Gelombang penolakan reklamasi Telok Benoa bak virus.
Terus menjalar ke berbagai pihak. Mulai dari kelompok masyarakat adat, akademisi, komunitas seni, artis hingga tokoh budaya dan agama. Tak terkecuali organisasi bagi pemuda Hindu yaitu Persatuan Pemuda Hindu (Peradah).
Isu reklamasi Teluk Benoa juga menjadi perhatian serius Peradah Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) X di Yogyakarta 25-27 Maret 2016 lalu.
“Kami resmi menolak rencana pelaksanaan proyek reklamasi tersebut karena hanya mengakomodir kepentingan investor. Kami mendesak Presiden Joko Widodo mencabut Perpres No. 51 Tahun 2014 dan mendengar apirasi rakyat Bali,” kata Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradah Indonesia D. Sures Kumar, di Jakarta.
Penolakan tersebut menurut Sures mengacu pada Rakernas X yang menghasilkan enam poin penting menyikapi rencana megaproyek di Bali Selatan tersebut.
Pertama, rencana itu bertentangan dengan Perpres No 45 Thn 2011 tentang tata ruang kawasan perkotaan Sarbagita. Proyek reklamasi oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) dilakukan di kawasan perairan Teluk Benoa Badung. Padahal kawasan tersebut termasuk kawasan konservasi.
Bahkan Perpres No 122 Thn 2012 tentang Reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga melarang reklamasi dilakukan di kawasan konservasi.
Kedua, karena izin reklamasi tersebut telah melanggar aturan yang ada sebelumnya. Ada indikasi upaya paksa untuk melegalkan izin tersebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan merevisi Perpres nomor 45 Tahun 2011, menjadi Perpres No. 51 Tahun 2014.
“Intinya mengubah status konservasi Teluk Benoa menjadi zona penyangga atau kawasan pemanfaatan umum,” tambah dia.
Ketiga, Perpres yang lahir secara mendadak dinilai hanya pro investor dalam upaya mereklamasi Teluk Benoa seluas 700 ha. Keempat, secara pembangunan ekonomi realisasi proyek reklamasi ini akan menambah ketimpangan pembangunan antara Bali Selatan dan Bali Utara.
Kelima, dari sisi lingkungan, reklamasi akan membuat ketersediaan air Bali semakin menyusut, merusak lingkungan laut serta mengganggu keindahan Bali sebagai Pulau tujuan Wisata yang menawarkan pemandangan wisata tradisional dan alami.
Keenam, proyek reklamasi juga akan menganggu dan merusak sistem tata sosial yang sudah ada selama ini di Bali, akan merusak adat istiadat budaya masyarakat Bali. Mengingat di kawasan Teluk Benoa Nusa Dua Bali terdapat wilayah spiritual yang harus dijaga kelestariannya.
Sures mengakui sikap Peradah dalam menolak proyek tersebut bukan semata ‘suryak siu’ dan mencari perhatian, melainkan urgensi lingkungan Bali yang harus dijaga semua pihak. Di samping itu, megaproyek tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan sosial, budaya dan agama di Bali. Apalagi, sebagai kiblat Hindu di Indonesia parahyangan menjadi hal terpenting.
Alumni IHDN Denpasar tersebut juga mengakui penolakan resmi yang dilakukan melalui kajian dan diskusi panjang dalam Rakernas yang melibatkan Pemuda Hindu se-Indonesia di Yogyakarta.
“Ini bukanlah penolakan pertama. Secara organisasi sikap kami sudah disampaikan tahun 2015 lalu. Jika proyek ini terus diulur-ulur kami akan tetap kawal dan menyatakan sikap dengan berbagai cara,” tegasnya. [b]
Keterangan foto: Para pengurus Peradah tingkat provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia disela Rekernas X menyatakan sikap resmi untuk menolak rencana Reklamasi Telok Benoa, di Yogyakarta pada 25-27 Maret 2016.
Comments 1