Oleh Luh De Suriyani
Ifah, perempuan muda ini mengaku tidak bisa menulis, tidak punya duit, apalagi mendesain di computer. Kurang dari dua tahun ia telah menerbitkan tujuh buku dan meraup keuntungan bersih Rp 18-20 juta per bulan dari hasil penjualan buku itu.
Ifah tertarik membuat penerbitan sendiri bernama CV. Cemerlang. “Saya ingin masa depan saya lebih cemerlang,” ujarnya di depan peserta diskusi seputar penerbitan buku yang digagas Forum Bahasa dan Media Massa (FBMM) Bali, Selasa (30/10) lalu di RRI Denpasar.
Ketertarikannya pada penerbitan tumbuh ketika menjadi pegawai kantor di sebuah perusahaan distribusi buku, CV. Solusi Distribusi. Setelah merasa cukup percaya diri, terlebih didukung oleh bosnya, Hariyadi, ia mulai mencari materi untuk buku perdana yang akan diterbitkannya. Ifah memilih sebuah buku percakapan bahasa inggris untuk pemula. “Buku seperti ini umurnya kan panjang di toko buku,” ungkapnya.
Ifah lalu mencari orang yang akan mendesain buku itu. Ternyata, buku itu terjual lebih dari 1000 eksemplar, dan terus terjual sampai kini. Ia merasa dunia penerbitan cukup ramah bagi seorang perempuan yang tidak berpendidikan tinggi, tidak mengerti bisnis, dan hanya bermodal semangat untuk mencoba.
Hariyadi, mantan bos Ifah yang pernah bekerja sebagai Manajer Pemasaran Gramedia Pustaka Utama, mengatakan bisnis buku bisa menjadi bisnis sembako. Gramedia selalu menargetkan peningkatan penjualan buku 30% tiap tahunnya, dan hal ini selalu terpenuhi.
Ia juga berharap penulis dapat menerbitkan bukunya sendiri. “Penulis bisa mendapat kepuasan materi dan idealisme sekaligus,” ujarnya. Peluang mendapat keuntungan jika menerbitkan sendiri memang besar karena biasanya harga jual buku di pasaran 5-7 kali lipat dari biaya cetak. Secara teknis untuk menerbitkan buku, menurutnya sangat mudah. Tinggal mencari ISBN dan berjaringan dengan distributor buku. Hal ini juga menghindari bentrok soal pemenuhan royalti dari penjualan buku.
Namun, tak semua penulis tertarik mendapat keuntungan besar dari penjualan bukunya. Hal ini diakui I Gusti Made Sutjaja, dosen Fakultas Sastra Unud. Ia mengaku telah membuat 12 judul buku. Beberapa di antaranya diterbitkan sendiri dengan memperbanyaknya secara manual. “Modalnya cuma komputer, belajar desain sendiri saja. Silakan cek buku-buku saya di Gramedia,” katanya.
Sebagian buku Sutjaja adalah seputar bahasa daerah Bali, kamus, sampai terjemahannya dalam bahasa Inggris dan Jepang. Katanya, sejumlah bukunya telah ada di beberapa perpustakaan universitas di Australia dan Singapura. Walau demikian, ia mengaku belum merasakan keuntungan dari penjualan buku. “Menulis manuskrip saja sudah kepuasan,” ia beralasan.
Merangsang pertumbuhan penerbitan alternatif adalah hal penting. Jika industri buku di Indonesia terus menerus dikuasai penerbitan raksasa seperti Gramedia yang menggurita, menguasai pasar buku dari hulu ke hilir, maka harga buku juga masih sulit terjangkau.
Penulis pun sulit menembus kompetisi yang dipenuhi aspek goreng-menggoreng untuk mendongkrak penjualan. Toko buku kecil juga meringkuk karena dominasi buku baru dan berkualitas oleh distributor diutamakan dijual ke Gramedia, Toga Mas, atau Gunung Agung. [b]
Wow… ide cemerlang, secermelang nama self publishing milik Ifah…
salut dan menginspirasi.