud dalam hal ini adalah menyangkut bidang pekerjaan yang mereka tekuni. Disamping itu, melihat perannya sebagai seorang saudagar perempuan maka dapat dikatakan bahwa mereka telah memiliki sikap independen dan mampu berdiri sendiri.
Tiga prasasti berikutnya merupakan data tertulis yang dikeluarkan oleh raja suami-istri yaitu Udayana dan Mahendradatta, atau dalam prasasti sering dituliskan sebagai Dharmodayana Warmadewa dan Gunapriya Dharmapatni. Ketiga prasasti tersebut antara lain, Prasasti Bwahan A (916 Saka), Prasasti Sading A (923 Saka), dan Prasasti Serai A II (915 Saka).
Sebenarnya, dari ketiga prasasti yang dikeluarkan oleh raja suami-istri tersebut tidak satupun memuat istilah yang berhubungan dengan “perempuan” seperti yang terdapat pada prasasti Dawan. Kendati demikian, menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas bahwasanya ketiga prasasti tersebut secara gamblang menuliskan nama sang permaisuri Gunapriya Dharmapatni terlebih dahulu, yang kemudian disusul oleh nama sang raja yaitu Dharmodayana Warmadewa.
Berdasarkan pada prasasti tersebut, kembali lagi kita ditunjukan bahwa seorang perempuan memiliki kesetaraan yang sama dalam memimpin suatu pemerintahan. Gunapriya Dharmapatni menjadi sosok perempuan yang dapat kita gunakan sebagai acuan bahwa aktivitas memimpin tidak hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki, melainkan kaum perempuan juga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bisa menjadi seorang pemimpin.
Melalui analisis singkat dari keempat buah prasasti di atas setidaknya dapat menjadi bentuk refleksi kembali mengenai permasalahan yang sering dihadapi perempuan dewasa ini. Melalui pembahasan ini diharapkan mampu memberikan gambaran baru terkait hak asasi manusia khususnya dalam hal kesetaraan. Bahwa Jelas sejak masa Bali Kuno perempuan telah memiliki hak dan kedudukan yang sejajar, begitu juga saat ini dan seterusnya.
Referensi:
Ardika, I Wayan dan N L Sutjiati Beratha. 1996. Perajin Pada Masa Bali Kuno Abad IX-XI M. Laporan Penelitian. Denpasar: Fakultas Sastra Udayana.
Asih, N. P., & dkk. (2018). Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Bidang Ekonomi Masa Bali Kuno Abad IX-XII Masehi. Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol.22, (1), 13-21.
Baru, N. M. (1954). Prasasti Bali. Depok: Lembaga Bahasa dan Budaja (Fakultet Sastra dan Filsafat) Universitas Indinesia.
Prihatmoko, Hedwi. (2016). Kajian Epigrafis Prasasti Babahan. Forum Arkeologi Vol. 29, (3), 117-136.