Oleh Luh De Suriyani
Sang Ketut Desak Kerti, menyempatkan menyusui bayi perempuannya sesaat sebelum naik panggung, Senin. Longtorso ketat dan pakaian ala putri tak menyulitkan bagi Kerti untuk meneteki. Di atas kursi roda, ia sigap menggendong dengan satu tangan. Bayi cantik dengan mata bulat itu mendapat buaian singkat.
Di sekitar Kerti, belasan pemain Drama Gong dengan lakon Diah Larasati lainnya menunggu bagian adegannya. Untung ada semacam gazebo yang setengah tertutup di kalangan Angsoka ini. Anak lelaki kecil dengan kursi roda, perempuan bersanggul dengan kruk, dan penyandang tuna daksa lainnya bisa menunggu dengan tenang.
Melihat judulnya, Diah Larasati, tak menduga kalau cerita drama gong ini soal sekolah inklusif. Tentang kampanye dan merebut hak untuk pendidikan yang setara untuk semua orang.
Yayasan Senang Hati yang menjadi tempat bernaung Kerti dan 200 tuna daksa lainnya ini pun dengan tepat memberikan lembaran sinopsis cerita, dalam Bahasa Indonesia dan Inggris pada penonton. Suatu hal yang sangat jarang ditemukan di pertunjukkan lain di Pesta Kesenian Bali ini. Biasanya yang membawa sinopsis hanya pembawa acara.
Ini menunjukkan manajemen kampanye yang baik dan upaya sosialisasi yang bagus bagi turis yang datang. Tentu turis merasa dihargai dengan tambahan informasi soal pertunjukkan tradisi, terlebih ada kampanye sosial di dalamnya.
Komang Sukarmen, bocah laki-laki 10 tahun dengan kursi roda masuk panggung. Tepukan penonton membuncah. Ia berperan sebagai parekan Tanying.
Tanying adalah asisten Pangeran Wira Paksa yang buta. Ia ingin bersekolah namun tak mendapat dukungan keluarga. Denikian juga Putri Diah Larasati yang berkursi roda, dan I Wayan Lara.
Mereka dipertemukan waktu ketika berpetualang mencari sekolah yang membuka pintunya untuk mereka. Banyak orang meremehkan kemampuan mereka untuk dapat bersekolah.
Sampai akhirnya seorang Kepala Sekolah Senang Hati, berhasil dibujuk untuk memberi kesempatan. Akhir drama yang bahagia. Entah seberapa jauh dengan kondisi luar di luar panggung saat ini.
Yayasan Senang Hati di bawah asuhan Luh Suriati, mementaskan Diah Larasati selama 2,5 jam termasuk Tari Janger sebagai penutup.
Seorang anak terlihat bertanya pada ibunya. “Apakah dia benar buta?” ujar Dede, anak laki-laki 7 tahun menunjuk seorang pria yang bergerak dinamis dengan kaca mata hitam dan tongkat. Ia tak menyangka para seniman di depannya adalah para tuna netra, dan beragam tuna daksa.
“Pentas ini bagus sekali untuk anak-anak. Bahwa para penyandang cacat tak dibatasi oleh fisiknya dalam berkesenian,” kata si ibu.
Sebanyak 15 orang menjadi pemain utama. Di antaranya Sang Nyoman Puspa sebagai Putri Diah Larasati, Komang Rudiawan sebagai Wayan Lara, dan Wayan Tono sebagai Pangeran Wira Paksa.
“Sangat hebat. Mereka mementaskan dengan semangat, dan menunjukkan bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. Kampanye yang baik sekali,” ujar Lindsay Comstock, turis Amerika. [b]